Laman

20231106

Anak yang Terjebak (Keiichiro Hirano, 2003)

Berlari terhuyung-huyung menembus kegelapan kota yang seperti mimpi.

Aku sendirian. Terengah-engah. Aku tidak mungkin pulang dengan seragam sekolahku kotor begini. Aku basah kuyup sampai ke kulit, tubuhku kedinginan, tapi panas keringat yang menguap samar-samar menggayut tidak nyaman di seputar leherku.

Saat itu sudah akhir musim hujan, namun aku dicurahinya dengan pukulan bertalu-talu. Aku mengusap wajah. Aku kembali menyeka rambutku ke belakang. Aku meradang seperti makhluk buas yang kakinya dihunjam duri. Jantungku memperlihatkan sederet taring yang menggerogoti dadaku. Menampakkan frustrasi tak terkendali dan cemas tak berbatas. Aku terbakar hangus oleh gemparnya keputusasaan dan aku bertahan di tepi kejatuhan.

Aku tidak bisa mengibaskan wajah mereka, yang membekas hitam dalam ingatanku.

Tak ada jalan untuk melarikan diri. Aku terpojok. Aku berharap hujan dapat mencuci bersih ingatanku.

Aku menyusuri tepi sungai di mana mereka melemparkan buku-bukuku ke air lalu menendangiku sampai aku muntah darah. Aku melewati toko buku bekas di mana aku menjual manga yang kucuri untuk mendapatkan uang yang mesti diserahkan kepada mereka. Aku melalui kegelapan di bawah viaduk di mana bayang-bayang para bangsat pencemooh itu telah menantiku sepulang sekolah.

Dan hujannya, tidak kunjung berhenti.

Aku berlari, sepatu ketsku yang penuh air bagaikan belenggu besi. Bayangan orang-orang di sekitarku mengabur. Kota kehilangan bentuknya bak cat air yang kebasahan.

Orang yang selalu paling keras memukulku berada di depan arkade, dikelilingi oleh anak buahnya, mengepak-ngepakkan mulutnya dengan tampang tolol.

Aku berhenti dan mengamati dia dari jauh. Aku merasa mau muntah. Rasanya seolah-olah aku kehilangan pegangan terhadap dunia nyata. Darah menderas melewati labirin pembuluh darahku.

Sebuah sepeda motor melaju kencang di samping kananku, bannya menyemburkan air.

Salah seorang di lingkaran itu tahu-tahu berbalik, membelalak padaku, merutukiku, suaranya naik satu oktaf.

Aku berusaha mengubur kegugupanku. Aku memendam segala jejak emosi dari wajahku.

Aku menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri dan merogoh saku kananku. Kepalaku terasa pusing dan tubuhku tidak mau berhenti gemetar. Aku menggigit bibir dan memaksa diri menelan saliva untuk membasahi kerongkongan.

Payung mereka berkerumun membentuk lingkaran, bagai kembang bokor hitam penyakitan yang dilihat dari kaca pembesar.

Aku mendongak. Tangan kananku mencengkeram pisau lipat seakan-akan benda itu kunci rumah yang ibuku kerap kali mengingatkanku supaya tidak hilang.

Jantungku berdebar. Lantas kakiku menyentak keras-keras kubangan di jalan, menyemburkan lumpur ke aspal.

Kilat pendek di kejauhan disusul gemuruh pelan guntur. Orang yang suka menyiksaku itu terkejut membelalak, dan menatapku kebingungan.

Payungnya melayang ke tanah bagai sehelai daun dan jeritan ngeri pun membahana. Kedengarannya seperti suaraku sendiri saat aku disiksa, putus asa lagi tak berdaya.

“Tidak! Jangan!”

Aku menikam tubuhnya yang kaku dilanda ketakutan, serangan kebencianku seketika menodai bajunya dengan warna merah padam.

“Tidak! Jangan!”

Kedengarannya seperti suaraku sendiri saat aku disiksa, putus asa lagi tak berdaya. Payungnya melayang ke tanah bagai sehelai daun dan jeritan ngeri pun membahana. Orang yang suka menyiksaku itu terkejut membelalak, dan menatapku kebingungan. Kilat pendek di kejauhan disusul gemuruh pelan guntur.

Lantas kakiku menyentak keras-keras kubangan di jalan, menyemburkan lumpur ke aspal.

Jantungku berdebar.

Tangan kananku mencengkeram pisau lipat seakan-akan benda itu kunci rumah yang ibuku kerap kali mengingatkanku supaya tidak hilang.

Aku mendongak. Payung mereka berkerumun membentuk lingkaran, bagai kembang bokor hitam penyakitan yang dilihat dari kaca pembesar.

Aku menggigit bibir dan memaksa diri menelan saliva untuk membasahi kerongkongan.

Kepalaku terasa pusing dan tubuhku tidak mau berhenti gemetar.

Aku menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri dan merogoh saku kananku.

Aku memendam segala jejak emosi dari wajahku.

Aku berusaha mengubur kegugupanku.

Salah seorang di lingkaran itu tahu-tahu berbalik, membelalak padaku, merutukiku, suaranya naik satu oktaf.

Sebuah sepeda motor melaju kencang di samping kananku, bannya menyemburkan air.

Darah menderas melewati labirin pembuluh darahku. Rasanya seolah-olah aku kehilangan pegangan terhadap dunia nyata.

Aku merasa mau muntah.

Aku berhenti dan memandang dia dari jauh.

Orang yang selalu paling keras memukulku berada di depan arkade, dikelilingi oleh anak buahnya, mengepak-ngepakkan mulutnya dengan tampang tolol.

Kota kehilangan bentuknya bak cat air yang kebasahan. Bayangan orang-orang di sekitarku mengabur. Aku berlari, sepatu ketsku yang penuh air bagaikan belenggu besi.

Dan hujannya, tidak kunjung berhenti.

Aku melalui kegelapan di bawah viaduk di mana bayang-bayang para bangsat pencemooh itu telah menantiku sepulang sekolah. Aku melewati toko buku bekas di mana aku menjual manga yang kucuri untuk mendapatkan uang yang mesti diserahkan kepada mereka. Aku menyusuri tepi sungai di mana mereka melemparkan buku-bukuku ke air lalu menendangiku sampai aku muntah darah.

Aku berharap hujan dapat mencuci bersih ingatanku.

Aku terpojok. Tak ada jalan untuk melarikan diri. Aku tidak bisa mengibaskan wajah mereka, yang membekas hitam dalam ingatanku.

Aku terbakar hangus oleh gemparnya keputusasaan dan aku bertahan di tepi kejatuhan. Menampakkan frustrasi tak terkendali dan cemas tak berbatas. Jantungku memperlihatkan sederet taring yang menggerogoti dadaku. Aku meradang seperti makhluk buas yang kakinya dihunjam duri. Aku mengusap wajah. Aku kembali menyeka rambutku ke belakang. Saat itu sudah akhir musim hujan, namun aku dicurahinya dengan pukulan bertalu-talu. Aku basah kuyup sampai ke kulit, tubuhku kedinginan, tapi panas keringat yang menguap samar-samar menggayut tidak nyaman di seputar leherku. Aku tidak mungkin pulang dengan seragam sekolahku kotor begini.

Terengah-engah.

Aku sendirian.

Berlari terhuyung-huyung menembus kegelapan kota yang seperti mimpi.

 

Cerpen ini pertama kali diterbitkan dalam majalah Gunzo edisi November 2003. Terjemahan ini berdasarkan pada versi bahasa Inggris David Karashima, “The Trapped Boy”, dalam Words Without Borders edisi Maret 2015, serta versi Brandon Geist, “Trapped”, dalam A Translation and Study of Short Stories by Hirano Keiichiro (2012).


Bottom of Form

Keiichiro Hirano lahir di Prefektur Aichi pada 1975 dan dibesarkan di Kita-Kyushu, mengeluarkan debutnya pada 1999 dengan novel pertamanya, Nisshoku (L’Eclipse), yang dianugerahi Penghargaan Akutagawa. Karyanya yang lain meliputi Funeral, Ripples the Dripping Clocks Make, Collapse, Dawn, The Only Form of Love, Fill in the Blanks, dan yang terbaru The Invisible Labyrinth. Karyanya telah diterjemahkan ke beberapa bahasa.

David Karashima adalah lektor penulisan kreatif di School of International Liberal Studies, Universitas Waseda. Ia menerjemahkan ke bahasa Inggris karya-karya pengarang seperti Hitomi Kanehara, Yasutaka Tsutsui, Taichi Yamada, Hisaki Matsuura, dan Shinji Ishii, ikut menyunting (bersama Elmer Luke) antologi March Was Made of Yarn: Writers Respond to the Japanese Earthquake, Tsunami, and Nuclear Meltdown, serta mengampu sebagai editor internasional Granta Japan. Pada 2008 ia turut memprakarsai Read Japan di Nippon Foundation, kemitraan antara pengarang, penerjemah, penyunting, penerbit, dan universitas untuk memfasilitasi publikasi terjemahan karya sastra Jepang.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar