Laman

20190220

The Moneyless Manifesto: 1. Delusi Uang (Mark Boyle, 2012)

Antara mengulang doktrin konvensional yang sama seperti yang dikatakan semua orang, atau menyampaikan kebenaran yang kedengarannya seolah-olah berasal dari Planet Neptunus.
– Noam Chomsky

Belum lama ini di suatu acara makan malam saya menemukan serbet kertas yang dicetak dengan gambar uang sepuluh paun. Wajah sang Ratu yang tenang namun janggal, ramah namun mengusik, menatap balik pada kami semua, menantang untuk menyeka wajah kotor kami dengan apa yang telah menjadi simbol paling keramat. Tidak ada seorang pun yang berani melakukannya. Semua serbet tergeletak mulus tidak tersentuh sebagaimana sewaktu ditata. Rasanya sangat keliru menggunakan uang sepuluh paun, sekalipun hanya gambarnya, untuk menyeka glasir di mulut.
Pikirkan sejenak paragraf itu, dan Anda akan mulai menyadari betapa konsep uang telah sangat memengaruhi kita. Seandainya serbet itu berwarna putih polos yang biasa kita cekoki dengan tumpahan kopi, burger, koktail, dan irisan lemon di acara penggalangan dana, melayang-layang di latar belakang pada setiap pengalaman kuliner luaruang, saya berani bertaruh bahwa kita tidak akan pikir panjang untuk menggunakannya sekali saja, lantas membuangnya. Kita senang-senang saja memorakmorandakan pepohonan yang tidak terbilang jumlahnya melalui sektor pangan kita yang nyaman, namun kita ragu menyeka wajah kita dengan sesuatu yang sekadar citra dari uang sepuluh paun.
Uang—konsep yang sewenang-wenang, hampa, dan nirjiwa, tunduk pada inflasi serta tabiat pasar yang berubah-ubah, dan dengan sendirinya tidak mampu memberi makan, perlindungan, ataupun cinta kepada kita—telah menjadi lebih berarti, lebih dihargai, dan lebih dikeramatkan dalam hidup kita ketimbang pepohonan—penyedia oksigen, air, makanan, naungan, lindungan, dan struktur tanah. Kita berada di negeri ajaib Elisa, tempat tidak ada yang seperti kelihatannya, dan tidak ada yang sebagaimana semestinya. Kita benar-benar mengalami delusi akan apa yang kita butuhkan demi kehidupan yang bermakna dan terpelihara, dan delusi kita tidak saja melemahkan kemampuan kita untuk mewujudkannya, tetapi juga kemampuan semua spesies lain di planet ini dalam hal itu.
Dengan memikirkan kuasa uang atas kita, Anda mungkin heran mengapa pada 2008 saya memutuskan untuk meninggalkan jalan hidup tersebut dan mencoba hal yang berbeda. Pada awal saya memutuskan untuk memulai hidup tanpa uang—atau, saya lebih suka menganggapnya, memulai hidup dengan berbagai bentuk ekonomi kasih berbasis lokalisasi yang akan dijelaskan di bab dua—saya melakukannya berdasarkan kesadaran yang kuat: banyak penderitaan dan kerusakan di dunia—pabrikasi pertanian, pabrik rodi, penebangan hutan, kepunahan spesies, pengurasan sumber daya, kemusnahan penduduk pribumi beserta kebudayaannya—merupakan gejala dari persoalan yang lebih mendalam. Dalam pengamatan saya, hanya masyarakat yang tidak acuh akan pertalian intim mereka dengan kehidupan lain di planet ini yang dapat berlaku seperti kita, dan hanya masyarakat yang terkepung oleh godaan-godaan kuat yang tidak mampu merasakan luka mendalam akibat perilaku ini. Uang tidak saja memungkinkan kita untuk tetap terlindung dari kengerian yang menjadi akibat langsung dari kebiasaan konsumsi kita, tetapi juga merupakan godaan yang paling kuat.
Seiring dengan waktu yang memberi saya lebih banyak lagi pengalaman dan pelajaran dalam hidup tanpa uang, alasan untuk melakukannya mencapai skala yang hampir tak terhingga. Tidak terbayang oleh saya rintangan dan kesenjangan yang timbul akibat terjerat dalam penggunaan uang. Daftarnya tidak habis-habis, dan saya tidak bisa menyertakan semuanya di sini. Di halaman-halaman berikut, saya telah memilih beberapa poin yang saya rasa paling penting, dengan menilik akibat yang ditimbulkan uang pada diri kita secara fisik, mental, emosional, dan spiritual, serta dampak lanjutannya pada keadaan masyarakat dan planet kita. Meski begitu, semua itu kiranya mengerucut pada satu pokok yang sederhana saja: hidup tanpa uang mengubah jalan hidup saya. Berada di luar ekonomi moneter memungkinkan saya untuk berdiam dalam daur hidup organik dan menghargai keutuhannya yang saling berhubungan, serta memperoleh sudut pandang baru dalam memaknai diri.

Kita berada di sini supaya terbangun dari ilusi kita akan kesendirian.
– Thich Nhat Hanh



Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar