Laman

20190827

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 7 (Haruki Murakami, 1994)

7

Juru Penatu yang Bahagia
*
Dan Masuklah Kano



Aku membawa blus dan rok Kumiko ke penatu di dekat stasiun. Biasanya, aku membawa cucian kami ke penatu di sekitar pojok jalan rumah kami. Bukan karena aku lebih menyukai penatu yang itu, melainkan karena lebih dekat. Kumiko kadang menggunakan penatu dekat stasiun sekalian pergi-pulang kerja. Ia menaruh cucian pagi-pagi sembari berangkat ke kantor lalu mengambilnya ketika pulang. Menurut Kumiko, tempat yang ini agak lebih mahal, tetapi hasilnya lebih baik daripada penatu di dekat rumah. Pakaiannya yang bagus-bagus selalu ia bawa ke sana. Itulah sebabnya pada hari itu aku memutuskan untuk bersepeda ke stasiun. Kubayangkan ia lebih suka pakaiannya dibersihkan di sana.


20190820

The Moneyless Manifesto: 2. Menu Hidup tanpa Uang (Mark Boyle, 2012)

Dalam kebudayaan tradisional, penduduk desa melengkapkan kebutuhan dasar mereka tanpa uang. Mereka telah mengembangkan kecakapan yang memungkinkan untuk menumbuhkan jelai pada ketinggian 3.600 meter …. Masyarakat tahu cara membangun rumah sendiri dengan material dari lingkungan sekitar …. Sekarang, mendadak, sebagai bagian dari ekonomi uang internasional, masyarakat Ladakh mendapati diri mereka menjadi semakin bergantung—bahkan untuk kebutuhan-kebutuhan yang vital—pada sistem yang dikuasai oleh kekuatan dari jauh. Mereka rentan oleh keputusan yang dibuat orang-orang yang bahkan tidak mengetahui keberadaan tempat mereka …. Selama dua ribu tahun di Ladakh, sekilo jelai adalah sekilo jelai, namun kini Anda tidak dapat memastikan harganya.
– Helena Norberg-Hodge

Setiap kali gagasan yang mencetuskan penghidupan tanpa uang timbul dalam percakapan, orang cenderung memiliki bayangan yang berbeda-beda yang tergantung pada sejumlah faktor: kondisi hidup yang khas, keyakinan filosofis, kepercayaan mereka akan taraf teknologi yang berkelanjutan ataupun yang sesuai dengan kondisi masing-masing, ketergantungan baik yang disadari maupun tidak pada kenyamanan yang membarengi peradaban industri, dan apakah mereka hidup di perkotaan atau pedesaan. Perbedaan ini sangatlah positif, karena ekonomi tanpa uang seyogianya beragam, oleh faktor-faktor seperti kebutuhan, lahan, kebudayaan, dan iklim mikro setempat. Namun penting juga untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan di baliknya secara akurat.


20190813

The Moneyless Manifesto: Saatnya memilih kisahan baru? (Mark Boyle, 2012)

Yang saya coba sampaikan dalam bab ini adalah bahwa kesilapan kita dalam memaknai dirilah yang merupakan akar dari banyaknya krisis pribadi, sosial, dan ekologi yang kita alami kini, dan bahwa uang membantu memelihara dan memperkuat delusi ini.
Demi memiliki harapan dalam menguraikan permasalahan yang kita hadapi secara memadai, kita perlu menghadapi delusi akan keterpisahan yang telah menerobos dan merembesi pemaknaan diri kita secara fundamental. Demi menjaga tanah, masyarakat, dan pada akhirnya, diri egosentris kita dengan lebih baik, kita perlu bersambung kembali dengan pemahaman akan alam semesta yang saling bergantung. Demi melakukan ini kita perlu mempertanyakan dan meragukan kisahan-kisahan yang mendukung delusi kita. Musuh terbesar yang kita hadapi dalam berbuat demikian ialah alat pemisah itu, uang.
Uang merayapi dan menjiwai semua informasi budaya kita: hubungan kita, makanan kita, pendidikan kita, kesehatan kita, permainan kita, media kita. Lewat semua interaksi ini kita dihargai atas kemandirian dan konformitas kita. Kita didorong untuk hanya melihat harga, serta memutuskan hubungan dengan segala makna lain. Pikirkanlah pertempuran yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari kita—pertempuran antara integritas dan kemudahan, hasrat dan konformitas, rasa iba dan hiburan. Berapa sering uang menjadi faktor penentu dalam pertempuran-pertempuran ini? Ini semata bagian dari perang tanpa henti melawan pengalaman akan kemanunggalan, melawan pengalaman akan sifat liar kita. Kita diajarkan untuk menjinakkan diri supaya menjadi lebih baik dalam melayani institusi-institusi yang kita bangun—institusi-institusi yang sendirinya melayani uang.


20190806

Vladimiro Si Arab (Guillermo Fadanelli, 2006)

Vladimiro Pérez sebenarnya bukan pakar dunia Islam, walau ia suka menganggap dirinya demikian. Pada dasarnya ia bukan orang yang banyak bergerak dan tidak memiliki ambisi besar. Sudah lama ia tinggal bersama istri dan anak perempuannya di apartemen sederhana yang bukan milik sendiri. Apartemen yang terdiri dari beberapa ruangan kumuh itu ia sewa dengan separuh gajinya. Walaupun istrinya penyabar, wanita itu lelah mendengar suaminya mengutarakan pendapat pada isu yang sangat sedikit kaitannya dengan peri kehidupan keluarga Meksiko.

“Kita tidak akan pernah meninggalkan negara ini seumur hidup pun. Mengapa kita harus merisaukan masalah negara lain?”

“Jika ini persoalan kemanusiaan, maka ini persoalan kita juga,” sahut Vladimiro. Ia menanggapi komentar istrinya dengan raut datar. “Memangnya gringo[1] akan menolong kita bila kita diusir? Atau jangan-jangan kau tidak menganggap kita sebagai bagian dari kemanusiaan?” Vladimiro jengkel dengan celaan tak berotak itu. Ia tidak mengerti betapa mungkin orang memiliki pandangan dunia yang begitu sempit. Kenyataan bahwa orang menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk memeriksa bon di kantor yang sederhana atau memasak untuk anak-anak tidaklah mengecualikan orang itu dari peristiwa yang terjadi di Kashmir atau Afganistan. Demikianlah menurut Vladimiro Pérez. “Kita ini seperti tikus yang moncongnya tersangkut di lubang sarang yang kecil.”