Laman

20190320

The Moneyless Manifesto: Budaya Uang (Mark Boyle, 2012)

Berlawanan dengan kerangka waktu linear yang dicekokkan narasi kebudayaan kini pada kita, hidup adalah serangkaian siklus. Terlebih lagi, siklus memperlengkapi satu sama lain, tidak seperti sistem linear, yang bermula di satu tempat dan berakhir di tempat lainnya. Kita tuai yang kita tabur yang kita tuai yang kita tabur. Tentu saja, ini artinya dibutuhkan sejumlah perhatian serta pemeliharaan untuk memastikan yang dituai itu bermanfaat, begitu pula pengendalian diri yang kuat agar menjamin siklus tersebut memiliki cukup energi untuk menyokong dirinya sendiri.
Akan tetapi, peradaban Barat telah memutuskan untuk memperjuangkan yang linear. Kerangka ini menghendaki adanya masukan yang sewenang-wenang, yang pada akhirnya berubah wujud dan termuntahkan sebagai keluaran yang “tidak memiliki tempat”. Dari dalam siklus ekologis yang berjalan diam-diam di sekitar kita, kita renggut yang kita senangi, mengolahnya melalui rentetan pabrik, dan menikmati, untuk sesaat saja, yang keluar dari sisi satunya. Lantas kita membuangnya, dan mulai lagi. Secara terus-menerus kita mengambil energi, dan tidak ada yang kita kembalikan. Pada taraf tertentu, siklus ini akan runtuh. Banyak di antaranya yang sudah runtuh.


20190313

The Moneyless Manifesto: Filosofi tanpa uang dan delusi diri (Mark Boyle, 2012)

Bukan umat manusia yang menganyam jaring kehidupan. Kita menganyam satu benang saja di dalamnya. Apa pun yang kita lakukan pada jaring itu adalah demi diri kita sendiri. Semuanya terikat pada satu sama lain. Segalanya berhubungan.
– Chief Seattle

Terlepas dari apakah Anda meyakini dongengan bahwa uang itu baik atau tidak bagi kita—apakah Anda kapitalis atau sosialis, hippie atau yuppie, penganut Kristen atau Buddha—Anda mungkin sering kali menginginkannya lebih banyak. Anggaplah semua orang setuju pada pepatah lama bahwa uang tidak memberikan kebahagiaan, dan bahwa uang tidak sepenuhnya baik bagi kepribadian mereka yang berusaha memperolehnya lebih banyak, maka Anda pun heran mengapa semua orang sangat terpikat pada uang. Tetapi seperti itulah kita. Kita mencintai uang, dan mencemburui mereka yang punya banyak uang. Kita bahkan merelakan waktu kita—saat-saat berharga dan terbatas yang membentuk keutuhan hidup kita—untuk memperolehnya kembali, tanpa mengindahkan betapa banyak yang telah kita miliki, dan betapa merusak serta memuakkannya perbuatan itu. Semua orang, tampaknya, menginginkan lebih banyak uang. Kita semua tidak ubahnya Spike Milligan, saat ia menyentil “yang kuminta hanyalah kesempatan untuk membuktikan bahwa uang tidak dapat membahagiakanku.”


20190306

Tiap Kali Aku Duduk Minum-minum di Bar Seperti Ini, Aku Merasa Betapa Kudusnya Profesi Melayani Bar (Ryu Murakami, 2004)

Tiap kali aku duduk minum-minum di bar seperti ini, aku merasa betapa kudusnya profesi melayani bar. Dilatari rak kaca kotor berisi botol berwarna-warni, si pelayan bar bergerak ke sana kemari secara cermat di ruangan depan yang bercahaya kristal, bak pendeta memimpin ritual. Seraya menuangkan cairan suci ke dalam gelas, ia mendengarkan diiringi senyum takzim lagi simpatik sementara para pelanggan mendeklamasikan duka mereka.

Di ujung bar ada sepasang madam-madam jelek dengan kulit kasar dan riasan tebal. Dengan menjijikkannya mereka mabuk—atau mungkin cuma pura-pura. Percakapan mereka berganti-ganti antara bisik dan pekik. Pesan sesuatu? lantun si pelayan bar, seraya membinarkan senyumnya ke arah mereka.

Di samping kedua madam-madam itu ada pasangan yang terlihat jelas baru menikah. Sepertinya mereka baru menyelenggarakan pesta pernikahan di hotel ini, dan sekarang mereka hendak menghabiskan semalam di sini sebelum pergi berbulan madu. Mereka sama-sama tidak banyak bicara. Si pengantin pria menyesap sedikit gelasnya yang berisi campuran wiski dan air, sedangkan si pengantin wanita mengamati sekitarnya sementara es dalam mai tai miliknya meleleh, sehingga warnanya menjadi oranye keruh. Anda mau camilan? tanya si pelayan bar, seraya menyapukan senyumnya kepada mereka.