Laman

20150109

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 1 1/3 (Haruki Murakami, 1994)

Buku Satu: The Thieving Magpie
Juni dan Juli 1984





1

Burung Mainan Hari Selasa
*
Enam Jari dan Empat Payudara



Sewaktu telepon berbunyi, aku sedang berada di dapur, mendidihkan sepanci spageti dan bersiul mengiringi pembukaan The Thieving Magpie-nya Rossini yang diputarkan radio dan merupakan musik yang pas untuk memasak pasta.

Aku ingin mengabaikan saja telepon itu. Bukan saja karena spagetinya sudah hampir matang, tapi juga karena Claudio Abbado sedang mengarahkan The London Symphony pada puncak permainan. Meski begitu, akhirnya aku menyerah. Bisa saja itu orang yang mengabarkan lowongan kerja. Aku mengecilkan api, menuju ruang tengah, dan mengangkat gagang telepon.

“Sepuluh menit saja,” kata wanita di ujung sambungan.

Aku pandai mengenali suara orang, tapi tidak yang satu ini.

“Maaf? Mau bicara dengan siapa, ya?”

“Tentu saja sama kamu. Sepuluh menit, saja. Supaya kita bisa memahami satu sama lain.” Suaranya rendah dan lembut namun tidak termasuk jenis suara tertentu.

“Memahami satu sama lain?”

“Perasaan satu sama lain.”

Aku bersandar dan menengok sepintas ke dapur. Panci spagetinya sedang mengepulkan uap, dan Claudio Abbado masih mengarahkan The Thieving Magpie.

“Maaf, ya, kamu menelepon sewaktu aku sedang masak spageti. Apa mungkin aku memintamu menelepon lagi nanti?”

“Spageti!? Kok setengah sepuluh pagi sudah masak spageti?”

“Itu bukan urusanmu,” ujarku. “Aku yang tentukan aku mau makan apa dan kapan memakannya.”

“Betul juga. Nanti aku telepon lagi,” katanya, kini suaranya datar dan tanpa perasaan. Sedikit perubahan suasana bisa memberi pengaruh yang mengherankan pada nada suara orang.

“Tunggu sebentar,” ujarku sebelum ditutupnya telepon. “Kalau ini maksudnya untuk jualan, batalkan saja. Aku ini pengangguran. Aku bukan pasarnya untuk barang jualan apapun.”

“Tenang saja. Aku tahu kok.”

“Kamu tahu? Tahu apa?”

“Kalau kamu ini pengangguran. Aku tahu itu. Jadi teruskan saja masak spagetinya.”

“Siapa sih—“

Ia memutus sambungan.

Dalam diam kupandangi gagang telepon di tanganku itu sampai teringat akan spageti. Di dapur, kumatikan gasnya dan menuangkan isi panci ke saringan. Berkat telepon itu, spagetinya jadi agak lembek ketimbang kenyal, tapi tidak lembek-lembek amat. Aku mulai makan dan berpikir.

Memahami satu sama lain? Memahami satu sama lain dalam sepuluh menit? Apa maksudnya wanita itu? Mungkin itu cuma telepon iseng. Atau semacam trik dagang baru. Bagaimanapun juga, tidak ada urusannya denganku.

Setelah makan siang, aku kembali membaca novel di sofa ruang tengah, sesekali melirik telepon. Apanya yang mesti dipahami satu sama lain dalam sepuluh menit? Apa yang bisa dipahami sepasang orang tentang satu sama lain dalam sepuluh menit? Baru terpikir olehku, ia sepertinya yakin sekali tentang sepuluh menit itu: itu hal pertama yang diucapkannya. Seakan-akan sembilan menit itu terlalu singkat atau sebelas menit itu terlalu lama. Seperti kalau mau memasak spageti yang kenyal.

Aku tidak bisa terus membaca. Aku putuskan untuk menyetrika pakaian saja. Selalu kulakukan kalau sedang banyak pikiran. Kebiasaan lama. Aku membaginya menjadi tepat dua belas langkah, dimulai dari kerah (permukaan luarnya) dan diakhiri dengan pergelangan tangan sebelah kiri. Urutannya selalu sama, dan aku sendiri yang membagi setiap langkah itu. Kalau tidak begitu, hasilnya tidak akan rapi.

Aku menyetrika tiga pakaian, memeriksa kerutannya dan memasangnya di gantungan. Begitu mematikan setrika dan menyimpannya bersama papannya di lemari, pikiranku terasa jauh lebih jernih.

Aku sedang menuju dapur untuk mengambil segelas air sewaktu telepon berbunyi lagi. Sesaat aku ragu namun memutuskan untuk menjawabnya. Kalau itu wanita yang tadi, aku akan memberitahunya kalau aku sedang menyetrika dan menutupnya.

Kali ini Kumiko yang menelepon. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas tiga puluh. “Apa kabar?” tanyanya.

“Baik,” jawabku, lega mendengar suara istriku.

“Sedang apa?”

“Baru selesai menyetrika.”

“Ada masalah?” Ada nada tegang dalam suaranya. Ia tahu artinya kalau aku menyetrika.

“Tidak ada apa-apa. Cuma menyetrika beberapa pakaian.” Aku duduk dan memindahkan gagang telepon dari tangan kiri ke tangan kanan. “Ada apa?”

“Kamu bisa menulis puisi?” tanyanya.

“Puisi!?” Puisi? Apa maksudnya… puisi?

“Aku kenal dengan penerbit majalah cerita untuk remaja putri. Mereka sedang mencari orang untuk menyortir dan merevisi puisi yang dikirim pembaca. Dan mereka ingin orangnya supaya menulis puisi pendek tiap bulan untuk halaman depan. Bayarannya lumayanlah buat pekerjaan gampang begitu. Tentunya, ini paruh-watu. Tapi mereka mungkin juga menambahkan pekerjaan redaksional kalau orangnya—“

“Pekerjaan gampang?” Aku menyela. “Hei, nanti dulu. Aku mencari pekerjaan yang berhubungan dengan hukum, bukan puisi.”

“Kukira kamu suka menulis sewaktu SMA.”

“Iya sih, untuk koran sekolah: tim mana yang memenangkan kejuaraan sepak bola atau cerita tentang guru Fisika yang jatuh di tangga lalu dirawat di rumah sakit—macam begitulah. Bukan puisi. Aku tidak bisa menulis puisi.”

“Ya, tapi maksudku bukan puisi yang wah, cuma untuk anak-anak SMA kok. Tidak harus yang sampai masuk dalam sejarah kesusasteraan. Kamu bisa melakukannya sambil merem. Mengerti, kan?”

“Begini deh, pokoknya aku tidak bisa menulis puisi—mau sambil merem atau melek kek. Aku tidak pernah membuatnya, dan sekarang pun aku tetap tidak mau.”

“Baiklah,” kata Kumiko, terdengar menyesal. “Tapi susah lo mendapat pekerjaan legal itu.”

“Aku tahu. Karena itulah aku sudah mengirim banyak proposal untuk referensi. Semestinya sudah ada kabar minggu ini. Kalau itu tidak berhasil, aku akan mencari cara lain.”

“Yah, kukira begitu saja. Omong-omong, hari apa sekarang?”

Aku berpikir sebentar dan menjawab, “Selasa.”

“Kalau begitu maukah kamu ke bank dan membayar gas dan telepon?”

“Tentu. Lagipula tadinya aku mau belanja untuk makan malam.”

“Rencananya mau bikin apa?”

“Aku belum tahu. Aku putuskan nanti saja sewaktu belanja.”

Ia terdiam. “Baru terpikir olehku,” ucapnya, kembali serius, “tidak usah buru-buru amat mendapat pekerjaan.”

Tidak kusangka-sangka. “Memangnya kenapa?” tanyaku. Apa para wanita di dunia ini telah memutuskan untuk memberiku kejutan lewat telepon? “Cepat atau lambat masa menganggurku akan berakhir. Aku tidak bisa terus luntang-lantung selamanya.”

“Betul, tapi dengan kenaikan gajiku, dan sesekali ada pekerjaan sampinganku juga, ditambah tabungan kita, kita bisa bertahan dengan baik asal cermat. Keadaannya toh tidak benar-benar darurat. Apa kamu tidak suka berdiam di rumah begini dan melakukan pekerjaan rumah? Maksudku, apa hidup seperti ini salah buatmu?”

“Aku tidak tahu,” jawabku dengan jujur. Aku benar-benar tidak tahu.

“Yah, beristirahatlah dan pikirkan,” katanya. “Omong-omong, kucingnya sudah balik?”

Kucing. Sepanjang pagi ini aku sama sekali tidak terpikir soal kucing itu. “Belum,” jawabku.

“Kamu bisa mencarinya di sekitar perumahan? Sudah lebih dari seminggu dia hilang.”

Aku bergumam tidak pasti dan memindahkan gagang telepon ke tangan kiriku lagi. Ia melanjutkan:

“Aku hampir pasti dia berkeliaran di sekitar rumah kosong di ujung gang. Yang ada patung burung di halamannya. Aku pernah melihatnya di sana beberapa kali.”

“Di gang? Sejak kapan kamu suka ke gang? Kamu tidak pernah bilang-bilang.”

“Ups! Harus pergi nih. Banyak pekerjaan menunggu. Jangan lupa kucingnya, ya.”

Ia memutus sambungan. Lagi-lagi aku mendapati diriku memandangi gagang telepon. Lalu aku menaruhnya di tempatku.

Aku penasaran dengan apa yang membuat Kumiko pergi ke gang. Dari rumah kami, supaya sampai ke sana orang harus memanjat dinding batako. Dan setelah bersusah-payah pun, tidak ada gunanya berada di sana.

Aku pergi ke dapur untuk mengambil segelas air, lalu ke beranda untuk menengok piring makanan kucing. Dari semalam gundukan sarden itu belum ada yang menyentuh. Belum, kucingnya belum kembali. Aku berdiri saja memandangi taman kecil kami, cahaya matahari pada awal musim panas memancar ke arahnya. Bukan berarti taman kami semacam taman yang bisa menjadi pelipur jiwa kalau dipandangi. Matahari menyorotkan sinarnya ke sana sedikit saja setiap harinya, jadi tanahnya hitam dan lembap, dan tumbuhan yang kami miliki hanyalah sedikit semak yang tidak menarik di salah satu pojokan—dan aku tidak menyukainya. Ada tegakan kecil pepohohan di dekatnya, dari situ kita bisa mendengar cuitan teratur seekor burung yang bunyinya seakan berasal dari pegas yang diputar. Kami menyebutnya burung mainan. Kumiko yang memberi nama itu. Kami tidak tahu apa sebetulnya sebutannya atau seperti apa penampakannya, namun itu tidak mengusik si burung mainan. Setiap hari ia akan hinggap di pepohonan di perumahan kami dan memutar pegas dari dunia kecil kami yang sunyi.

Jadi sekarang aku mesti mencari kucing itu. Dari dulu aku selalu menyukai kucing. Khususnya kucing yang satu ini. Tapi kucing punya cara hidupnya sendiri. Mereka tidak bodoh. Kalau kucing tidak lagi tinggal di tempatmu, artinya ia telah memutuskan untuk pergi  ke tempat yang lain. Kalau ia capek dan lapar, ia akan kembali. Meski begitu, supaya Kumiko senang, aku akan pergi mencari kucing kami. Tidak ada yang lebih baik lagi untuk dikerjakan.

*

Aku berhenti dari pekerjaanku pada awal April—pekerjaan di kantor hukum yang kujalani sejak lulus kuliah. Tidak ada alasan khusus yang menyebabkanku berhenti. Bukan karena aku tidak menyukai pekerjaanku. Memang tidak menantang, tapi bayarannya lumayan dan suasana kantornya menyenangkan.

Tugasku di firma itu—tanpa maksud tertentu—adalah sebagai sebagai pesuruh profesional. Dan aku baik dalam pekerjaanku itu. Boleh dibilang aku punya bakat sejati dalam melaksanakan tugas-tugas yang praktis. Aku cepat belajar, efisien, tidak pernah mengeluh, dan realistis. Itulah sebabnya, ketika aku mengajukan pengunduran diri, mitra senior (sang ayah dalam firma hukum milik ayah-dan-putranya ini) sampai menawarkan sedikit kenaikan gaji padaku.

Tapi aku tetap mengundurkan diri. Bukan berarti berhenti bekerja akan membantuku menyadari adanya harapan atau prospek lain. Hal terakhir yang ingin kulakukan, misalnya saja, adalah mengurung diri di rumah dan belajar untuk ujian pengacara. Aku merasa lebih yakin daripada sebelumnya kalau aku tidak ingin menjadi pengacara. Aku juga tahu kalau aku tidak ingin tetap di tempat itu dan melanjutkan pekerjaanku. Kalau aku mau berhenti, inilah saat yang tepat untuk mewujudkannya. Kalau aku tetap di firma itu lebih lama, aku akan terus di sana sepanjang sisa hidupku. Bagaimanapun juga, usiaku masih tiga puluh tahun.

Aku sudah memberitahu Kumiko pada waktu makan malam kalau aku sedang memikirkan untuk berhenti bekerja. Responsnya cuma, “Begitu, ya.” Aku tidak mengerti maksudnya itu, namun sementara ia tidak mengatakan apa-apa lagi.

Aku juga diam saja, sampai ia menambahkan, “Kalau kamu mau berhenti, ya berhenti saja. Ini hidupmu, dan kamu harus menjalaninya sesuai keinginanmu.” Sehabis mengatakan itu, ia sibuk mengambili tulang ikan dengan sumpit dan memindahnya ke sisi piring.

Kumiko memperoleh bayaran yang cukup bagus sebagai editor di majalah makanan sehat, dan sesekali ia mengerjakan permintaan ilustrasi dari teman-temannya sesama editor di majalah lain supaya mendapat banyak penghasilan tambahan. (Ia pernah belajar desain di perguruan tinggi dan berharap menjadi ilustrator lepas.) Selain itu, kalau aku berhenti, untuk sementara waktu aku akan punya penghasilan sendiri dari tunjangan pengangguran. Artinya, kalaupun aku di rumah saja dan mengurus rumah, kami masih punya uang lebih untuk misalnya makan di luar dan membayar uang kebersihan, dan gaya hidup kami hampir tidak akan berubah. Maka akupun mengundurkan diri dari pekerjaanku.



Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)

Artikel Terkait



2 komentar:

  1. Belum ada terjemahan indonesianya ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, saya belum tahu, misalkan ada :-/
      Terima kasih, ya, sudah berkunjung kemari :)

      Hapus