Laman

20150327

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 3 2/2 (Haruki Murakami, 1994)



*

Akibatnya, aku tidak usah lagi mencari wanita itu. Ia yang menemukanku. Begitu sampai di restoran itu, aku berkeliling sebentar, mencari-cari topi warna merah. Tidak ada wanita yang memakai topi warna merah. Jam tanganku menunjukkan pukul empat kurang sepuluh menit. Aku pun mengambil tempat duduk, meminum air yang dibawakan untukku, dan memesan secangkir teh. Tidak lama setelah pramusaji meninggalkan mejaku, aku mendengar seorang wanita di belakangku berkata, “Anda pasti Bapak Toru Okada.” Kaget, aku pun berbalik. Belum juga tiga menit sejak aku meninjau ruangan itu. Di balik jaketnya yang putih, ia mengenakan blus sutra berwarna kuning, dan topi vinil merah pada kepalanya. Refleks aku berdiri dan menghadapnya. “Cantik” sepertinya kata yang sangat pas untuk dirinya. Setidaknya ia jauh lebih cantik daripada yang kubayangkan dari suaranya di telepon. Tubuhnya ramping dan indah, sementara dandanannya tipis saja. Ia tahu caranya berpenampilan—kecuali untuk topi merahnya itu. Jahitan pada jaket dan blusnya tampak halus. Pada kerah jaketnya berpendar sebuah bros emas yang berbentuk bulu. Penampilan selebihnya sih tampak mewah, tapi aku tidak mengerti kenapa ia mesti melengkapinya dengan topi vinil merah yang tidak pas itu. Mungkin saja ia selalu mengenakannya untuk memudahkan orang mengenalinya dalam situasi seperti ini. Kalau begitu sih itu bukan gagasan yang buruk. Kalau tujuannya supaya terlihat menonjol dalam ruangan yang penuh orang tak dikenal begini, gagasan itu sudah pasti berhasil.


20150318

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 3 1/2 (Haruki Murakami, 1994)



3

Topi Malta Kano
*
Sherbet Tone, Allen Ginsberg, dan Prajurit Perang Salib



Aku sedang menyiapkan makan siang ketika telepon berdering lagi. Aku telah mengiris dua lembar roti, mengolesnya dengan mentega dan mostar, mengisinya dengan irisan tomat dan keju, menata semuanya di talenan, dan baru saja akan memotongnya jadi dua sewaktu telepon mulai berdering.

Aku membiarkan telepon itu berdering tiga kali dan memotong roti isinya jadi dua. Lalu aku memindahkannya ke piring, menyeka pisau, dan menaruhnya di laci perabotan, sebelum menuang secangkir kopi yang telah kuhangatkan untuk kuminum sendiri.

Telepon masih saja berdering. Mungkin ada lima belas kali. Aku menyerah dan mengangkatnya. Aku lebih suka tidak menjawabnya, tapi mungkin saja itu Kumiko.

“Halo,” suara seorang wanita yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Bukan suara Kumiko ataupun wanita asing yang meneleponku kapan itu sewaktu aku sedang memasak spageti. “Apa saya sedang berbicara dengan Bapak Toru Okada?” ucap suara itu, seakan-akan yang empunya sedang membacakan sebuah teks.


20150309

Ngengat (Helena Maria Viramontes, 1982)


Usiaku empat belas tahun sewaktu Abuelita[1] meminta bantuanku. Dan sepertinya memang sudah sepantasnya. Abuelita yang menyembuhkanku dari demam tinggi dengan meletakkan, melepaskan, dan mengganti irisan kentang di pelipisku. Ia juga yang menanganiku sewaktu aku mendapat cambukan berkali-kali, patah lengan akibat nekat melompat dari gudang perkakas milik Tio, mengalami pubertas, dan berbohong untuk pertama kalinya. Sungguh, kataku pada Amá, memang sudah sepantasnya.

Bukan berarti aku ini cucu kesayangannya atau sesuatunya yang istimewa. Aku bahkan tidak cantik atau baik hati seperti kakak-kakakku, dan aku tidak pandai mengerjakan hal yang kecewek-cewekkan seperti mereka. Tanganku terlalu besar untuk merajut atau menyulam, dan selalu saja jariku tertusuk atau berkali-kali benangku menyimpul dengan sendirinya sementara kakak-kakakku menertawakanku dan menyebutku si tangan sapi dengan suara mereka yang imut-imut dan bening. Jadi akupun mulai menyimpan kerikil di kaus kakiku dan menimpuk kakak-kakakku atau siapa saja yang menyebutku si tangan sapi. Pernah, sewaktu kami semua sedang duduk-duduk di kamar, aku menyambit dahi Teresa, tepat di atas alisnya dan ia pun lari pada Amá, mulutnya terbuka, tangannya menutupi mata, sementara darah merembes di sela-sela jarinya. Sejak itu aku biasa dicambuki.