Laman

20161027

An Evening of Long Goodbyes, Bab 2 (3/4) (Paul Murray, 2003)

“Apa yang kita ­ketahui tentang Mbok P?” tanyaku keesokan sorenya, seraya menurunkan bukuku.

Di seberang meja, Bel sedang melentikkan bulu mata menggunakan semacam alat dari logam. “Hmm?” sahutnya.

“Maksudku, dia sudah bersama kita sejak—berapa, dua tahun? Tiga? Tapi kita enggak benar-benar tahu motivasinya.”

“Jangan mengocehkan salah satu khayalan paranoidmu,” ujarnya, sambil memasang selembar bulu mata bagian atas di antara jepitan baja.

“Enggak kok,” tukasku tak sabar. “Cuma rasanya aneh saja ada orang yang boleh tinggal di rumah dalam waktu lama dan tetap menjadi orang yang benar-benar asing, sekalipun dia orang asing yang berharga dan gajinya besar. Apa kita—sudahkah kita memberinya cukup perhatian? Haruskah kita, mengerti kan, mengobrol dengannya, dan sebagainya?”


20161018

An Evening of Long Goodbyes, Bab 2 (2/4) (Paul Murray, 2003)

Walau semalam terjadi kehebohan, esoknya aku bangun pagi-pagi. Dokter hewan datang menjenguk merak-merak, yang terkena semacam parasit, dan aku pun harus mengizinkan dia ke garasi. Aku bertanggung jawab atas merak. Ayah yang merawat mereka saat ia masih hidup—cuma ia yang benar-benar menyukai mereka dan karena itulah mereka jadi agak telantar. Aku telah membuat pintu merak di pintu garasi tempat mereka tinggal, jadi mereka bisa keluar masuk sesuka hati, dan selain ketika ada kunjungan memalukan dari dokter hewan seringnya kami tidak saling berhubungan dengan satu sama lain. Aku merasa agak bersalah jadinya, tapi benar-benar deh ini salah mereka sendiri. Mereka itu makhluk paling tak tahu menghargai, tolol, dan jorok, sedikit sekali rasa setia dan terima kasihnya, dan mereka langsung terkena parasit jika tidak diperhatikan terus.

Si dokter hewan memeriksa setiap burung dan memberi mereka cairan dengan semacam serbuk. Lalu seperti biasanya ia mulai mengomel soal kondisi hidup merak-merak itu dan mendesakku supaya lebih sering mengganti serbuk gergaji di tempat tidur mereka untuk mencegah infeksi lanjut dan seterusnya. “Dan beri makan mereka, Pak Hythloday, mereka itu hewan, mereka butuh makan setiap hari, bukan hanya ketika Anda ingat—“


20161009

An Evening of Long Goodbyes, Bab 2 (1/4) (Paul Murray, 2003)

Barangkali Bel ada benarnya, soal aku menganggur, maksudku. Sepintas mungkin kelihatannya aku ini menjalani hidup yang malas-malasan, bila dibandingkan dengan ramainya industri yang dipacu kota hingga mencabik-cabik dirinya sendiri. Memang, setelah terjerat dalam Pendidikan Tinggi yang singkat namun menyesalkan, aku agak membatasi kegiatanku di rumah dan daerah sekelilingnya saja. Nyatanya aku bahagia. Karena aku tidak punya kecakapan apa-apa yang layak disebut, ataupun bakat untuk disalurkan, aku tidak mengerti mengapa aku mesti membebani dunia dengan kehadiranku. Tapi, bukan berarti aku tidak berbuat apa-apa. Aku menyibukkan diri dengan beberapa proyek pribadi, seperti mengarang musik, dan mengawasi pembangunan Folly. Aku ini sedang menghidupkan kembali cara hidup yang khas, yang hampir saja punah: hidup tafakur ala pria sejati di pedalaman, sesuai dengan status dan sejarahnya. Pada masa Renaisans, orang menyebutnya sprezzatura. Pokoknya melakukan apa pun yang dilakukan dengan anggun, mengilhami setiap tindakan dengan keindahan, sekaligus menampakkannya seolah-olah tanpa usaha. Maka, jika orang mau bekerja di, katakanlah, bidang hukum, ia mesti menampilkannya secara berseni. Jika orang mau bermalas-malas, maka ia mesti bermalas-malas secara permai. Inilah yang dikatakan sebagai makna sejati menjadi ningrat. Aku sudah menjelaskannya berkali-kali pada Bel, tapi tampaknya ia tidak mengerti juga.