Laman

20180706

Diam-diam Dijajah (Pere Calders, 2013)


Di Hostel Punta Marina, Tossa de Mar, aku bertemu orang Jepang menyebalkan yang sama sekali tidak menyerupai orang Jepang dalam bayanganku. 
Malam itu ia mengambil tempat duduk di mejaku setelah minta permisi tanpa banyak basa-basi. Aku baru sadar bahwa matanya tidak sipit, kulitnya pun tidak kekuningan. Malah sebaliknya, pipinya merah jambu sedang rambutnya agak pirang.
Aku penasaran hidangan apa yang ia pesan. Kekanak-kanakan memang, mengharapkan makanan yang tidak biasa dimakan sehari-hari dewasa ini, atau yang merupakan kombinasi eksotis. Aku terkejut bahwa pesanannya berupa makanan khas Catalunya: selada—“bawang merahnya yang banyak, ya,” ucapnya dalam bahasa Katala—lalu cap i pota (rebusan bokong dan kaki anak sapi), disusul oleh molls a la brasa i ametlles torrades (ikan belanak panggang dan badam bakar). Ia menutup hidangan itu dengan kopi, konyak, dan sebatang cerutu.
Dalam bayanganku orang Jepang makan dengan sangat hati-hati, bahkan hingga taraf yang menjengkelkan, sambil menjepit makanan sepotong demi sepotong bagai gerakan jarum jam. Namun yang ini lain daripada bayanganku: orang ini menggunakan pisau dan garpu dengan amat lihainya, dan ia mengunyah setiap suapan tanpa mengabaikan estetika. Prasangkaku pun goyah.
Ia berbicara dalam bahasa Katala dengan lancar, tanpa sedikit pun logat asing. Tidak mengherankan, orang Jepang kan memang sangat rajin dan pandai sekali. Meski begitu aku jadi merasa rendah diri, sebab aku tidak tahu bahasa Jepang barang sepatah kata pun. Mesti kuakui, akulah yang, anehnya, mula-mula bersikap asing saat bercakap dengannya, menyesuaikan setiap tingkah lakuku—gerak-gerik, kata-kata, kalimat pembuka—dengan kenyataan gamblang bahwa teman semejaku ini orang Jepang. Ia toh segar-segar saja laksana bunga mawar.
Kuduga dia itu mestilah wiraniaga atau penjual kamera digital atau cip komputer—yang kebetulan paham juga soal pernak-pernik kebudayaan. Aku mencoba segala topik yang terkait, dan ia menyikat semuanya dengan ayunan lengannya yang lebar.
“Saya berjualan gambar orang-orang suci dari Olot,” ujarnya.
“Masih ada orang yang membeli barang begitu?” tanyaku. Ia bilang, ya, ada, sebetulnya pembelinya sudah tidak ada lagi, namun ia terus mengusahakannya. Usahanya meliputi bagian selatan semenanjung, dan saat hari libur barang sehari dua hari, orang pastinya pulang ke rumah.
“Tak ada tempat yang senyaman rumah!” pungkasnya dengan hati puas.
“Anda tinggal di negara asal Anda?”
“Di mana lagi saya mesti tinggal?”
Ya, jelas saja, mereka kan penjelajah dunia, dan sudah terkenal ke mana-mana. Aku kembali mengamatinya, dan bersumpah tak ada satu pun detail pada dirinya, baik pakaiannya maupun gayanya, menunjukkan bahwa ia berasal dari Jepang. Ia bahkan mengenakan pin perisai Klub Barcelona di kelepak bajunya.
Singkatnya, orang ini sangat mencurigakan, dan aku semakin khawatir. Di rumah, istriku makan malam di kamar sebab ia merasa kurang enak badan. Aku menceritakan pertemuan yang tak disangka-sangka tadi itu padanya, membumbuinya dengan rasa takutku: pokoknya, orang itu mata-mata.
“Kamu tahu dari mana dia orang Jepang?” tanya istriku.
Aku tertawa, walau bukan berarti aku senang. Aku cuma kasihan pada kepolosannya.
“Dari jauh pun aku bisa tahu,” sahutku.
“Maksudmu, kamu sudah sering bertemu orang Jepang?”
“Tidak sih, tapi aku bisa segera mengenali mereka!”
“Dia bilang dia orang Jepang?”
“Tidak lah. Mereka itu cerdik.”
“Apa kamu tahu dari orang lain?”
“Bukan dari siapa-siapa. Aku tak perlu dikasih tahu. Naluriku ini tajam betul!”
Kami pun cekcok. Dia itu selalu membuatku jengkel, mengatakan kalau aku ini keji dan suatu saat aku akan mempermalukan diriku sendiri. Seakan-akan aku ini tidak punya akal sehat! Tampaknya dia itu memang senang mengabaikan logika, dan naifnya keterlaluan.
Malam itu aku cuma tidur sebentar dan tidak nyenyak. Aku tidak bisa mengenyahkan orang Jepang itu dari kepalaku. Selama mereka menampakkan diri sebagaimana lazimnya, dengan senyuman tipis itu, sikap tubuh yang suka membungkuk-bungkuk itu, lirikan itu, kita masih mampu melindungi diri kita sendiri. Atau begitulah yang kuharapkan! Tetapi jika mereka sudah menyamarkan diri, menampilkan kepalsuan, kita akan benar-benar kerepotan.[]



Pere Calders (1912-1994), lahir di Barcelona, dan menempuh pendidikan seni grafis serta desain panggung. Pada 1930-an karya-karyanya berupa artikel dan kartun diterbitkan media Catalunya, dan ia pun mulai menulis fiksi serta menerbitkan novel dan kumpulan cerpen. Ia anggota Partai Sosialis Catalunya dan bergabung dengan tentara republik saat terjadi perang sipil. Pada 1939, saat kediktatoran Francisco Franco dimulai, ia mengasingkan diri ke Meksiko dan bermukim di sana hingga 1962. Meski ia produktif menulis karya fiksi, bahkan memperoleh penghargaan, baru pada akhir 1970-an ia mulai diakui sebagai penulis besar abad kedua puluh. Ia telah menerbitkan lima novel dan jumlah cerita pendeknya hampir mencapai ribuan halaman. Ia menulis dalam bahasa Katala dan baru sedikit karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Cerpennya ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Lawrence Venuti dalam Asymptote Journal edisi April 2013, "Subtle Invasion".

Artikel Terkait



2 komentar:

  1. Kemarin baca yang ini, mau komen tapi gak.bisa, skrang udah bisa. Ini ceritanya kocak. Semacam menyatirkan sesuatu, tapi saya gak bisa tangkap sepenuhnya.

    BalasHapus
  2. Ini memang satire, naen. Selebihnya mungkin naen mau baca di sini: https://www.asymptotejournal.com/criticism/pere-calderss-subtle-invasion/

    Maaf kalau terjemahannya masih kurang sehingga ada yang enggak ketangkep ^^;

    Terima kasih, ya, naen, sudah membaca dan berkomentar :D

    BalasHapus