Laman

20181206

Omeo Zanako (Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato, 2015)


Ia hidup di negeri yang bebas hukum. Walau bukan ia sendiri yang memutuskan untuk tinggal di situ, ia mencintainya dan ia tidak akan tinggal di tempat yang lain. Tanah airnya permai. Madu dan susu melimpah. Segalanya penuh berkah. Sayang sekali orang menganggapnya bagai tempat sampah—tempat sampah bagi ketidakadilan.
Lehilahy seorang tukang dan bangga akan pekerjaannya. Istrinya cantik dan sedang mengandung. Mereka menunggu kelahiran anak itu dengan tenang. Anak itu akan dilahirkan di kamar tidur mereka yang sempit. Mereka tidak pernah ke rumah sakit ataupun bangsal bersalin. Orang-orang yang mengambil risiko menginap di sana tidak ada yang kembali. Lehilahy tidak suka mendengarkan cerita seram dari keluarga orang-orang yang menghilang itu, namun ia telah memutuskan bahwa istrinya akan melahirkan didampingi bidan. Lebih baik begitu.
Anak itu pun lahir dan jenis kelaminnya laki-laki. Lengkaplah kegembiraan mereka, senyuman kasih teriring. Euforia melingkupi tangisan sang ibu. Tahu-tahu ia  menjerit, lása ny rako—“darahku mengalir”. Dan benar saja, darahnya membanjir dan dukun beranak tersebut tak berdaya menyaksikan sang ibu menghadapi sakratulmaut.