Ini bukan kesalahanku. Kalian tidak bisa menyalahkanku. Bukan aku yang melakukannya dan aku tidak tahu bagaimana terjadinya. Tidak sampai sejam begitu mereka menariknya ke luar dari selangkanganku kusadari ada yang salah. Benar-benar salah. Saking hitamnya ia hingga aku merasa ngeri. Sehitam malam, sehitam orang Sudan. Kulitku cerah, rambutku bagus, selayaknya yang kita sebut dengan high yellow[1], begitu juga ayahnya Lula Ann. Tidak seorangpun di keluargaku yang warnanya begitu. Menurutku warnanya itu nyaris seperti ter, tapi rambutnya tidak cocok dengan kulitnya. Rambutnya lain—lurus tapi berombak, seperti rambut suku-suku telanjang di Australia. Kalian mungkin mengira ia mewarisi sifat-sifat dari leluhurnya, tapi dari leluhur yang mana? Mestinya kalian lihat nenekku; ia dipandang sebagai kulit putih, menikahi seorang pria kulit putih, dan tidak pernah bicara lagi pada anaknya yang manapun. Setiap surat yang diperolehnya dari ibuku atau bibi-bibiku dikirimnya balik tanpa dibuka. Akhirnya mereka mengerti pesan dari tiadanya pesan balasan itu dan melepasnya. Dulu hampir semua tipe mulato dan quadroon[2] melakukannya—ya, tergantung pada rambutnya. Bisakah kalian bayangkan ada berapa banyak orang kulit putih yang diam-diam berdarah Negro? Tebak saja. Katanya sih dua puluh persen. Ibuku sendiri, Lula Mae, bisa saja dipandang sebagai kulit putih, tapi ia memilih tidak. Ia menceritakan padaku harga yang mesti dibayarnya atas keputusan itu. Sewaktu ia dan ayahku ke kantor pengadilan untuk menikah, ada dua Injil, dan mereka harus meletakkan tangan mereka pada Injil yang diperuntukkan bagi orang Negro. Injil yang satunya lagi untuk tangan orang kulit putih. Injil! Percaya tidak? Ibuku pernah menjadi pengurus rumah tangga bagi pasangan kulit putih yang berada. Mereka makan setiap hidangan yang dimasaknya dan menyuruhnya menggosok punggung mereka selagi mereka duduk-duduk di bak mandi, dan Tuhan tahu perbuatan intim apa lagi yang diperintahkan mereka padanya, kecuali menyentuh Injil yang sama.
Laman
▼
20150427
20150418
On the Road Bagian I Bab 1 (Jack Kerouac, 1957)
Aku pertama kali bertemu Dean tidak lama setelah aku dan
istriku berpisah. Aku baru sembuh dari sakit keras dan tidak mau bersusah-susah
menceritakannya, selain bahwa itu ada hubungannya dengan perceraianku yang
menjemukan lagi tak keruan, serta perasaanku bahwa segalanya sudah berakhir.
Dengan hadirnya Dean Moriarty, dimulailah episode dalam hidupku yang dapat
disebut sebagai sebuah perjalanan. Sebelumnya aku sering berangan-angan pergi
ke Barat untuk melihat-lihat pedalaman, selalu samar-samar merencanakannya, dan
tidak pernah berangkat. Dean orang yang sempurna untuk perjalanan ini sebab ia
benar-benar lahir di jalanan, sewaktu orangtuanya melewati Salt Lake City pada
1926, di sebuah mobil tua, dalam perjalanan menuju Los Angeles. Cerita
tentangnya mula-mula sampai padaku lewat Chad King. Ia memperlihatkan beberapa
surat dari Dean yang ditulis dari sebuah sekolah untuk anak-anak nakal di New
Mexico. Aku sangat tertarik pada surat-surat itu. Dengan naif dan manisnya ia
meminta Chad mengajarinya tentang Nietzsche serta persoalan intelektual hebat lainnya
yang diketahui Chad. Sekali waktu aku dan Carlo membicarakan surat-surat itu
dan bertanya-tanya akankah kami bertemu dengan Dean Moriarty yang aneh.
Kejadiannya sudah lama sekali, sewaktu Dean belum seperti yang sekarang,
melainkan bocah tahanan yang diselubungi misteri. Lalu datanglah kabar bahwa
Dean keluar dari sekolah itu dan akan mengunjungi New York untuk pertama
kalinya; juga selentingan bahwa ia baru menikahi seorang perempuan bernama
Marylou.
20150409
Kedatangan Petugas Pajak (Mark Twain, 1875)
Yang pertama-tama menjadi perhatianku
sewaktu aku “beristirahat” baru-baru ini ialah seorang pria yang mengaku
sebagai juru taksir, istilah yang tidak begitu kumengerti. Kukatakan aku tidak
pernah mendengar usaha seperti itu sebelumnya, namun aku senang berjumpa
dengannya meskipun—akankah ia duduk? Ia pun duduk. Aku tidak tahu apa yang
hendak dibicarakan, sekalipun begitu aku merasa bahwa orang yang telah mencapai
kedudukan penting dalam urusan rumah tangga mestilah pandai bercakap, santai,
dan ramah dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, karena tidak terpikir hendak
membicarakan apa, aku bertanya padanya apa dirinya hendak membuka usaha di
sekitar sini.
Ia membenarkan. (Aku tidak ingin
terlihat tidak tahu apa-apa, namun tadinya
aku berharap ia akan mengatakan apa yang diusahakannya itu.)
Aku cukup berani menanyakan padanya,
“Bagaimana penjualannya?” Dan ucapnya, “Lumayan.”
Lalu aku mengatakan kalau kami akan
mengunjungi tempat usahanya itu, dan kalau kami tertarik begitu juga yang
lainnya, kami akan mampir lagi.