Aku akan meninggalkan segalanya yang ada
di sini: lembah, bukit, jalan setapak, dan burung-burung jay di taman, aku akan
meninggalkan keran-keran dan para begawan, surga dan bumi, musim gugur dan
musim semi, aku akan meninggalkan jalan keluar darurat, malam-malam di dapur,
tatapan kasih yang penghabisan, dan semua arah menuju batas kota yang
merindingkan, aku akan meninggalkan senjakala berkabut luruh ke daratan,
gravitasi, harapan, pesona, dan kedamaian, aku akan meninggalkan mereka yang
tersayang dan yang kuakrabi, segalanya yang menyentuhku, segalanya yang
mengejutkanku, mengagumkanku dan meriangkanku, aku akan meninggalkan yang
mulia, yang bajik, yang sedap, begitu pula yang keji, aku akan meninggalkan
tunas yang menumbuh tinggi, setiap kelahiran dan keberadaan, aku akan
meninggalkan jampi, misteri, jarak, keberlimpahan, dan keabadian yang
memabukkan; karena dari sini aku akan meninggalkan bumi ini dan gemintang ini,
karena aku tidak akan membawa apa pun bersamaku dari sini, sebab aku memandang
yang akan menjelang, dan aku tak memerlukan apa pun dari sini.[]
Laman
▼
20160127
20160118
The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 6 (Haruki Murakami, 1994)
6
Tentang Lahirnya Kumiko Okada dan Noboru Wataya
*
Sebagai anak tunggal, aku sulit
membayangkan perasaan kakak-beradik yang sudah dewasa dan mandiri saat mereka
bertemu. Kalau Kumiko, kapan pun ada pembicaraan tentang Noboru Wataya,
tampangnya jadi aneh, seakan tahu-tahu mulutnya merasakan sesuatu yang ganjil,
tapi aku tidak tahu persisnya arti
tampangnya itu. Aku sendiri tidak ada sedikit pun perasaan positif pada
abangnya. Kumiko tahu dan menurutnya itu wajar saja. Dia sendiri sama sekali
tidak suka pada orang itu. Sulit membayangkan keduanya pernah mengobrol
seandainya tidak ada hubungan darah di antara mereka. Tapi kenyataannya, mereka
memang kakak-beradik, sehingga
rasanya agak semakin rumit. Setelah aku bertengkar dengan ayahnya dan
memutuskan hubungan dengan keluarganya, Kumiko hampir-hampir tidak pernah lagi
berjumpa Noboru Wataya. Pertengkaran dengan ayahnya memang sengit. Seumur-umur
aku jarang bertengkar—aku bukan orang yang seperti itu—tapi sekalinya itu
terjadi, aku maju habis-habisan. Maka perpecahanku dengan ayahnya pun berakhir.
Kemudian, setelah aku menyingkirkan apa pun yang perlu disingkirkan dari
dadaku, kemarahan itu pun anehnya menghilang. Yang kurasakan hanya kelegaan.
Aku tidak harus bertemu dengan ayahnya lagi. Rasanya seakan beban berat yang
kupanggul selama ini telah diangkat dari bahuku. Tidak ada amarah ataupun benci
yang tersisa. Aku bahkan merasakan sedikit simpati atas kesukaran hidup yang
dialami ayahnya, betapapun tolol dan menjijikkannya wujud kehidupan itu di
mataku. Kukatakan pada Kumiko aku tidak akan pernah menemui orang tuanya lagi,
tapi dia bebas mengujungi mereka tanpa diriku kapan pun dia ingin. Kumiko tidak
berusaha menemui mereka. “Tidak apa-apa,” katanya. “Lagi pula aku tidak
sebegitu inginnya bertemu mereka.”
20160109
My Name is Gecko (Agus Kurniawan, 2001)
My
name is Gecko. The shape of my body is like small house lizard, but a little bigger. I live in The Rahmats’ rooftop. The family is poor but they
live happily in peace.
Mr.
Rahmat has two children, Budi dan Uci. They are very happy making fun with my
sound. This way: each time I make the sound, “Gecko…” Budi raises his index
finger saying, “Me.” Then on the other sound, “Gecko…” it is Uci who raises her
index finger saying, “Me.” And so on until I get silent. Well, whoever raises the index finger at my last sound is the one whom lose and must be beaten by
the other. It is just a soft blow and hurtless, of course, for they love each
other.
There is another amusement: Budi often makes my voice to predict what he will do. When he hesitates to accept an invitation
from his friend, then he counts my voice.
“Gecko…”
I say, and Budi says, “go.”
“Gecko…”
I say again, answered by Budi, “not go.” And so on until I get quiet. When I
stop on the word “Go,” then he receives the invitation. And if I say the
opposite, then he refuses.