Laman

20180906

Ada Lebih Banyak Pohon di Bumi Sekarang daripada 35 Tahun Lalu (Rhett A. Butler, 2018)

  • Tutupan pohon  meningkat di seluruh dunia  selama 35 tahun terakhir menurut makalah yang diterbitkan jurnal Nature.
  • Studi yang dilakukan Xiao-Peng Song dan Matthew Hansen dari University of Maryland ini berdasarkan analisis data satelit dari 1982 hingga 2016.
  • Penelitian tersebut mendapati bahwa kehilangan tutupan pohon di wilayah tropis dilampaui oleh perolehan tutupan pohon di wilayah subtropis, sedang, boreal, dan polar.
  • Namun demikian, semua data tutupan pohon diiringi peringatan penting: tutupan pohon tidak berarti tutupan hutan.

Terlepas dari keberlangsungan penebangan hutan, kebakaran lahan, kekeringan berakibat kematian massal, serta penjangkitan serangga, tutupan pohon dunia sebenarnya meningkat sebesar 2,24 juta kilometer persegi—seluas gabungan Texas dan Alaska—selama 35 tahun terakhir, menurut makalah terbitan jurnal Nature. Namun penelitian itu juga menyatakan kehilangan ekosistem dengan keanekaragaman hayati terkaya di planet ini dalam skala besar, terutama yang berupa hutan tropis.

Studi yang dilakukan oleh Xiao-Peng Song dan Matthew Hansen dari University of Maryland ini berdasarkan analisis data satelit dari 1982 hingga 2016. Mereka membagi tutupan lahan menjadi tiga kategori: vegetasi tinggi yang terdiri dari pepohonan dengan ketinggian paling rendah lima meter (16 kaki); vegetasi rendah dengan ketinggian di bawah lima meter termasuk semak, rumput, dan tanaman pertanian; serta “tanah gundul” yang meliputi kawasan perkotaan, pasir, tundra, dan karang. Walaupun pembagian itu mungkin terkesan menyederhanakan, dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan kuat yang mencakup taksiran perluasan pertanian, perluasan pergerakan iklim dan penyusutan ekosistem, serta pembukaan dan pemulihan hutan.

”Hasil studi ini menggambarkan tatanan Bumi yang dikuasai manusia,” tulis para peneliti. “Tindakan langsung manusia pada bentang alam ditemukan pada area-area besar di setiap benua, dari intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian hingga peningkatan penggunaan lahan kota dan kehutanan, dengan melibatkan pemeliharaan jasa ekosistem.”

Secara keseluruhan, studi ini mendapati bahwa kehilangan tutupan pohon di wilayah tropis dilampaui oleh perolehan tutupan pohon di wilayah subtropis, sedang, boreal, dan polar. Perolehan tutupan pohon didorong oleh pengabaian pertanian di beberapa wilayah Eropa, Asia, dan Amerika Timur; menghangatnya suhu yang memungkinkan hutan tumbuh ke arah kutub; serta program penanaman pohon besar-besaran di Cina. Tutupan pohon juga meningkat di kawasan pegunungan di seluruh dunia.

Perolehan tutupan pohon terbesar terjadi di hutan sedang kontinental (+726.000 kilometer persegi), hutan konifera boreal (+463.000 kilometer persegi), dan hutan lembap subtropis (+280.000 kilometer persegi). Sementara itu, Rusia (+790.000 kilometer persegi), Cina (+324.000 kilometer persegi), dan Amerika Serikat (+301.000 kilometer persegi) mengalami perolehan tutupan pohon terbesar di antara negara-negara lain.

Sebaliknya, wilayah tropis menghadapi kehilangan tutupan pohon yang besar, dipimpin oleh hutan gugur basah (-373.000 kilometer persegi), hutan hujan tropis (-332.000 kilometer persegi), dan hutan kering tropis (-184.000 kilometer persegi). Hutan kering tropis mengalami tingkat kehilangan tertinggi selama 35 tahun ini sebesar 15 persen. Sejauh ini Brasil memimpin dalam kehilangan tutupan pohon yaitu sebesar 399.000 kilometer, lebih banyak dibandingkan dengan total gabungan kehilangan empat negara berikutnya dalam daftar (Kanada, Rusia, Argentina, dan Paraguay). 

Studi ini memperkirakan jumlah kotor kehilangan kanopi pohon di seluruh dunia sebesar 1, 33 juta kilometer persegi atau 4,2 persen dari tutupan pohon pada 1982. Namun dengan bertambahnya perolehan, total area tutupan lahan di planet ini meningkat sebesar 2,24 juta kilometer persegi atau 7,1 persen, dari 31 juta menjadi 33 juta kilometer persegi. Para penulis melihat jumlah ini “menyanggah” data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO), yang mengumpulkan data hutan nasional dari kementerian kehutanan berbagai negara dan sejak dulu dianggap sebagai sumber informasi tutupan hutan paling konsisten.

“Perolehan jumlah bersih kanopi pohon di seluruh dunia berlainan dengan pemahaman terkini akan perubahan kawasan hutan jangka panjang. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) melaporkan jumlah bersih kehilangan hutan antara 1990 dan 2015. Namun demikian, taksiran jumlah kotor kehilangan pohon (-1,33 juta kilometer persegi) sejalan dengan taksiran FAO akan jumlah bersih perubahan kawasan (-1,29 juta kilometer persegi, -3%), walaupun ada perbedaan dalam cakupan kurun waktu serta definisi hutan.”

Namun demikian, semua data tutupan pohon disertai peringatan penting: tutupan pohon tidak selalu berupa tutupan hutan. Budidaya kayu industri, perkebunan kelapa sawit tua, serta “hutan tanaman” tidak alami lainnya dianggap sebagai tutupan pohon. Sebagai contoh, menebang sebidang hutan primer seluas 100 hektar dan menggantikannya dengan perkebunan kelapa sawit seluas 100 hektar dalam data tidak akan dipandang sebagai perubahan jumlah bersih dalam tutupan pohon. Akan tetapi, aktivitas tersebut akan dihitung sebagai “penebangan hutan” oleh FAO. Dengan demikian kehilangan tutupan pohon tidak selalu diartikan secara langsung sebagai “penebangan hutan”.

Walau demikian, menetapkan rekor perubahan tutupan lahan memungkinkan peneliti untuk membedakan jenis-jenis aktivitas. Data pada studi terkini memang menyajikan pengertian ketika ada perubahan di antara tipe-tipe vegetasi.

“Penebangan hutan karena perluasan pertanian sering kali ditampilkan sebagai kehilangan kanopi pohon dan perolehan vegetasi rendah, padahal degradasi lahan bisa saja mengakibatkan kehilangan vegetasi rendah sekaligus perolehan tanah gundul,” tulis para peneliti, yang menggunakan sampling untuk membuat model yang memungkinkan mereka untuk menghubungkan perubahan penggunaan lahan dengan aktivitas manusia langsung atau pendorong tidak langsung seperti iklim. Studi menyimpulkan bahwa 60 persen dari semua perubahan selama masa studi berkaitan dengan aktivitas manusia. Atribusi berbeda-beda di seluruh bioma, dengan dampak manusia langsung berhubungan dengan 70 persen kehilangan kanopi pohon (misalnya penebangan hutan), tetapi hanya 36 persen perolehan tanah gundul (misalnya tundra yang dijajah oleh vegetasi yang berpindah ke arah kutub akibat menanjaknya suhu).

Para penulis membahas bagaimana temuan itu menggambarkan beberapa tren utama penggunaan lahan di seluruh dunia.

“Meluasnya batas pertanian merupakan pendorong utama penebangan hutan di wilayah tropis,” tulis mereka. “’Busur penebangan hutan’ di sepanjang sisi tenggara Amazon terdokumentasikan dengan baik. Pembukaan vegetasi alami untuk pertanian industri bertujuan ekspor juga banyak terjadi di Cerrado dan Gran Chaco. Titik-titik penebangan hutan juga ditemukan di Queensland, Australia, serta di Asia Tenggara—meliputi Myanmar, Vietnam, Kamboja, dan Indonesia—semakin mengurangi hutan primer yang sudah langka di wilayah tersebut. Di Afrika sub-Sahara, kehilangan tutupan pohon menyebar di seluruh hutan hujan Kongo dan hutan Miombo, yang sejak dulu berkaitan dengan pertanian skala kecil lalu meningkat menjadi budidaya tanaman komoditas. Hutan di Kanada boreal, Alaska timur, dan Siberia tengah menampakkan petak-petak besar kehilangan kanopi pohon serta perolehan vegetasi rendah, serupa dengan yang terjadi di wilayah tropis. Akan tetapi, ini merupakan akibat dari gangguan kebakaran liar yang berkepanjangan serta pemulihan vegetasi alami yang menyusul kemudian.”

Tidak hanya mendorong hilangnya tutupan pohon di wilayah tropis, jejak pertanian muncul di bagian lain data, khususnya menggantikan tutupan tanah gundul dengan tutupan vegetasi rendah.

“Di antara semua negara, India dan Cina mengalami kehilangan tanah gundul paling banyak,” tulis para peneliti. “India juga berada di peringkat kedua dalam perolehan vegetasi rendah (+195.000 km2, +9%), setelah Brasil (+396.000 km2, +12%). Sementara perolehan vegetasi rendah di Brasil sebagian besar disebabkan oleh meluasnya batas pertanian ke ekosistem alami, perolehan vegetasi rendah di India terutama disebabkan oleh intensifikasi lahan pertanian yang sudah ada—kelanjutan dari ‘Revolusi Hijau’. Sebagian dari perolehan tanah gundul yang teramati dapat dihubungkan dengan pengambilan sumber daya serta persebaran kota yang tidak tertata, kebanyakan terjadi di Cina timur. Walau demikian, secara global, pertumbuhan kawasan kota berdampak kecil terhadap perubahan lahan.

Tanah gundul juga berkurang di gurun, area pegunungan, serta tundra, menunjukkan pengaruh perubahan iklim, yang menimbulkan kondisi yang mendukung pertumbuhan rumput, semak, dan pohon. Perubahan ini berakibat pada tren penghijauan secara keseluruhan, di mana tutupan tanah gundul menurun sebesar 3,1 persen sejak 1982.

Walau demikian “penghijauan” tersebut menyembunyikan dampak ekologis dari menggantikan bentang darat alami yang beragam dengan tanaman monokultur. Maka sementara Bumi mungkin terlihat memiliki lebih banyak pohon daripada 35 tahun lalu, studi ini menegaskan bahwa sebagian dari biomanya yang paling produktif dan beragam—terutama hutan tropis dan savana—secara signifikan semakin rusak dan merosot, mengurangi ketahanan dan kapasitasnya untuk memberikan jasa ekosistem.

RUJUKAN:

Xiao-Peng Song, Matthew C. Hansen, Stephen V. Stehman, Peter V. Potapov, Alexandra Tyukavina, Eric F. Vermote & John R. Townshend. “Global land change from 1982 to 2016”. Nature (2018). Terbit: 8 Agustus 2018

Ralat 15 Agustus 19:45 Waktu Musim Panas Pasifik: dikarenakan kesalahan transkripsi dalam fail data yang diberikan pada Mongabay, versi asli dari artikel ini berisi teks berikut: Rusia (+790.000 kilometer persegi), Kolombia (+324.000 kilometer persegi)—boleh jadi disebabkan oleh pertumbuhan kembali hutan selama konflik beberapa dekade dengan FARC, dan Amerika Serikat (+301.000 kilometer persegi) mengalami perolehan tutupan pohon terbesar di antara negara-negara lainnya selama masa itu.” Akan tetapi data dari Kolombia diubah dengan data dari Cina sehingga kami mengubahnya setelah mendapatkan pemberitahuan.

Artikel dipublikasikan oleh Rhett Butler, diterjemahkan dari "Earth has more trees now than 35 years ago" dalam Mongabay.com, 15 Agustus 2018.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar