Laman

20140920

Laguna Cubelli (Fernando Sorrentino, 2008)

Di sebelah tenggara pedalaman Buenos Aires, Anda dapat menjumpai Laguna Cubelli. Laguna ini lebih dikenal dengan sebutan “Danau Aligator Berdansa”. Kendati jelas-jelas menyatakan keadaan yang sebenarnya, namun Doktor Ludwig Boitus membuktikan bahwa penamaan populer tersebut tidaklah akurat.

Pertama, “laguna” dan “danau” adalah kondisi hidrografis yang berbeda. Kedua, meskipun aligator atau Caiman yacare (Daudin)—dari keluarga Alligatoridae—biasa dijumpai di Amerika, namun laguna yang satu ini bukanlah habitat bagi spesies aligator manapun.

Airnya luar biasa asin. Fauna dan floranya menyerupai makhluk hidup di lautan. Karena itulah, tidak mengherankan bahwa dalam laguna ini terdapat populasi buaya air asin yang jumlahnya sekitar 130 ekor.

“Buaya air asin” ini, yaitu Crocodilus porosus (Schneider), merupakan reptil terbesar yang pernah ada. Hewan ini biasanya mencapai panjang sekitar tujuh meter (23 kaki) dengan bobot lebih dari satu ton. Doktor Boitus menegaskan bahwa dirinya pernah menyaksikan beberapa ekor yang memiliki panjang lebih dari sembilan meter (30 kaki) di sepanjang pantai Malaysia. Sebetulnya, ia juga telah mengambil dan membawa pulang gambar yang seharusnya dapat membuktikan keberadaan makhluk besar itu. Namun karena gambar itu diambil di perairan laut tanpa suatu patokan sebagai perbandingan, menjadi tidak mungkin untuk memastikan secara tepat apakah buaya-buaya itu memang mencapai ukuran sebagaimana yang dinyatakan oleh Doktor Boitus. Tentulah tidak masuk akal untuk meragukan perkataan seorang peneliti yang kariernya begitu cemerlang (bahkan meskipun ia suka menggunakan bahasa yang agak rumit), namun metodologi ilmiah menetapkan bahwa penemuan diabsahkan dengan metode yang sudah baku, yang mana dalam kasus ini tidaklah digunakan.

Kebetulan saja, buaya-buaya di Laguna Cubelli memiliki ciri taksonomis yang persis dengan makhluk sejenisnya yang hidup di perairan sekitar India, China, dan Malaysia. Karenanya, buaya-buaya itu sebenarnya dapat dianggap sebagai buaya air asin atau Crocodili porosi. Bagaimanapun juga, ada beberapa perbedaan yang mana telah digolongkan oleh Doktor Boitus menjadi ciri morfologis dan ciri etologis[1].

Di antara ciri-ciri pembeda itu, yang paling penting (atau lebih tepatnya, satu-satunya yang penting) adalah ukuran. Sementara buaya air asin di Asia dapat mencapai panjang tujuh meter, buaya di Laguna Cubelli yang paling panjang jarang mencapai dua meter (6 kaki 6 inci), diukur dari ujung moncong sampai ujung ekor.

Berkenaan dengan studi atas perilakunya, menurut Boitus, buaya ini gemar melakukan “pergerakan yang harmonis berdasarkan irama” (atau, menggunakan istilah yang lebih sederhana dan lebih disukai oleh warga kota Cubelli, “berdansa”). Sebagaimana yang telah diketahui, selama berada di daratan buaya sama tidak berbahayanya dengan sekawanan merpati. Mereka hanya dapat berburu dan membunuh ketika berada di dalam air yang mana merupakan elemen penting dalam kehidupan mereka. Mereka menjebak mangsa dalam jepitan rahang mereka, lalu menggoyang-goyangkannya dengan cepat sampai korban itu mati. Gigi mereka tidak berfungsi untuk mengunyah, melainkan semata-semata untuk mengurung dan menelan korban bulat-bulat.

Apabila kita mengunjungi pantai Laguna Cubelli dan menyalakan musik yang pas untuk berdansa, kita akan segera menyaksikan bahwa hampir semua buaya akan muncul dari perairan dan mulai berdansa mengikuti irama lagu begitu sampai di daratan.

Atas pertimbangan yang menyangkut anatomi dan perilaku, jenis reptil Sauria ini dinamai Crocodilus pusillus saltator (Boitus).

Selera mereka berubah-ubah dan pilih-pilih. Mereka sepertinya tidak membedakan antara musik yang secara estetis pantas untuk berdansa dan yang kurang patut. Bagi mereka, lagu-lagu populer tidak kalah menyenangkan dari komposisi simfoni untuk pertunjukan balet.

Buaya-buaya ini menari dalam posisi tegak lurus dengan bertumpu hanya pada kaki belakang mereka. Dalam posisi itu, mereka mencapai tinggi rata-rata 1,7 meter (5 kaki 8 inci). Supaya tidak terjungkal ke tanah, ekor mereka terangkat hingga membentuk sudut lancip, hampir sejajar dengan punggung mereka. Pada saat yang bersamaan, tungkai depan mereka (yang mana dapat kita sebut saja sebagai tangan) mengikuti irama dengan aneka gerak-gerik yang mengesankan. Gigi mereka yang kuning membentuk senyuman lebar yang memancarkan kegembiraan dan kepuasan.

Sebagian warga sama sekali tidak tertarik untuk ikut berdansa bersama buaya-buaya, namun banyak lainnya yang tidak sungkan-sungkan. Buktinya, setiap Sabtu begitu matahari terbenam mereka mengenakan pakaian pesta dan berkumpul di pantai laguna. Klub Sosial Cubelli telah menyiapkan segala yang dibutuhkan untuk menjadikan malam itu tidak terlupakan. Selain itu, orang-orang dapat makan malam di restoran yang dibangun tidak jauh dari lantai dansa.

Lengan buaya agak pendek dan tidak dapat memeluk tubuh pasangannya. Pria atau wanita yang berdansa dengan buaya jantan atau betina mesti mengatur agar kedua tangan hewan itu dapat ditempatkan di bahu pasangannya. Supaya hal ini dapat terjadi, lengan buaya mesti dijulurkan semaksimal mungkin hingga mencapai jarak tertentu. Karena moncong buaya sangatlah berat, orang harus melakukan tindakan pencegahan dengan memosisikan tubuhnya secondong mungkin ke arah belakang. Memang kadang-kadang ada saja yang hidungnya berdarah, matanya tercolok, atau lehernya patah. Namun tidak pula dapat diabaikan bahwa napas reptil ini juga jauh dari memikat karena gigi mereka yang boleh jadi dilekati sisa-sisa bangkai.  

Menurut legenda orang Cubelli, pulau kecil di tengah-tengah laguna dihuni oleh raja dan ratu buaya. Mereka tampaknya tidak pernah meninggalkan tempat tersebut. Konon keduanya berusia lebih dari dua abad. Mungkin karena usia mereka yang lanjut, mungkin juga karena mereka sekadar ingin berlagak, mereka tidak pernah berkehendak untuk turut serta dalam acara dansa yang diadakan oleh Klub Sosial.

Acara tersebut tidaklah berlangsung hingga melewati tengah malam. Pada waktu tersebut, para buaya mulai kelelahan dan mungkin juga agak bosan. Mereka mungkin merasa lapar, dan karena akses mereka menuju restoran dihalangi, mereka ingin kembali ke perairan saja untuk mencari makanan.

Ketika sudah tidak ada lagi buaya yang tersisa di daratan, para wanita dan pria kembali ke kota dengan agak kelelahan dan sedikit sedih. Namun mereka berharap agar pada acara dansa yang berikutnya, atau mungkin yang berikutnya lagi, raja buaya, atau ratunya, atau bahkan keduanya, berkehendak untuk meninggalkan pulau mereka barang beberapa jam dan turut serta dalam pesta. Andaikata peristiwa ini terjadi, setiap pria diam-diam memendam khayalan bahwa sang ratu buaya akan memilih mereka sebagai pasangan dansa; begitupun dengan para wanita, yang bermimpi untuk dapat berdansa dengan sang raja.[]




“La albufera de Cubelli” pertama kali dipublikasikan di Cuadermos del Minotaura (editor Valentín Pērez Venzalà), Ano IV, No. 6, Madrid, 2008, pp. 117-120. Cerpen ini diterjemahkan dari teks berbahasa Spanyol yang telah disederhanakan ke dalam bahasa Inggris oleh Michele Aynesworth dengan judul “The Cubelli Lagoon”.




[1] Etologi: cabang ilmu zoologi yang mempelajari perilaku atau tingkah laku hewan, mekanisme, serta faktor-faktor penyebabnya

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar