Laman

20190120

The Moneyless Manifesto: Pengarang yang sungkan (Mark Boyle, 2012)

Saya menyadari bahwa semakin banyak yang saya pelajari dari kehidupan, semakin sedikit yang saya ketahui, atau yang dapat saya ketahui. Arogan rasanya menulis sebuah buku yang boleh jadi, di luar kehendak, memberi kesan bahwa saya—seorang manusia yang baru mulai memahami seutuhnya bagian-bagian paling pokok dari dirinya sendiri—memiliki jawaban apa pun atas problematika kemanusiaan mutakhir. Maka buku ini pun ditulis dengan sedikit banyak kesungkanan.
Kita hidup di dunia yang terdiri dari banyak kebudayaan manusia. Kenyataannya, kebudayaan-kebudayaan itu dengan gencar tengah dihomogenkan oleh imperialisme dan hegemoni kebudayaan yang telah menjadi sinonim dengan globalisasi dan menggantikan bentuk-bentuk kebudayaan yang lebih tradisional. Di antara kebudayaan-kebudayaan ini terdapat banyak sekali sub-subkebudayaan, yang semuanya hidup berjalinan dengan konvensi-konvensi sosial dan ekologi yang terlalu kompleks untuk dipahami secara intelektual. Kita merupakan gabungan dari para leluhur, dengan kepercayaan religi dan spiritual yang berlainan, begitu pula dengan riwayat berurat berakar yang menyertainya. Selama seribu tahun planet kita diiris menjadi negara-negara yang berbatasan, yang telah mengembangkan hukum, taraf pembangunan, etiket sosial, mite kebudayaan, harapan duniawi, persoalan seks dan jenis kelamin, ketergantungan emosi dan fisik, hingga kompleksitas keuangan dan mikroklimatnya sendiri-sendiri. Bahkan di dalam kelompok-kelompok demografis yang beraneka itu pun kepribadian manusia banyak macamnya. Negara yang sama menjadi rumah bagi Noam Chomsky dan Rupert Murdoch.


20190113

The Moneyless Manifesto: Pengantar (Mark Boyle, 2012)

Daripada cinta, uang, dan ketenaran, berilah saya kebenaran.
– Henry David Thoreau

Kami sedang berjalan menembus salju yang baru turun pada petang Januari berlangit biru, ketika sembari menggenggam tangan kecil saya, ibu dengan lemah lembut mengatakan bahwa Sinterklas itu tidak ada. Tentu saja ibu saya bermaksud baik, hendak memberikan secubit cinta tegas untuk menyelamatkan saya dari aib menceritakan hadiah Natal yang dibawakan Sinterklas untuk saya kepada anak-anak lainnya yang lebih berpengalaman. Namun waktu itu usia saya sudah tujuh setengah tahun. Waktu itu saya sudah mulai mempertanyakan kepercayaan saya akan pakar ekonomi kasih yang agak buncit ini. Kecurigaan saya mulai timbul sejak saya berusia sekitar empat tahun.
Hingga waktu itu, Sinterklas mengasihi saya tanpa pamrih, sebagaimana payudara ibu saya, tanpa menghiraukan apakah saya bersikap baik atau nakal. Seiring dengan mendekatnya Natal kelima saya, saya ingat diberi tahu bahwa bagaimanapun juga si pria besar tidaklah segampang itu memberikan barang. Saya tidak lagi patut menerima kebaikan hatinya kecuali saya menjadi anak baik. Kasih Sinterklas, berikut kehidupan bersamanya, serasa berangsur-angsur mengandung pamrih. Namun sewaktu kecil yang kita ketahui kepamrihan bukanlah cara kerja Alam. (Semak berduri tidak pernah menanyakan apakah saya nakal sebelum memberikan beri hitamnya pada saya, begitu juga kali dengan airnya.) Maka saya pun mencium ada yang salah. Namun saya takut bila menyuarakan keraguan tersebut dapat mengakibatkan surutnya mainan baru. Maka selama dua setengah tahun itu saya melupakan pemikiran tersebut, menutup mulut, dan terus bersikap memercayai kisah fantastis Sinterklas. Anak kecil bisa licik juga.


20190106

Si Dukun (Marek Vadas, 2006)


Ike merasa akhirnya ia melewati titik kritis. Ia meminta pengukir kayu jalanan membuatkannya cap bundar bergambar kadal dengan tulisan “Ike Ngoma—Dukun Jiwa”. Istilah tersebut kedengarannya kurang tepat, tetapi udara saat itu sangat panas sehingga ia tidak terpikir yang lebih baik. Kemudian ia memberikan seekor ayam dan tiga ratus Franc pada pejabat yang langsung mengeluarkan izin. Sekarang Ike siap menjalankan praktiknya. Orang selalu senang menghadiahi siapa pun yang mampu mengeluarkan mereka dari kesulitan. Mereka akan membawakanmu buah, ubi rambat, atau gula, sekalipun jika mereka sendiri tidak punya apa-apa untuk dimakan.

Suatu pagi Ike pergi ke pasar seperti biasa, dan bermain mata dengan seorang pedagang yang masih muda hingga gadis itu memberinya sepotong fufu[1] dengan kuah daging secara cuma-cuma. Saat ini Ike sudah menganggur selama hampir enam bulan, sejak bosnya memecat dia dari gudang. Bosnya mengklaim bahwa beberapa peti berisi kola dan bir telah menghilang meski Ike siap bersumpah ia tidak pernah sekali pun menutup mata saat berjaga. Ia yakin benar bahwa si empunya gudang mengarang-ngarang barang yang hilang itu untuk menyingkirkan dia dan mengoper pekerjaannya pada kerabat bajingan si bos yang baru datang ke kota. Namun kini segalanya akan menjadi lain. Ike mengalami mimpi, yang memberinya ide cemerlang. Dalam mimpi itu ia melihat dirinya sedang melewati kerumunan orang yang terpincang-pincang. Mereka menautkan kedua tangan memohon dan ia menyembuhkan mereka dengan sekali sentuh. Ia menaruh tangannya dengan lembut di kening mereka, menggosok pelipis mereka, atau menyentuh pelupuk mata mereka yang separuh terpejam. Orang-orang datang padanya dengan borok bernanah, dengan belatung berkerubung dalam lubang di wajah mereka, orang-orang tak berhidung, serta anak-anak berperut kembung. Orang-orang berkumpul ke arahnya dalam arak-arakan yang tiada akhir—ia bahkan tidak tahu apakah mereka berjalan atau mengambang. Gerakan mereka seperti menaiki eskalator yang dilihatnya tahun lalu di supermarket Yaoundé. Hujan mencurahi wajah mereka. Hujan begitu derasnya hingga bumi menyatu dengan langit. Tetes-tetes merah terangkat dari tanah dan raib dalam awan kelabu. Mata orang-orang dalam kerumunan itu menatap jauh ke depan, seakan-akan mereka telah kehilangan segala harapan dan menerima akhir yang tak terelakkan. Sementara Ike menyentuh mereka seraya menggumamkan empat baris sajak yang diajarkan seorang tua padanya sewaktu ia kecil, kehidupan menyala kembali dalam tatapan mereka yang berkaca-kaca dan darah pun pelan-pelan meniris dari putih mata mereka. Ike yakin bahwa tuah dalam mimpinya berlaku pula di dunia nyata. Ia tahu itu sebab suara-suara yang dipercayainya mengatakan demikian.