Laman

20171006

Tana (Giulio Mozzi, 1993)

Hujan turun sejak pagi. Tana dalam perjalanan pulang sekolah. Tiap Kamis sore ada pelajaran menjahit, dan sekarang ketika di bis, Tana menyadari bahwa inilah kali pertama ia pulang sekolah saat langit gelap. Bisa terus seperti ini hingga berbulan-bulan. Di luar dingin dan hujan, sementara bis yang dinaiki Tana, yang disesaki anak-anak lelaki dan perempuan, para murid sekolahan, panas beruap. Jendela-jendela bis berkabut. Ada yang berhasil membuka paksa salah satu jendela itu, sehingga Tana, yang sudah berkeringat, jadi membeku. Pikirnya: bisa-bisa aku sakit, tidak sekolah seminggu. Ia tidak berusaha untuk menyingkir dari aliran angin itu. Ia tidak memprotes. Hujan menampar wajahnya, matanya. Sudah beberapa lama ini hujan tidak turun sehingga kota dan udara penuh debu. Tana merasakan hujan menghunjami wajahnya, matanya.

Bis itu ramainya bukan main, namun saking banyaknya suara menjejali kepala Tana hingga semua penumpang seolah-olah membuka mulut tanpa mengeluarkan suara. Mereka tertawa tanpa suara. Tana ingat pernah membaca di ensiklopedia tentang suku Indian di Amerika Selatan yang hidupnya dikelilingi oleh musuh yang ganas. Alhasil, orang-orang suku itu hampir tidak pernah berbicara dan paling-paling hanya berbisik. Mulut anak-anak dibebat sampai mereka mempelajari aturannya. Mereka memutus pita suara anjing-anjing pemburu mereka dengan pisau khusus yang panjang dan tajam. Dengan begitu musuh tidak akan mendengar suara mereka. Semua orang di desa itu bergerak dengan teramat berhati-hati, dengan langkah sunyi. Mereka tidak menyalakan api. Jangan-jangan, pikir Tana, desanya pun bukan desa sungguhan. Tiap orang memiliki sebuah selubung, dan selubung yang menutupi kepalanya itulah yang menjadi rumah. Dengan terkurung dalam rumahnya itu, dari kejauhan orang tersebut mestilah tampak persis menyerupai belukar yang gundul, atau akar sebatang pohon tumbang yang membusuk, atau kerangka hewan yang terabaikan. Benda yang tidak akan menarik siapa pun. Mereka memakan hewan yang mereka bunuh mentah-mentah supaya tidak tercium aroma masakan, dan mereka memakannya hingga potongan terakhir, hingga carikan kulit dan tulang terakhir, hingga bulu terakhir, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Mungkin juga suku tersebut tidak pernah berkumpul bersama-sama. Tiap orang mengembara sendiri-sendiri dalam rimbunnya hutan basah, suami istri bertemu sesekali saja, selalu di tempat yang berbeda-beda, selalu pada waktu yang ditetapkan menurut aturan yang berbeda-beda. Walaupun seringnya, supaya aman, mereka tidak mengadakan pertemuan sama sekali. Atau yang lebih mungkin, lelaki suku itu mengembara di hutan, dengan berserah pada nasib atau para dewa jika ia bertemu seorang perempuan, dan jika itu terjadi, maka perempuan itu akan menjadi istrinya, dan jika ia bertemu seorang lelaki, maka lelaki itu akan menjadi kawan atau lawan.