Laman

20191227

The Moneyless Manifesto: Kepemilikan tanah (Mark Boyle, 2012)

Karena dibesarkan dalam peradaban modern, amatlah mudah untuk memercayai bahwa Bumi yang kita tinggali ini selalu ada yang memiliki, dan untuk hidup orang selalu harus memiliki uang. Itulah kebudayaan tempat kita dilahirkan, sehingga hanya itulah yang kita ketahui. Namun kepemilikan pribadi merupakan karangan manusia yang relatif modern. Dulu lahan bebas dijelajahi semua orang. Kemudian lahan dikelola bersama-sama oleh rakyat biasa. Sekarang lahan dimiliki oleh sedikit orang—1% memegang 70%[1] lahan.
Kisah tentang rakyat biasa dan lahan berpagar dibahas secara terperinci oleh penulis seperti Simon Fairlie[2]. Karena sebagian bahasan ini berkait dengan kehidupan tanpa uang, saya akan membicarakannya hanya sejauh yang berkaitan.
Hingga periode Tudor[3], sebagian besar lahan dikelola bersama-sama. Rakyat biasa mencari nafkah dari lahan ini serta memeliharanya bagi kepentingan mereka dan semua orang. Keputusan untuk memagari lahan ini mengakibatkan perpindahan banyak penduduk desa serta pengalihan lahan pertanian menjadi padang penggembalaan. Manusia pun digantikan oleh domba. Setelah beberapa lama, para pengungsi ini—kita—dipaksa untuk menjadi domba itu sendiri, harus angkat kaki ke kota-kota besar serta menyerahkan jiwa raga mereka bagi kemajuan revolusi industri.


20191220

The Moneyless Manifesto: Kecanduan industrialisasi (Mark Boyle, 2012)

Kecanduan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Perhatikan saja pecandu heroin atau alkohol untuk memahami betapa kecanduan dapat menguasai serta melemahkan orang. Pecandu alkohol yang menyadari bahwa mereka memiliki masalah mengetahui bahwa hidup mereka akan jauh lebih baik tanpa minuman keras. Sebagian besar pecandu alkohol mengetahui bahwa minuman keras merusak segala hubungan berharga dalam hidup mereka, sebagian bahkan mengetahui bahwa barang itu pada akhirnya akan membunuh mereka kecuali kalau mereka berhenti. Walaupun meminum alkohol tidak membahagiakan, mereka tetap tidak bisa menghentikannya.
Kini kita telah menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang tiada henti menjadikan planet Bumi tidak layak huni bagi 150-200 spesies setiap harinya (yang berarti hingga 73.000 spesies setahun, dan itu pun hanya spesies yang dikenali)[1], dan saya telah menunjukkan bahwa ini hanya dapat dipermudah dengan sarana seperti uang. Barangkali kita tinggal menunggu waktu untuk masuk ke dalam statistik tersebut, bukan berarti kita harus menganggap diri lebih penting daripada makhluk lainnya: Dodo, Macan Tasmania, Merpati Penumpang, burung Po’ouli, Badak Hitam Afrika Barat—daftarnya sungguh panjang. Walau demikian, kita juga menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tidak membahagiakan kita—orang yang selalu dahaga tidak pernah bisa dipuaskan.


20191213

The Moneyless Manifesto: Kebudayaan manusia kini (Mark Boyle, 2012)

Yang lebih kuat daripada hukum ataupun tentara ialah budaya. Ambil satu contoh. Berbagi itu bagus bagi kita pada taraf apa pun, demikian pula bagi kesehatan tuan rumah kita, tetapi itu tidak baik bagi makhluk yang kita sebut Ekonomi ini, binatang yang perlu terus-menerus diberi makanan yang semakin besar saja porsinya oleh semua politikus yang berambisi untuk tetap berkuasa. Bagi Ekonomi, berbagi merupakan musuh, berbagi pesaing dalam memperoleh makanannya, dan karena itu berbagi merupakan musuh bagi orang-orang yang besar rekening banknya bergantung pada pertumbuhan Ekonomi. Akan tetapi, polisi tidak bisa menjadikan berbagi sebagai tindakan ilegal, dan pemberi suara tidak akan menyambutnya. Alih-alih, para politikus, arsitek sosial, dan pemasar kita memilih jalur yang lebih halus, bersama-sama mereka menciptakan budaya di mana berbagi tidaklah ilegal, tetapi sangat tidak disukai. Inilah budaya yang mempersoalkan mengapa Anda mesti repot-repot berbagi hasil kerja keras Anda pada orang yang boleh jadi tidak bekerja sekeras Anda. Budaya kekurangan yang menjadikan Anda khawatir orang lain menangguhkan yang telah Anda pinjamkan padanya, atau tidak mengembalikan, sehingga Anda merasa ditipu. Budaya yang menyatakan bahwa jika Anda harus meminjam sesuatu, Anda tidak cukup sukses karena tidak memilikinya sendiri. Orang bersukarela menyesuaikan diri dengan budaya ketakutan, kekurangan, dan status demikian sehingga hukum tidaklah diperlukan.


20191206

Tiket Undian (Jonas Karlsson, 2007)


Begitu Patrik Ohlsson membuka lipatan tiket undian dan melihat nomornya untuk pertama kali, ia memerhatikan adanya ambiguitas yang menarik.
“Kemarilah lihat ini, Linn,” seru Patrik pada anaknya. Linn sedang berdiri di atas kotak trafo, berusaha meraih salah satu balon yang ditambatkan di situ untuk pesta di lapangan tempat penitipan anak. Beberapa anak lain berdiri di sekitarnya sambil menyoraki. Klara merenggut kaki Linn dan ingin naik juga sendirian. Dengan enggan, Linn merangkak turun dan menghampiri Patrik. Patrik menunjukkan tiket undian itu pada Linn.
Linn mengira nomor yang tertera di situ 66, namun ayahnya menerangkan bahwa sebetulnya itu 99. Linn melihat angka tersebut secara terbalik. Ayahnya membalikkan tiket itu ke atas, dan menerangkan kesalahpahamannya.
“Ini namanya palindrom angka.”