Laman

20150227

Siasat Bertahan Menghadapi Kalajengking (Fernando Sorrentino, 1982)


Penduduk terkejut, takut, sekaligus jengkel atas masifnya perkembangbiakan kalajengking yang mengancam Buenos Aires, kota yang hingga baru-baru ini bebas sama sekali dari spesies Arachnida yang satu ini.

Mereka yang tidak punya imajinasi telah menggunakan cara yang kelewat tradisional dalam menghadapi kalajengking, yaitu dengan racun. Yang punya imajinasi lebih memasukkan katak, kodok, dan kadal ke rumah, dengan harapan binatang-binatang itu akan mengganyang kalajengking. Kedua kelompok tersebut gagal habis-habisan: kalajengkingnya sama sekali tidak mau menelan racun sementara reptilnya tidak mau melahap kalajengking. Kesembronoan dan kejanggalan cara mereka itu hanya berhasil dalam satu hal: memperbesar—bahkan bisa jadi lebih besar lagi—kebencian yang dirasakan bangsa kalajengking pada seluruh umat manusia.

Aku punya siasat yang lain daripada yang lain. Aku telah mencoba menyebarluaskannya, namun tidak berhasil; seperti yang pada galibnya dialami seorang pelopor, aku salah dimengerti. Dengan segala kerendahan hati, aku yakin siasatku ini bukan saja yang terbaik, melainkan satu-satunya cara yang tepat dalam bertahan menghadapi kalajengking.


20150218

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 2 (Haruki Murakami, 1994)


2

Bulan Purnama dan Gerhana Matahari
*
Tentang Kuda-kuda yang Sekarat di Kandang



Mungkinkah seorang manusia memahami manusia lain seutuhnya?

Kita bisa saja mengerahkan waktu dan energi yang sangat besar untuk mengenal orang lain, tapi pada akhirnya, bisa sampai seberapa dekatkah kita dengan esensi orang itu? Kita yakin mengenal orang itu dengan baik, tapi apakah kita benar-benar tahu apa pun yang penting mengenai siapa pun?

Aku mulai serius memikirkannya seminggu setelah aku berhenti dari pekerjaanku di biro hukum. Hingga waktu itu, belum pernah aku—seumur-umur belum pernah—bergelut dengan pertanyaan seperti ini. Dan kenapa seperti itu? Mungkin karena selama ini aku sibuk dengan hidupku sendiri. Aku benar-benar sibuk memikirkan diriku sendiri saja.

Pemicunya sepele saja, seperti yang terjadi pada kebanyakan peristiwa penting di dunia ini. Suatu pagi setelah Kumiko terburu-buru sarapan dan pergi bekerja, aku memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, merapikan tempat tidur, mencuci piring, dan menyedot debu. Lalu, ditemani si kucing, aku duduk di beranda sambil melihat-lihat kolom iklan. Siangnya, aku makan siang dan pergi ke supermarket. Di sana aku membeli bahan makanan untuk makan malam dan, dari meja obralan, deterjen, tisu, serta kertas toilet. Kembali di rumah, aku menyiapkan makan malam dan merebahkan diri di sofa bersama buku, sambil menunggu Kumiko pulang.


20150209

Kembali ke Asal (Fernando Sorrentino, 1987)

Aku cenderung menerima begitu saja gagasan apa pun yang dikemukakan oleh sosiolog atau psikoanalis di acara televisi. Seorang pria berkacamata dan berjenggot sembari mengepulkan asap dari cangklongnya menyatakan dengan suara tinggi dan tak dapat disangkal lagi bahwa manusia modern telah menjadi objek, dan bahwa sedikit demi sedikit masyarakat konsumen telah melahap mereka.

Aku menjadi ketakutan dan sebuah proses mental yang memusingkan—yang tak ada gunanya dijelaskan, namun dapat dibayangkan dengan mudah—mendorongku untuk cepat-cepat mematikan televisi dan bergegas ke toko sepeda Suasorio Hermanos di lingkungan perumahanku di Villa Urquiza. Entah ada berapa orang Suasorio bersaudara itu sebab di toko hanya ada seorang lelaki sangat kurus dengan tulang pipi yang tinggi. Ia ternyata cerdas, efisien, dan sigap.

Sewaktu menawarkan sepeda kepadaku, caranya menyampaikan kalimat seperti seorang guru menjelaskan pada muridnya: