Laman

20140327

Silas yang Budiman (Herbert Ernest Bates, 1939)

Pada usianya yang ke-95 tahun, Pamanku Silas punya waktu untuk mencoba berbagai hal. Pada suatu waktu ia menjadi penggali kubur.

Halaman gereja Solbrook menghampar luas di sisi luar desa, tepatnya pada sebuah bukit kecil yang lapang di lembah sungai.

Di sanalah dengan pakaiannya yang kumal Pamanku Silas menggali kira-kira satu kuburan tiap bulannya.

Ia bekerja sepanjang hari menggali tanah lempung cokelat-kebiruan tanpa bersua siapapun. Tak ada yang menemaninya selain burung-burung yang mencungkili cacing dari permukaan bumi yang telah dikuliti. Dengan penampilannya yang jauh dari menawan lagi ganjil, ia tampak seperti patung yang habis menggelinding jatuh dari atap gereja mungil itu, pria kecil yang seakan sudah berusia sangat tua dan akan terus hidup dengan menggali kuburan orang lain selama-selamanya.

Pada suatu hari yang panas namun nyaman di bulan Mei, ia sedang menggali kuburan di sisi selatan halaman gereja. Rerumputan telah merimbun tinggi. Bunga-bunga keemasan tumbuh berpencar di sela-sela nisan.


20140320

Mabel (William Somerset Maugham, 1934)

Waktu itu aku sedang berada di Pagan, Burma. Dari sana aku naik kapal uap menuju Mandalay. Namun dua hari sebelum aku sampai di tujuan, sewaktu kapal sedang berlabuh semalam di sebuah perkampungan tepi sungai, aku terpikir untuk berjalan-jalan di daratan. Kapten kapal memberitahuku bahwa ada sebuah klub kecil yang menyenangkan. Aku bisa pergi ke sana dan menyamankan diri. Tempat itu biasa didatangi orang-orang asing dari kapal. Pengelolanya pun amat ramah. Mungkin aku bisa main kartu di sana. Karena tidak tahu mau melakukan apa, aku pun naik ke salah satu kereta yang menanti di area pelabuhan, dan diantarkan ke klub tersebut.

Ada seorang pria sedang duduk-duduk di sana sewaktu aku masuk. Ia menyambutku dan bertanya aku mau minuman apa. Ia tidak memikirkan kemungkinan aku tidak mau minum apapun sama sekali. Aku memilih minuman campuran dan duduk. Pria itu berbadan jangkung dan ramping. Kulitnya cokelat terbakar oleh matahari. Aku tidak tahu namanya. Namun setelah mengobrol sebentar, pria lain muncul dan memberitahuku kalau dirinya pengelola klub tersebut, dan menyebut teman baruku itu George. 


20140313

Sungguh Kamu Baik-baik Saja (Dorothy Parker, 1929)

Seorang lelaki muda nan pucat menurunkan tubuhnya dengan hati-hati di kursi. Kepalanya bergulir ke samping. Ademnya kain cita membuat pelipis dan dagunya terasa nyaman.
               
“Aduh,” ucapnya. “Aduh, aduh, aduh. Duh.”
               
Seorang perempuan bermata jernih dengan ringannya du­duk tegak di sofa. Tersenyum cerah pada lelaki itu.
               
“Lagi kurang enak badan ya?” ujarnya.
               
“Oh, aku baik-baik saja,” kata lelaki itu. “Bukan main ba­ik­nya, aku ini. Tahu jam berapa aku bangun? Jam empat sore ini, pas. Aku berusaha untuk tetap bangun. Dan setiap kali aku mengangkat kepala dari bantal, malah oleng lagi ke bawah kasur. Seperti bukan kepalaku saja. Kukira ini yang biasa dirasakan oleh para penyair. Aduh, aduh, aduh.”

“Mungkin minuman bisa membuatmu baikan?” tanya pe­rem­puan itu.

“Sakit kepala yang menyerangku?” ujar lelaki itu. “Oh, ti­dak, terima kasih. Tolong jangan pernah membicarakan itu lagi. Aku sudah selesai. Aku sungguh-sungguh, sungguh-sungguh selesai. Lihat tangan ini; gemetaran seperti burung kecil. Beritahu aku, apa aku buruk sekali semalam?”


20140306

Nona Brill (Katherine Mansfield, 1920)

Sungguhpun hari itu cerah cemerlang—birunya langit dipupuri titik-titik cahaya keemasan nan indah bagai anggur putih dipercikkan ke atas taman kota—Nona Brill merasa senang karena telah memutuskan untuk mengenakan syal bulunya. Udara tak bergerak, namun begitu kau membuka mulut, terasa hawa dingin nan lemah, seperti hawa dari segelas air es sebelum kau menyesapnya, dan kini selembar daun lagi yang melayang—tidak dari manapun, dari langit. Nona Brill menaikkan tangannya dan menyentuh syal bulunya. Benda kecil tersayang! Nyaman rasanya meraba benda itu lagi. Dia mengeluarkan benda itu dari kotaknya sore itu, membubuhkan kapur barus, menyikatnya dengan baik, dan menggosok sepasang mata mungil nan redup itu hingga tampak kembali hidup. “Apa yang telah terjadi padaku?” kata sepasang mata mungil nan sendu itu. Oh, betapa manisnya melihat keduanya menjeratnya lagi dari alas kasur yang berwarna merah itu! . . . Tapi hidungnya, dari suatu bahan yang berwarna hitam, tidak begitu keras. Mestinya itu berbunyi kalau diketok, bagaimanapun juga. Tak apalah—sedikit polesan dengan lak hitam kalau ada kesempatan—kalau benar-benar diperlukan. . . . Bocah nakal! Ya, dia benar-benar merasakannya seperti itu. Bocah nakal yang mengigit ekornya sendiri, tepat di dekat telinga sebelah kiri. Dia telah menurunkannya tadi, meletakkannya di pangkuan, dan membelai-belainya. Dia merasakan geli di kedua tangan dan lengannya, tapi pikirnya itu akibat dari berjalan kaki. Ketika ia menarik napas, ia merasa ringan dan sendu—tidak, bukan sendu, tepatnya, seperti ada sesuatu yang lembut bergerak-gerak di dalam dadanya.