Laman

20151018

Cinta Itu Buta dan Tuli (Jonathan Safran Foer, 2015)

Adam dan Hawa hidup bahagia selama beberapa hari. Adam yang buta tak pernah melihat tanda lahir bebercak-bercak memanjang di pipi Hawa, atau giginya yang gingsul, atau kuku jarinya yang geripis. Hawa yang tuli tak pernah mendengar betapa payahnya narsisme Adam, betapa tak peka dan kekanak-kanakkannya dia dalam hal tertentu. Mereka baik-baik saja dengan keadaan itu.

Mereka makan apel dan kemudian terungkaplah segalanya. Hawa mengerti maksud penderitaan (yaitu tidak ada), dan Adam memahami kehendak bebas (menyangsikan istilah itu). Mereka tahu mengapa tanaman yang baru tumbuh berwarna hijau, dari mana angin sepoi-sepoi bermula, dan apa yang terjadi jika suatu kekuatan dahsyat bertemu benda tak bergerak. Adam melihat bintik; Hawa mendengar denyut. Adam melihat bentuk; Hawa mendengar bunyi. Tanpa menyadari proses lainnya yang menyebabkan itu, mereka sembuh total dari buta dan tuli. Sembuh pula dari kebahagiaan perkawinan mereka.

Masing-masing bertanya dalam hati, Apa yang terjadi padaku?

Mulanya mereka berselisih diam-diam, lalu mereka berputus asa sendiri-sendiri, lalu mereka menggunakan kata-kata baru secara rancu, lalu secara terang-terangan, lalu mereka mengandung Kain[1], lalu mereka saling melempar ciptaan yang pertama-tama, lalu mereka memperdebatkan kepemilikan hal-hal remeh yang tak pernah dimiliki siapa-siapa. Mereka meneriaki satu sama lain dari sisi yang berlawanan di taman tempat mereka diasingkan:

Kamu jelek!

Kamu bodoh dan jahat!

Memar pertama pun tertoreh di lutut pertama, seiring manusia pertama membisikkan doa pertama: Ciutkanlah aku hingga aku dapat memikulnya.

Namun Tuhan tak mengabulkan doa mereka, atau mengabaikannya, atau memang tidak ada.


Baik Adam maupun Hawa tidak perlu pembenaran. Mereka juga tidak memerlukan apa pun yang dapat dilihat atau didengar di dunia ini. Tidak lukisan, tidak buku, tidak film, tarian, ataupun kepingan musik, tidak juga alam hijau itu sendiri mampu menambal lubang-lubang kesendirian. Mereka perlu perdamaian.

Adam mencari Hawa pada suatu malam, selagi hewan-hewan yang baru diberi nama bermimpi untuk pertama kali. Hawa melihat Adam mendekat.

“Aku di sini,” ucap Hawa, sebab mata Adam ditutupi daun ara.

Adam sampai di hadapan Hawa, dan berkata, “Ini aku,” meski Hawa tak mendengar Adam, sebab telinganya disumpal gulungan daun ara.


Hal itu berhasil pada mulanya. Ketika makanan yang tersedia cuma apel, Adam membalut tangannya dengan tangkai daun ara, adapun Hawa menyumpal mulutnya dengan daun ara. Hal itu berlangsung baik pada mulanya. Adam pergi tidur sebelum lelah, seraya menarik selimut daun ara hingga ke lubang hidungnya, yang disumbat sobekan daun ara. Hawa memandang lewat selubung daun ara ke arah telepon daun ara, satu-satunya yang bercahaya di ruang dunia itu, dan mendengarkan dirinya mendengarkan Adam berusaha bernapas. Mereka selalu menemukan cara baru unuk mengabaikan jurang di antara mereka.

Tuhan yang menurut mereka tak melihat dan tak mendengar itu pun mendesah, “Mereka sangat perhatian.”

“Perhatian?” malaikat bertanya.

“Mereka selalu menemukan cara baru untuk mengabaikan jurang di antara mereka, padahal jurang itu ada karena jarak yang kecil saja: karena suatu ucapan atau tak bicara, karena menutup atau memberi jarak, karena sulit menyatakan kebenaran atau mengasihi. Itu saja. Mereka selalu berada di ambang.”

“Ambang surga?” malaikat bertanya, sambil mengamati manusia yang masih belum dapat menggapai satu sama lainnya.

“Ambang perdamaian,” Tuhan menjawab, seraya membalik halaman kitab tak bertepi. “Mereka tak akan sebegitu resah seandaiknya mereka tak sebegitu perhatian.”[]



Diterjemahkan dari cerpen Jonathan Safran Foer, “Love Is Blind and Deaf”, dalam The New Yorker edisi 8 Juni 2015




[1] Qabil (Islam)

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar