Laman

20170427

An Evening of Long Goodbyes, Bab 7 (1/2) (Paul Murray, 2003)

“Kamu benar-benar sangat baik sekali.”

“Enggak usah sungkan-sungkan, Charlie.”

“Maksudku, ini cuma untuk sekitar seminggu, sampai aku berhasil menyelesaikan problemku ….”

“Sudah sampai, Charlie.”

“Aha, iya.” Kami berhenti di sebelah luar pintu kayu putih polos. Gugup aku bersenandung sendiri sementara Frank merogoh-rogoh mencari kunci.

“Silakan,” ucap Frank. “Yang tua duluan.”

“Ha ha, terima kasih,” seraya berjalan perlahan-lahan memasuki kegelapan. “Oh. Yah. Bukankah ini …?”

“Ini rada berantakan. Aku belum sempat beres-beres.”

“Enggak kok, enggak, ini sangat—oh ya ampun, rupanya aku menginjak, ah, makan malam seseorang ….”

“Enggak usah khawatir, Charlie, aku enggak bakal makan itu lagi kok.”


20170420

Bangau (Dorthe Nors, 2008)


Aku tidak suka memberi makan burung, tapi kalau bagimu itu wajib, sebaiknya kau melakukannya di Taman Frederiksberg. Di sana ada bangau-bangau yang jinak, dan dengan menata bangku-bangku taman pada jarak tertentu antar satu sama lain, pengelola taman berharap dapat menghindarkan datangnya terlalu banyak burung sekaligus ke satu area. Ada beberapa masalah di ujung taman yang merupakan tempat berkumpulnya para alkoholik, terlebih lagi dengan adanya bebek-bebek, tapi aku tidak pernah ke sebelah sana, sementara bangaunya bisa kau lihat di mana-mana. Tentang bangaunya sendiri, bisa dibilang hanya dari kejauhan saja binatang itu terlihat menarik, tapi ternyata tidak seperti itu jadinya begitu didekati. Bangaunya terlalu kurus, dan terlebih lagi yang jinak-jinak tampaknya kekurangan gizi. Kemungkinan besar roti yang diberikan pada bangau-bangau di Taman Frederiksberg itu membuat sakit perut sehingga akibatnya mereka tidak kuat terbang. Pada musim dingin yang lalu aku melihat ada salah seekor yang sedang membungkuk di balik sebuah bangku. Lehernya panjang dan kurus. Kakinya putih dan hampir tidak bereaksi sedikitpun sewaktu aku lewat. Cara angin mengibarkan bulu-bulu di lehernya membuatku ingin kembali dan duduk di sampingnya. Begitulah cara penderitaan ditarik-ulur berlarut-larut, cara yang membuat bangau-bangau itu tidak pernah benar-benar mengerahkan gairah. Tapi aku tidak akan menyentuh burung, hidup ataupun mati. Sebaiknya kita tidak bermain-main dengannya, dan kalau kau mau bermain-main dengannya, kau sebaiknya berhati-hati supaya tidak menyentuh orang dengan tanganmu yang telah terinfeksi. Kalau ada burung yang mati kau harus memastikan supaya tidak bersentuhan baik dengan binatang itu ataupun dengan kotorannya. Gunakan sarung tangan sekali pakai, dan burungnya harus diambil dengan kantong plastik, seperti memungut kotoran anjing. Kantong itu harus disegel dan dibuang bersama sampah rumah tangga kalau tidak dikubur. Seberapa sulitnyakah itu, dengan segala pengetahuan yang telah kita peroleh?


20170413

An Evening of Long Goodbyes, Bab 6 (4/4) (Paul Murray, 2003)

Inilah dia. Inilah rasa terima kasih yang kuterima karena berusaha menyelamatkan serpihan martabat keluarga. Nasibku telah diputuskan sementara aku terbaring koma di ranjang rumah sakit. Kerja! Dinding-dinding ruang resital menyerbuku. Kerja!

Tentu saja aku menentang. Aku menyoroti betapa ironisnya menyuruhku, darah dagingnya sendiri, pergi bekerja di pabrik stoples sementara ia mengundang gerombolan aktor pengangguran agar tinggal di sini tanpa berbuat apa-apa. Aku menuding Bel yang tidak disuruh mencari kerja, padahal dialah yang selalu cerewet soal betapa bencinya ia pada tempat ini dan betapa inginnya ia bergesekkan bahu dengan rakyat jelata. Kupungkas dengan pidato menghasut yang intinya Bunda sedang menyuruhku menggantang asap, sebab sekalipun ia telah mengakui bahwa aku sama sekali tidak punya mimpi maupun ambisi, maka menempatkanku di dunia kerja hanya akan membuang waktu berharga milik orang lain. Bunda mendengarkan dengan raut dingin, seakan-akan perkataanku justru seperti yang telah diperkirakannya.


20170406

An Evening of Long Goodbyes, Bab 6 (3/4) (Paul Murray, 2003)

Seseorang mendorong pintu ruangan dansa hingga terbuka. “Nah, ketemu juga. Kamu enggak menungguku.”

“Oh—kukira kamu enggak benar-benar memintaku menunggumu ….”

“Udaranya dingin sekali, ya.” Mirela menggosok-gosokkan kedua tangan pada lengannya yang telanjang. “Kamu sedang apa di sini? Kamu melewatkan pestanya.”

“Ah, tahulah … cuma merasa butuh udara segar.”

“Kamu dicari ibumu.”

“Aku tahu,” sahutku muram.

Ia duduk di sisi seberang lorong. “Kamu baik-baik saja? Kepalamu sakit?”

“Enggak, enggak ….” Kusilangkan kedua kakiku ke arahnya, sepertinya tampak kecewek-cewekkan, lantas kembali kusilangkan. “Kurasa cuma karena ini pertama kalinya aku menyaksikan semua telah dibereskan. Aku jadi masygul.”