Ada seorang pengemis yang sangat jujur.
Suatu hari ia mengetuk pintu sebuah rumah besar yang
mewah. Seorang pelayan keluar dan berkata, “Ya, tuan. Apa yang kau inginkan,
bujang?”
Si pengemis menjawab, “Demi kasih Tuhan, sedekah barang
sedikit saja.”
“Saya harus
bilang dulu pada nyonya rumah ini.”
Si pelayan pun menanyakan pada nyonya rumah. Nyonya
rumah yang sangat kikir menjawab, “Jeremiah, berilah si bujang itu roti. Satu
saja. Kalau bisa, roti yang kemarin.”
Jeremiah, yang diam-diam jatuh cinta pada majikannya,
karena ingin menyenangkan hati nyonyanya itu pun mencari roti yang sudah basi
dan sekeras batu, kemudian menyerahkannya pada si pengemis.
“Nih, bujang,” ucapnya, tidak lagi memanggil tuan pada
pengemis itu.
Jeremiah menutup pintu kayu raksasa rumah itu, dan si
pengemis pun pergi membawa serta rotinya. Ia tiba di sebidang tanah kosong
tempat ia menghabiskan hari-harinya. Duduklah ia di bawah pohon, dan mulai
memakan roti itu. Tiba-tiba ia mengigit suatu benda keras dan merasakan
gerahamnya pecah berkeping-keping. Terkejut benar ia saat mengeluarkan,
bersama pecahan gerahamnya, sebuah cincin emas yang indah, bertatahkan
mutiara dan intan.
“Betapa mujurnya,” ia membatin. “Aku akan menjual ini
dan memiliki uang untuk waktu yang lama.”
Namun kejujurannya segera menang: “Tidak,” sambungnya.
“Aku akan mencari pemilik cincin ini dan mengembalikannya.”
Di sebelah dalam cincin itu terpahat inisial J.X. Karena
bukan pemalas dan tidak pula bodoh, si pengemis mendatangi sebuah toko dan
meminjam buku telepon. Ia mendapati bahwa di seluruh kota itu hanya ada satu
keluarga yang namanya dari huruf X: keluarga Xofaina.
Sembari diliputi kegembiraan karena dapat mengamalkan
kejujurannya, si pengemis pun berangkat ke rumah keluarga Xofaina. Takjublah
ia ketika melihat bahwa di rumah itu jugalah ia diberikan roti yang
mengandung cincin itu. Ia pun mengetuk pintu rumah.
Jeremiah muncul dan menanyai pengemis itu, “Apa yang kau
inginkan, bujang?”
Si pengemis menjawab, “Saya menemukan cincin ini di
dalam roti yang dengan murah hati Anda berikan pada saya beberapa waktu
lalu.”
Jeremiah mengambil cincin itu dan berkata, “Saya akan
menyampaikan ini pada nyonya rumah.”
Jeremiah menanyakan pada nyonya rumah. Nyonya rumah yang
gembira berseru, hampir-hampir seperti bernyanyi kedengarannya, “Beruntunglah
diriku! Inilah cincin yang kuhilangkan minggu lalu, sewaktu aku menguleni
adonan roti! J. X. ini inisial dari namaku: Josermina Xofaina.”
Setelah menimbang-nimbang sejenak, nyonya rumah
menyambung, “Jeremiah, pergilah dan berikan si bujang itu apa pun yang
dihendakinya sebagai hadiah. Asal jangan yang mahal-mahal.”
Jeremiah kembali ke pintu dan berkata pada si pengemis,
“Bujang, sampaikan yang kau inginkan sebagai ganjaran atas perbuatan baikmu.”
Si pengemis
menjawab, “Roti saja untuk menghilangkan lapar.”
Jeremiah, yang masih mencintai majikannya, karena ingin
menyenangkan nyonyanya itu pun mencari roti yang sudah lama lagi sekeras
batu, lalu menyerahkannya pada si pengemis.
“Ini,
bujang.”
“Tuhan
memberkatimu.”
Jeremiah menutup pintu kayu raksasa itu, dan si pengemis
pun pergi membawa serta rotinya. Ia tiba di sebidang tanah kosong tempatnya
menghabiskan hari demi hari. Duduklah ia di bawah pohon dan mulai memakan
rotinya. Tiba-tiba ia mengigit sebuah benda keras dan pecah lagi satu
gerahamnya berkeping-keping. Terkejutlah ia saat mengambil, bersama dengan
pecahan gerahamnya yang lain itu, sebuah cincin emas yang indah, bertatahkan
mutiara dan intan.
Lagi-lagi ia melihat ada inisial J. X. Lagi-lagi ia
mengembalikan cincin itu pada Josermina Xofaina dan sebagai ganjarannya
menerima roti, yang di dalamnya ia menemukan cincin yang lagi-lagi ia
kembalikan dan, sebagai ganjarannya, roti lagi, yang di dalamnya ….
Sejak hari yang mujur itu hingga hari celaka ketika ia
meninggal, si pengemis hidup bahagia tanpa masalah keuangan. Ia tinggal
mengembalikan cincin yang ditemukannya di dalam roti setiap hari.[]
Kisah ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Clark M. Zlotchew.
|
Laman
▼
Tidak ada komentar:
Posting Komentar