Laman

20150709

Penggalan: Idle Days in Patagonia (W. H. Hudson, 1893)



[Kesunyian Gurun Pasir]

. . . Jika ada suatu hal serupa ingatan bersejarah dalam diri kita, maka tidaklah aneh bahwa momen terindah dalam hidup—baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan—ialah ketika Alam menghampiri dan mengambil alat musiknya yang terabaikan, lalu memainkan sepenggal melodi purba yang lama tak terdengar di muka bumi.

Barangkali timbul pertanyaan: Jika sewaktu-waktu Alam memberikan pengaruh yang ganjil ini kepada kita, sekonyong-konyong memulihkan harmoni yang telah lama hilang di antara organisme dan lingkungan, mengapa pengalaman itu lebih terasakan di gurun Patagonia ketimbang di tempat-tempat terpencil lainnya—sebuah gurun tanpa air, tempat suara-suara hewan jarang terdengar, dan vegetasinya berwarna kelabu alih-alih hijau? Saya dapat mengajukan satu alasan sehubungan dengan keadaan saya sendiri yang begitu terpengaruh olehnya. Di hutan dan belukar subtropis, begitupula di rimba di wilayah beriklim sedang—apabila kita telah terbiasa mengamatinya—perhatian terpikat oleh vegetasi hijau yang elok, bebungaan dan serangga berwarna cerah, serta nyanyian dan hiruknya kehidupan burung. Ada pergerakan dan kecerahan. Wujud-wujud baru hewan dan tumbuhan terus-menerus bermunculan, membangkitkan rasa ingin tahu dan terkaan. Saking sibuknya pikiran oleh objek-objek baru sampai-sampai keseluruhan pengaruh alam liar tidak begitu terasa. Di Patagonia, monotonnya daratan, luasnya bebukitan rendah, kelabunya semesta yang tak ada habisnya, serta tiadanya wujud-wujud hewan dan objek yang baru bagi mata, membukakan pikiran dan membebaskannya untuk menyambut kesan penampakan alam secara menyeluruh. Pemandangannya menyerupai lautan, sebab terbentang sedemikian jauhnya tanpa peralihan, tanpa batas; namun tanpa kemilau air, corak akibat bayangan dan sinar mentari maupun jauh-dekatnya jarak, serta gerakan ombak dan putihnya buih. Pemandangan itu tampak purba, tandus, damai senantiasa, seakan sudah berupa gurun sejak dahulu kala dan akan tetap gurun selamanya. Kita tahu penghuni manusianya hanyalah segelintir pengembara liar, yang hidup dengan berburu sebagaimana yang dilakukan oleh leluhur mereka selama ribuan tahun. Selain itu, boleh jadi tidak ada tanda-tanda pendudukan manusia di savana dan pampa yang subur, namun seorang pengelana tahu bahwa pada akhirnya laju pertumbuhan umat manusia akan menyebabkan kedatangan mereka disertai gerombolan dan gembalaan, sehingga tidak akan ada lagi ketandusan dan kesunyiannya yang bahari. Pemikiran ini selayaknya hubungan antar manusia, mengurangi pengaruh dari nuansa alam liar. Di Patagonia, pikiran tidak dapat dipengaruhi oleh gagasan ataupun khayalan untuk mengadakan perubahan-perubahan melalui tangan manusia. Di sana tidak ada air, tanahnya yang kersang berupa pasir dan kerikil—bebatuan koral yang dibentuk oleh tenaga lautan purba, sebelum Eropa ada. Tidak ada yang tumbuh selain benda-benda tandus yang dikasihi alam—onak, semak-semak berkayu, serta berkas-berkas rumput liar yang berpencaran.

Pastinya kita tidak sepenuhnya terpengaruh oleh kesunyian alam liar dalam kadar yang sama. Di gurun Patagonia yang luas sekalipun barangkali banyak yang tidak mengalami transisi batin sebagaimana yang telah saya jelaskan. Insting mereka lebih dekat pada yang tampak, dan tergugah sekali oleh alam di tempat terpencil lainnya. Saya kira Thoureau salah satunya. Bagaimanapun juga, kendatipun ia tidak memiliki pengetahuan Darwin sebagaimana kita, dan pengalaman tersebut baginya selalu terasa “aneh”, “misterius”, dan “tak dapat diketahui musababnya”, ia tidak menyembunyikannya. Ada “sesuatu yang luar biasa pada Thoreau” yang tampaknya mustahil dipahami dan mengherankan seakan pada dasarnya tidak demikian adanya, memberi nuansa harum memikat yang khas pada tulisannya. Kehendaknya akan cara hidup yang lebih primitif; ketidakacuhannya yang ganjil sementara ia meraut kayu bagaikan anjing yang setengah kelaparan—dan tak seserpih pun yang dapat melukainya; keinginannya agar orang yang berkedudukan menjalani hidup dengan cara yang lebih alamiah: simpatinya kepada alam begitu hebat hingga membuatnya terpesona; perasaannya bahwa segala elemen bersesuaian dengan dirinya menjadikan pemandangan seliar apapun entah bagaimana terasa akrab, demikian ia timbul tenggelam dalam kebebasan yang ganjil di alam. Hanya sekali ia ragu dan merasa bahwa kedekatan antar manusia itu boleh jadi penting bagi kebahagiaan, dan dengan bijak ia segera kembali pada kesadaran akan indahnya himpunan alam yang pemurah, akan keramahan yang tulus sekalian tak berhingga sebagaimana atmosfir yang menyangganya. . . . 



Dari  Nature Writing: The Tradition in English, Ed. Robert Finch & John Elder, 2002, W. W. Norton & Company

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar