Laman

20151118

On The Road Bagian 1 Bab 2 (Jack Kerouac, 1957)

Pada Juli 1947, setelah menabung sekitar lima puluh dolar dari tunjangan veteran, aku siap untuk pergi ke Pesisir Barat. Temanku, Remi BoncÅ“ur, telah menulis surat padaku dari San Fransisco. Katanya aku boleh ikut berlayar bersamanya dengan kapal pesiar keliling-dunia. Dia berjanji dapat menyusupkan aku ke ruang mesin. Aku membalas suratnya dan berkata aku bakal puas dengan kapal pengangkut usang yang mana saja asalkan aku bisa jalan-jalan ke Pasifik beberapa lama dan pulang membawa cukup uang untuk menunjang hidupku di rumah bibi sementara aku menyelesaikan bukuku. Dia bilang dia punya pondok di Mill City dan aku bisa menulis sepuasnya di sana sementara kami membahas soal cara masuk ke kapal. Dia tinggal dengan seorang perempuan bernama Lee Ann. Menurutnya Lee Ann pintar masak jadi segalanya akan beres. Remi itu kawan lama dari SMA, orang Prancis yang besar di Paris dan edan betul—entahlah seedan apa dia sekarang. Jadi dia berharap aku sampai dalam sepuluh hari. Bibiku setuju soal lawatanku ke Barat. Menurutnya ini akan baik untukku. Aku telah bekerja keras selama musim dingin dan terlalu lama di dalam rumah. Ia bahkan tidak keberatan saat aku bilang aku mungkin harus menebeng. Yang dipintanya cuma supaya aku kembali dengan utuh. Maka, setelah melipat selimutku yang nyaman untuk terakhir kali, dan meninggalkan naskah pentingku yang separuh jadi di atas meja, pagi-pagi aku berangkat demi Samudra Pasifik dengan tas kanvas berisi beberapa barang pokok beserta lima puluh dolar di kantong.

Beberapa bulan ini aku sudah membaca peta-peta Amerika Serikat yang ada di Paterson, bahkan buku-buku tentang para perintis dan nama-nama Juru Selamat seperti Platte, Cimarron, dan sebagainya. Pada peta jalan ada satu garis merah panjang yang disebut Rute 6 yang berawal dari ujung Cape Cod sampai Ely, Nevada, lalu ke Los Angeles. Aku tinggal mengikuti rute itu ke Ely, pikirku, dan berangkat dengan pasti. Untuk menuju Rute 6, aku mesti naik Gunung Beruang. Sambil melamunkan apa yang akan kulakukan di Chicago, di Denver, dan akhirnya nanti di San Fran, aku naik kereta bawah tanah Seventh Avenue sampai ujung jalurnya di 242nd Street, lalu naik trem ke Yonkers; di pusat kota Yonkers aku beralih ke trem jurusan luar kota sampai batas kota di bantaran timur Sungai Hudson. Kalau kau menjatuhkan mawar ke Sungai Hudson di hulunya yang entah di sebelah mana Adirondacks, bayangkanlah semua tempat yang akan dilaluinya sebelum ia lenyap di lautan selamanya—bayangkanlah Lembah Hudson yang indah itu. Aku pun mulai menebeng orang. Lima kendaraan bergantian mengantarku ke Lemari Es Gunung Beruang yang diidamkan, di situ Rute 6 membelok dari New England. Mulai hujan deras saat aku turun di situ. Lokasinya bergunung-gunung. Rute 6 mengelilingi sungai, membentuk bundaran jalan, dan lenyap di hutan belantara. Di situ bukan saja tidak ada jalan raya, tapi juga tempat berteduh padahal hujan turun berember-ember. Aku mesti berlarian di bawah pohon-pohon tusam untuk berlindung, tapi percuma saja. Aku mulai menyerukan serapah dan memukuli kepalaku karena sebegitu gobloknya. Aku sekitar enam puluh kilometer dari New York arah utara. Aku cemas betul karena pada hari pertamaku yang penting ini aku malah bergerak ke utara bukannya ke barat idaman. Sekarang aku terjebak di ujung tanduk. Aku lari sekitar setengah kilometer ke sebuah pompa bensin mungil gaya Inggris yang telantar dan berdiri di bawah atap yang mencurahkan tempias. Di atas kepalaku menjulang Gunung Beruang yang besar mencekam, melontarkan halilintar yang membangkitkan ketakutanku akan Tuhan. Yang bisa kulihat cuma pohon-pohon berkabut dan hutan belantara suram melangit. “Ngapain aku di sini?”

Aku memaki-maki, menyerukan Chicago. “Sekarang mereka lagi senang-senang, mereka begini, aku enggak di situ, kapan aku sampainya!” – dan begitulah. Akhirnya ada mobil yang berhenti di pompa bensin yang kosong itu. Seorang laki-laki dan dua orang perempuan di situ mau mendalami peta. Aku mendekat dan memberi gerak isyarat sambil berhujan-hujan. Mereka berunding. Aku pasti terlihat seperti orang gila. Rambutku basah, sepatuku becek. Sepatuku, bego benar aku, model huarache Meksiko, mirip saringan dan tidak pas untuk cuaca berhujan dan jalanan buruk di Amerika malam begini. Tapi orang-orang itu membolehkanku masuk kendaraan mereka dan mengantarku menuju utara ke Newburgh. Aku sepakat itu alternatif yang mending ketimbang terjebak di hutan belantara Gunung Beruang semalaman. “Lagian,” kata si laki-laki, “enggak ada kendaraan lewat Rute 6. Kalau kamu mau ke Chicago, kamu mending lewat Terowongan Belanda di New York terus ke arah Pittsburgh” dan menurutku dia benar. Bayanganku saja yang kacau. Bakalan enak mengikuti satu jalur merah besar melintasi Amerika ketimbang mencoba jalan dan rute lainnya itu gagasan yang tolol dan riskan.

Di Newburgh hujan berhenti. Aku jalan ke arah sungai, dan aku mesti berkendara balik ke New York yang isinya perwakilan para guru sekolah yang baru pulang dari berakhir pekan di gunung—obrol-obrol kosong, dan aku bersumpah demi seluruh waktu dan uang yang telah kubuang, aku bilang pada diriku sendiri, aku ingin ke barat dan seharian sampai semalaman ini aku sudah naik turun, ngalor ngidul, seakan tidak maju-maju. Aku bersumpah akan berada di Chicago besok, dan memastikan bahwa, selagi naik bis ke Chicago, yang menghabiskan banyak uangku, peduli amatlah, asalkan aku sampai di Chicago besok.



dipajang juga di sini

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar