Laman

20140120

Pemakaman John Mortonson (Ambrose Bierce, 1893)

John Mortonson meninggal. Semua baris dialognya dalam pementasan “'Manusia' Tragedi” telah diucapkan, dan dia telah meninggalkan panggung.

Jenazah disemayamkan di dalam peti mati yang bagus, dilapisi dengan kaca tebal yang bening. Segala persiapan untuk pemakaman itu telah diurus dengan sangat baik. Andaikata almarhum mengetahuinya, ia pasti akan senang. Wajahnya, sebagaimana yang terlihat di balik permukaan kaca, tidaklah buruk: menampakkan senyuman samar dan damai berkat polesan pengurus pemakaman, seakan kematiannya dilalui tanpa rasa sakit. Tepat pukul dua siang, handai tolan akan hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada ia yang tidak lagi membutuhkan handai tolan dan penghormatan. Tiap beberapa menit sebagian demi sebagian dari para anggota keluarga yang masih hidup mendekati peti mati dan menangisi roman tenang di bawah permukaan kaca itu. Ini tidak ada artinya bagi mereka; tidak ada artinya pula bagi John Mortonson; namun di hadapan kematian akal dan pemikiran menjadi bungkam.

Menjelang pukul dua, handai tolan mulai berdatangan. Setelah memberikan semacam penghiburan pada kerabat yang ditinggalkan selayaknya kepatutan dalam situasi tersebut, mereka memosisikan diri mereka di sekitar ruangan dengan khidmat, dengan kesadaran yang bertambah-tambah akan pentingnya keberadaan mereka dalam mendukung suasana berkabung itu. Kemudian datanglah pendeta. Lampu-lampu kecil di latar belakangnya meredup. Kemunculannya diikuti oleh janda mendiang. Ratapan wanita itu memenuhi ruangan. Ia mendekati peti mati, sesaat merebahkan wajahnya pada kaca yang dingin. Lalu dengan lembut ia digiring ke tempat duduk di dekat putrinya. Dengan amat pilu dan murung, pendeta memulai eulogi bagi mendiang. Suaranya yang muram bercampur dengan isakan, yang memang tujuannya untuk membangun dan mempertahankan suasana, meninggi dan melirih, terdengar sayup-sayup bagai laut yang bergolak. Hari yang mendung menjadi semakin gelap saja seiring dengan ucapan sang pendeta; tirai membentang di langit dan beberapa tetes hujan terdengar berjatuhan. Tampaknya segenap alam turut berduka atas kematian John Mortonson.

Setelah pendeta menutup euloginya dengan doa, nyanyian dilantunkan. Para pengusung jenazah mengambil posisi di samping usungan. Begitu baris terakhir dari lagu tersebut usai dinyanyikan, janda mendiang melemparkan dirinya ke atas peti mati, dan meratap dengan histeris. Bagaimanapun juga, wanita itu berangsur-angsur menyerah pada bujukan yang memintanya untuk berhenti. Ia menjadi lebih tenang. Selagi pendeta menggiringnya menjauh, mata wanita itu mencari-cari wajah mendiang di balik permukaan kaca. Lantas ia mengangkat lengannya, dan sembari menjerit terjengkang tak sadarkan diri.

Para pelayat berhamburan ke arah peti mati, handai tolan mengikuti. Begitu jarum pada jam di atas rak terantuk di angka tiga, semua orang menatap wajah almarhum John Mortonson.

Mereka berbalik dengan raut mual dan pucat. Seseorang, dalam upayanya melarikan diri dari pemandangan mengerikan itu, tersandung peti mati dengan begitu kerasnya hingga menyenggol salah satu penyangga yang rapuh. Peti mati itu jatuh ke lantai. Kacanya hancur berkeping-keping akibat benturan itu.

Dari lubang pecahan, merangkaklah kucing John Mortonson. Dengan malas ia melompat ke lantai. Kaki depannya menyeka moncongnya yang berwarna merah gelap dengan tenang, lalu ia melangkah dari ruangan itu dengan penuh martabat.[]



Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar