Laman

20190513

The Moneyless Manifesto: Putusnya hubungan kita dengan apa yang kita konsumsi (Mark Boyle, 2012)

Susutnya kehidupan beserta segala ekspresinya menjadi taksiran nilai keuangan yang hampa hanya dimungkinkan lewat penggunaan benda abstrak, objektif, dan tidak berarti seperti uang. Uang kaku dan tidak berjiwa. Uang berpindah tangah dengan begitu mudahnya, tanpa kepedulian—menjadi angka-angka yang dimasukkan ke layar. Uang menggampangkan hidup, sebab kita tidak harus berpikir. Kita tidak harus mempersoalkan dari mana asalnya deretan mebel Ikea yang tidak ada habisnya, atau bagaimana kita dapat memperoleh stroberi pada Februari. Kita tinggal menyerahkan uang. Simpel.
Biaya sebenarnya dari kemewahan-kemewahan ini tidak meresap ke dalam harganya sebab itu tidaklah mungkin. Bagaimana Anda menghitung hilangnya hutan hujan—matinya seratus ribu pohon, punahnya spesies tanaman dan hewan, serta hilangnya rumah, budaya, bahasa, pengetahuan dan cara untuk menjadi manusia? Bagaimana Anda mengalkulasi biaya perubahan iklim, penipisan tanah, serta pengambilan lahan suatu masyarakat karena airnya, lantas memaksa mereka untuk bekerja dalam perbudakan efektif, melakukan pekerjaan nirjiwa bertani monokultur bagi orang-orang di tempat jauh yang tidak akan pernah dijumpai?
Anda tidak bisa memerinci semua itu. Karena itulah kita tidak melakukannya. Uang merupakan satu-satunya cara kita melakukan itu, karena sifatnya yang sama sekali abstrak sehingga dapat mewakili segala kerusahan, kepedihan, dan tragedi, tanpa sedikit pun terpengaruh. Uang kaku dan tidak berjiwa. Angka-angka di layar.
Sekali lagi, bukan hanya biosfer kita yang secara negatif terpengaruh oleh penggunaan uang. Diri kita begitu masyarakat kita pun sangat tersakiti. Karena pemutusan hubungan yang diperbuat ekonomi moneter pada kita dewasa ini, sedikit saja orang yang mengetahui siapa yang memanggangkan roti mereka, jangankan petani yang menumbuhkan gandumnya atau tukang giling yang menggilasnya menjadi tepung. Bagi kita, balok roti itu sekadar produk di rak, dan biasanya tidak ada hubungan nyata di antara produsen dan konsumen.
Dalam ekonomi pramoneter, tingkat keterpisahan antara produsen dan pengguna terentang dari nol sampai dua—kalau Anda tidak membuat sendiri barang yang Anda gunakan, entahkah Henry tetangga Anda atau istrinya yang melakukannya. Ini berarti Anda terhubung secara mendalam dengan segala sesuatu pada prosesnya. Dalam konteks dewasa ini, jika Anne menyiksa hewan atau menyemprot hasil bumi yang Anda makan dengan senjata biologis, Anda akan mengetahui itu dan mungkin membahasnya dengan dia jika Anda awas. Jika kesehatan Henry terganggu karena membuatkan sepatu untuk Anda, Anda mungkin ingin membantu dia menemukan pemecahan yang baik bagi dirinya.
Jika Anda menumbuhkan pangan sendiri, Anda tidak akan menghamburkannya. Jika Anda mesti bertanggung jawab atas persediaan air Anda sendiri, kemungkinan Anda tidak akan beol di situ. Belum lama ini saya berbicara dengan seorang wartawan mengenai laporan Kementerian Lingkungan, Pangan, dan Pedesaan Inggris (DEFRA)[1] yang menyatakan bahwa sekarang ini roti menjadi makanan nomor satu yang dihambur-hamburkan, dan ia menanyakan pendapat saya sebabnya demikian. Saya menjawab sederhananya itu karena kita tidak lagi harus menguleni dan memanggang roti sendiri. Jika kita harus mengerahkan tiga puluh menit cinta berikut lemak siku ke dalam roti itu, kita tidak akan menyia-nyiakannya barang seiris pun.[2]
Semakin kurang mendalam hubungan kita dengan makanan kita, semakin banyak kita menghambur-hamburkannya. Semakin lama kita tidak terhubung dengan apa yang kita konsumsi, semakin sedikit harapan untuk memahami bahwa kita bukanlah makhluk yang sepenuhnya mandiri, melainkan bagian yang saling bergantung dari alam semesta yang lebih besar. Kita pun akan terus mengambil keputusan yang dianggap baik menurut pemaknaan diri kita yang egosentris (ego yang terbungkus-oleh-kulit, aku) dengan mengorbankan diri holistis kita (alam semesta).
Sebagian orang akan membantah bahwa justru di sinilah masuknya konsumerisme etis—yang memungkinkan uang menjadi cermin pertimbangan masyarakat terhadap cara-cara yang merusak. Saya akan menangkis bahwa tidak ada yang namanya konsumerisme etis, sama seperti saya berpendapat bahwa tidak ada yang namanya pemerkosaan etis. Ted Trainer sependapat, dengan menyatakan bahwa masyarakat yang adil dan makmur tidak mungkin berupa masyarakat konsumtif.”[3] Konsumerisme berarti membeli semakin banyak barang, sumber daya, dan jasa secara terus-menerus tanpa berkesudahan. Konsumerisme pada dasarnya bersifat linear, karena mensyaratkan—dan bergantung pada—persediaan masukan yang tidak terhingga, yang tidak ada, dan tidak mempertimbangkan apa yang terjadi pada keluarannya bila masa pakainya yang dirancang terbatas sudah berakhir. Bagaimana mungkin sistem serupa itu disebut etis, apalagi cerdas? Lebih-lebih, konsumerisme etis tidak memperhitungkan pandangan menyeluruh mengenai manusia beserta hubungan-hubungan biologis yang terpengaruh oleh suatu produk atau jasa. Pertimbangannya mengenai yang “etis” atau bahkan “berkaitan dengan lingkungan” sudah pasti sangat terbatas. Gagasan bahwa kita dapat berbelanja untuk kelestarian tidaklah lebih menggelikan daripada bersanggama supaya perawan.
Namun lebih daripada itu, konsumerisme etis memperkuat status quo—memperkuat apa yang kita semua ketahui merupakan kepalsuan, bahwa uang itu berarti, dan dengan memperkuat ini, konsumerisme etis memperkuat dan memperkukuh keterpisahan kita dari diri kita sendiri, masyarakat kita, berikut Alam. Ini tidak berarti membeli bahan makanan dari toko petani organik setempat alih-alih supermarket bukanlah perbuatan baik. Tentu saja itu baik. Makan merupakan tindakan konsumerisme, tindakan untuk hidup, dan sekarang ini mendukung mereka yang menumbuhkan pangan dengan menghargai kesehatan biosfer sangatlah penting. Maksud saya sekadar bahwa tindakan-tindakan serupa itu dengan sendirinya tidak akan menghasilkan tingkat perubahan yang sangat kita butuhkan. Beberapa bentuk konsumerisme bisa saja memang lebih berkelanjutan serta tidak lebih mengeksploitasi dan mencemari daripada yang lain, namun tidak mungkin dikatakan absolut. Pemerkosa yang hirau untuk menggunakan kondom ramah lingkungan agaknya bisa dibilang lebih etis, namun akankah siapa pun, terlepas dari definisi mereka mengenai “etis”, istilah yang paling tidak jelas ini, berani menyebutnya etis secara absolut?
Hingga kita memahami bahwa kesehatan kita sendiri, kehidupan kita sendiri, bergantung pada kesehatan alam semesta, kita tidak akan mampu melawan kebudayaan yang tampaknya bersikeras merampas semua ikan, pohon, dan mineral dari planet ini, sekalian mencemari udara dan sungai kita. Derrick Jensen, penulis dan aktivis lingkungan Amerika, menyatakan bahwa “jika pengalaman Anda berupa makanan yang berasal dari toko bahan pangan dan air yang berasal dari keran, maka Anda akan mati-matian mempertahankan sistem yang menyediakannya pada Anda karena hidup Anda bergantung padanya. Namun, jika pengalaman Anda berupa makanan yang berasal dari tanah dan air yang berasal dari kali, maka Anda akan mati-matian mempertahankan tanah itu berikut kalinya.”[4] Tidak ada yang lebih baik daripada uang dalam menghentikan kita memahami kesalingbergantungan kita dengan tanah. 
Kemanunggalan, sifat liar, kemasyarakatan, dan kedirian—gagasan-gagasan melayang bebas di ranah filsafat yang teramat lesu. Apalah saya ini menyatakan apakah gagasan-gagasan tersebut benar atau salah—mereka hanyalah dugaan, dugaan yang kuat pula, karena semuanya terasa pas, namun toh dugaan belaka. Maka, bagaimana jika saya salah? Terlepas dari filosofinya, terlepas dari renungan batin akan sifat diri, adakah petunjuk konkret, petunjuk yang “nyata”, yang menyatakan bahwa penggunaan uang pada hakikatnya tidak berbahaya?
Banyak. Cukup untuk mengisi tiga bab buku ini. Namun di sini hanya ada satu bab, dan pendek pula. Maka saya pilihkan yang terbaik dengan harapan sebagian di antaranya mudah-mudahan berguna bagi Anda sementara Anda membantu kita semua menciptakan kisahan masa depan, kisahan yang patut bagi Zaman kita.




[1] Keterangan lebih lanjut mengenai DEFRA, kunjungi www.defra.gov.uk
[2] Berita lengkapnya ada di laman BBC News www.bbc.co.uk/news/magazine-17353707
[3] Trainer, Ted (2007). Renewable Energy Cannot Sustain a Costumer Society. Springer. Pp. 7-8.
[4] Jensen, Derrick (2006). Endgame: The Problem of Civilisation Volume I. Seven Stories Press, AS. Edisi pertama.



Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar