Laman

20150227

Siasat Bertahan Menghadapi Kalajengking (Fernando Sorrentino, 1982)


Penduduk terkejut, takut, sekaligus jengkel atas masifnya perkembangbiakan kalajengking yang mengancam Buenos Aires, kota yang hingga baru-baru ini bebas sama sekali dari spesies Arachnida yang satu ini.

Mereka yang tidak punya imajinasi telah menggunakan cara yang kelewat tradisional dalam menghadapi kalajengking, yaitu dengan racun. Yang punya imajinasi lebih memasukkan katak, kodok, dan kadal ke rumah, dengan harapan binatang-binatang itu akan mengganyang kalajengking. Kedua kelompok tersebut gagal habis-habisan: kalajengkingnya sama sekali tidak mau menelan racun sementara reptilnya tidak mau melahap kalajengking. Kesembronoan dan kejanggalan cara mereka itu hanya berhasil dalam satu hal: memperbesar—bahkan bisa jadi lebih besar lagi—kebencian yang dirasakan bangsa kalajengking pada seluruh umat manusia.

Aku punya siasat yang lain daripada yang lain. Aku telah mencoba menyebarluaskannya, namun tidak berhasil; seperti yang pada galibnya dialami seorang pelopor, aku salah dimengerti. Dengan segala kerendahan hati, aku yakin siasatku ini bukan saja yang terbaik, melainkan satu-satunya cara yang tepat dalam bertahan menghadapi kalajengking.

Prinsip utamanya terdiri dari menghindari konfrontasi langsung maupun ikut serta dalam penyerangan singkat namun riskan, serta menyembunyikan rasa permusuhan dari kalajengking-kalajengking itu. (Tentu saja, aku tahu kalau semestinya maju saja dengan hati-hati, aku tahu kalau sengatan kalajengking itu mematikan. Benar sekiranya aku menjejalkan diriku dalam pakaian selam maka aku akan benar-benar aman; benar pula sekiranya aku melakukannya maka kalajengking-kalajengking itu akan mengetahui, dengan sangat pasti, kalau aku takut pada mereka. Dan aku sangatlah takut pada kalajengking. Namun tidak semestinya ketenangan diri sampai hilang.)

Tindakan dasarnya, yang efektif kendati tanpa tekanan berlebih pada kekerasan serta aksi teatris yang tidak menyenangkan, terbagi menjadi dua langkah sederhana. Yang pertama ialah mengikat ujung celana panjang dengan gelang karet yang sangat kencang; ini untuk mencegah kalajengking merayapi kakiku. Yang kedua yaitu berpura-pura kalau aku sedang mengidap flu berat dan mengenakan sarung tangan kulit sepanjang waktu; ini untuk mencegah sengatan pada tangan. (Lebih dari seorang yang jiwanya negatif menunjukkan kerugian semata dari siasat ini pada musim panas tanpa mengakui kegunaannya yang lebih umum dan tidak dapat disangkal lagi.) Bagaimanapun juga, kepala harus dibiarkan terbuka; ini cara terbaik untuk mempertunjukkan kesan berani dan positif mengenai diri kita pada kalajengking-kalajengking itu. Di samping itu, kalajengking biasanya tidak menjatuhkan diri dari langit-langit ke wajah manusia, meskipun adakalanya begitu. (Bagaimanapun juga, inilah yang terjadi pada almarhumah tetanggaku, ibu dari empat orang anak kecil yang cerdik, kini piatu. Persoalannya semakin parah, sebab kejadian ini memunculkan teori keliru yang hanya menjadikan upaya melawan kalajengking bertambah berat dan menyusahkan. Sebenarnya, suaminya yang masih hidup, tanpa dasar ilmiah yang memadai, menegaskan bahwa pada watu itu enam ekor kalajengking tertarik dengan warna biru pada mata korban dan mengemukakan bukti yang lemah dari pernyataannya yang sembrono itu, sama sekali kebetulan, bahwa sengatannya tersebar dalam tiga titik pada masing-masing pupil. Sungguh aku percaya ini sekadar takhayul yang dikarang-karang oleh orang berpikiran pengecut.)

Tepat sewaktu sedang dalam upaya bertahan, kita perlu berpura-pura tidak menyadari keberadaan kalajengking-kalajengking itu selagi menyerang mereka. Aku—dengan setenang mungkin—berusaha membunuh 80-100 kalajengking setiap harinya, seakan-akan itu kecelakaan. Aku memulainya dengan cara berikut ini yang, demi keselamatan umat manusia, kuharap akan ditiru dan, apabila memungkinkan, disempurnakan.

Sambil menampakkan keresahan, aku duduk di dapur dan mulai membaca koran. Sesekali kulihat jam tanganku dan bergumam sendiri, dengan suara yang cukup keras supaya dapat terdengar oleh kalajengking-kalajengking itu: “Sialan! Kenapa si Perez itu tidak menelepon juga?” Kelalaian si Perez itu membuatku marah dan memberi alasan bagiku untuk menjejak-jejakkan kaki dengan gusar ke lantai berkali-kali; dengan begini aku membantai tidak kurang dari sepuluh di antara sekian banyaknya kalajengking yang menutupi lantai. Sewaktu-waktu aku mengulangi luapan ketidaksabaranku itu dan dengan cara ini aku berusaha membunuh sebanyak-banyaknya. Bukan berarti aku mengabaikan kalajengking yang menyelimuti langit-langit dan dinding sepenuhnya yang sama-sama tidak terhitung banyaknya (yang menyerupai lima lautan hitam yang gemetaran, berdebar-debar, dan bergeser-geser); sesekali aku berpura-pura terserang histeria dan melemparkan benda berat ke dinding, tidak lupa sambil terus merutuki si Perez sialan karena belum juga menelepon. Memalukan rasanya memecahkan beberapa set piring dan cangkir serta hidup di tengah-tengah panci dan wajan penyok; namun memang tinggi harga yang harus dibayar demi mempertahankan diri dari kalajengking. Akhirnya, seseorang yang dinanti-nanti menelepon. “Itu Perez!” seruku dan terbirit-birit menuju telepon. Tentunya, kegopohan dan kecemasan membuatku lupa memerhatikan beribu-ribu kalajengking yang melapisi lantai dan meledak akibat terinjak-injak dengan suara keras lagi kenyal seperti telur yang sedang dipecahkan. Sesekali—namun hanya sesekali; cara ini tidak begitu berkenan di hati—aku tersandung dan jatuhlah seluruh tubuhku, dengan begitu lumayan memperbesar wilayah tubrukanku dan, akibatnya, begitu pula jumlah kalajengking yang mati. Ketika aku bangkit lagi, pakaianku dihiasi banyak sekali mayat kalajengking yang lengket; melepaskannya satu per satu merupakan pekerjaan sulit namun sekaligus kenikmatan atas keberhasilanku.

Sekarang aku ingin menyimpang sedikit supaya ada kaitannya dengan sebuah anekdot, yang dengan sendirinya mencerahkan, mengenai sebuah peristiwa yang terjadi padaku beberapa hari lalu dan, tanpa memaksudkannya, aku memainkan peran yang heroik, menurutku sendiri.

Saat itu waktunya makan siang. Seperti biasa aku mendapati meja tertutup oleh kalajengking-kalajengking itu; alat-alat makan, tertutup oleh kalajengking-kalajengking itu; kompor, tertutup oleh kalajengking-kalajengking itu…. Dengan kesabaran, dengan kepasrahan, dengan memalingkan pandangan, sedikit demi sedikit kusenggol binatang-binatang itu ke lantai. Karena perjuangan menghadapi kalajengking memakan banyak waktu, kuputuskan untuk membuat makanan cepat saji: beberapa telur goreng. Maka aku pun makan, sambil sering-sering menyingkirkan kalajengking nekat yang memanjat meja atau merayapi lututku, ketika, dari langit-langit, seekor kalajengking yang sehat dan kuat jatuh—atau melompat—ke piringku.

Merasa ketakutan, kujatuhkan pisau dan garpuku. Bagaimana aku mengartikan perbuatan itu? Apa kejadian ini kebetulan saja? Serangan padaku? Sebuah ujian? Beberapa saat aku kebingungan saja…. Apa maksud kalajengking-kalajengking itu padaku? Sebagai seorang prajurit kawakan dalam pertempuran menghadapi mereka, dengan segera aku mengerti. Mereka hendak memaksaku mengubah siasat pertahananku, agar aku beralih pada penyerangan yang sebenar-benarnya. Namun aku sangat yakin dengan kemanjuran strategiku; kalajengking-kalajengkng itu tidak akan berhasil mengelabuiku.

Dengan menahan amarah, kulihat kaki kalajengking yang tebal dan berambut itu tercemplung dalam telur, badannya menjadi kuning, dan ekornya yang berbisa melambai-lambai di udara seperti pelaut  terdampar yang memanggil pertolongan…. Setelah dipertimbangkan benar-benar, rontaan sekarat si kalajengking itu merupakan tontonan yang indah. Namun itu membuatku merasa agak muak. Hampir saja aku bertindak serampangan; aku terpikir untuk melempar isi piring itu ke tempat pembakaran sampah. Sungguhpun begitu, aku masih punya kebesaran tekad dan pelan-pelan berusaha mengendalikan diriku. Kalau tidak begitu, bisa-bisa aku dibenci dan dicerca beribu-ribu kalajengking yang sudah mulai kembali curiga dan mengawasiku dari langit-langit, dinding, lantai, kompor, lampu…. Lalu mereka akan punya dalih untuk merasa diri mereka sedang diserang dan siapa yang tahu kejadiannya akan seperti apa.

Kukuatkan hatiku dan dengan berpura-pura tidak menyadari adanya kalajengking yang masih meronta-ronta di piringku, dengan lagak bingung aku memakannya sekalian dengan telur dan bahkan mengelap piring itu dengan kulit roti supaya tidak ada sisa secuilpun. Ternyata tidak semenjijikkan yang kukhawatirkan semula. Mungkin cuma agak asam, namun rasa tersebut bisa jadi karena langit-langit mulutku masih belum terbiasa melahap kalajengking. Pada suapan terakhir aku tersenyum puas. Lalu kusadari kalau cangkang kalajengking, lebih keras daripada yang kuharapkan, bisa saja sulit dicerna jadi, pelan-pelan, supaya tidak menyinggung kalajengking-kalajengking lainnya, kuminum segelas cairan obat.

Siasat itu ada lagi macam-macamnya tapi, dan inilah yang pokok dari padanya, perlu diingat bahwa penting untuk bertindak seolah-olah kita tidak menyadari kehadiran—malah lebih baik lagi, hidupnya—kalajengking-kalajengking itu. Sekalipun begitu, kini aku diserang sejumlah keraguan. Kupikir kalajengking-kalajengking itu telah menyadari kalau seranganku bukanlah kecelakaan. Kemarin, sewaktu aku menjatuhkan panci berisi air mendidih ke lantai, aku menyadari kalau, dari balik pintu kulkas, sekitar tiga atau empat ratus kalajengking tengah mengamatiku dengan curiga, marah, dan dendam.

Barangkali siasatku akan gagal juga. Namun, sekarang ini, aku tidak bisa memikirkan siasat yang lebih baik lagi dalam bertahan menghadapi kalajengking.[] 



Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris cerpen Fernando Sorrentino, "Para defenderse de los escorpiones" (1982) oleh Clark M. Zlotchew yang berjudul "Method for Defense against Scorpions

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar