Laman

20210103

Rich Without Money - HASRAT MENGEMBARA (Tomi Astikainen, 2016)

Saat itu awal Maret dan aku sedang mengunjungi kampung halamanku di Finlandia. Aku berjalan menjauh dari Turku, sambil berusaha mencari tebengan ke rumah ibuku di Joutsa. Hari itu cerah lagi menyenangkan, tapi angin musim dingin membuat udara yang jauh-di-bawah-minus terasa cukup kering. Mobil-mobil yang melintas mengangkat salju dan awan debu ke udara.
Aku mencari tempat menebeng yang sempurna: halte bis tepat setelah lampu merah. Sekarang semestinya jadi mudah. Aku menaruh ransel di depanku, untuk mengirim pesan kepada para pengemudi bahwa aku pengelana yang bisa dipercaya dan bukan sekadar orang sembarangan yang mengacungkan jempol sembari tersenyum bak idiot.
Di papan tandaku cuma tertulis 20 km. Bertahun-tahun mengembara bikin aku malas mengubahnya tiap kali aku pergi ke tujuan baru. Lagi pula, selembar kertas kardus yang berharga ini telah membawaku lebih dari 200.000 km melintasi Eropa, Turki, Maroko, Meksiko, dan Amerika Tengah. Tiket perjalanan yang cukup hebat, kan?
Terlepas dari segala pengalaman itu, rasanya masih agak canggung berdiri di pinggir jalan. Sekarang ini bukan perilaku lumrah berusaha meminta orang yang sama sekali asing berhenti supaya kita bisa mengurung diri di ruangan tertutup bersama mereka.
Satu demi satu mobil menderu. Tiap tiga pengemudi, ada yang sedang bertelepon dan tidak memerhatikanku. Huh. Perbuatan itu kan melanggar hukum. Ada juga yang melambaikan tangan menyapa. Huh. Halo. Sangat sedikit yang mengilaskan senyum. Kebanyakan cuma melihat ke jalan atau lampu belakang mobil di depan mereka. Huh. Huh. Huh. Baru setelah lama ada pensiunan sopir taksi yang berhenti dan mengantarku sejauh lima kilometer yang luar biasa.
Proses menunggu yang sama memfrustrasikannya berlanjut di halte bis berikutnya. Dengan segera angin bertambah kencang. Tiap truk yang melintas hampir-hampir miring ke arahku dan mengangkat awan debu yang memenuhi mata dan lubang hidungku. Udara mulai dingin.
Aku mengeluarkan pakaian lagi dari ranselku dan menambah lapisan. Aku muak dengan tempat berangin. Pengunjung pompa bensin yang ramah menasihatiku untuk berjalan ke tempat yang lebih baik. Aku menurutinya.
Di sini juga tidak beruntung. Entah bagaimana agaknya sekarang ini menebeng semakin menantang. Mungkin karena cuaca sedang terlalu cerah. Biasanya menebeng saat musim dingin itu gampang sebab orang tahu kita akan membeku. Namun sekarang empatimeter menunjukkan warna merah. Aku lanjut berjalan kaki.
Akhirnya, di kejauhan, ada mobil yang berhenti. Aku berjalan lambat-lambat ke depan sebab aku tidak percaya mobil itu berhenti untukku. Meski begitu, mobil itu tetap di sana. Pengemudinya tampak menunggu sesuatu. Atau seseorang. Siapakah? Aku? Aku menapakkan kaki ke mobil itu. Jendela sampingnya terbuka.
“Masuklah! Saya bisa mengantarmu sampai persimpangan Jokioinen,” seru si pengemudi pria diiringi senyum di wajahnya. Aku pun masuk. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai “kulukumulukku” yang terjemahan bebasnya bajingan yang sering ke sana kemari. Dengan kata lain, dia sales representative yang pada dasarnya mencari nafkah dengan berkendara menemui klien. Ia senang punya teman di jalan yang sepi. Percakapan kami meriah.
Persimpangan tempat dia memberhentikanku tidak bagus buat menebeng. Aku harus berjalan sekitar lima kilometer, tanpa henti sampai Forssa. Kemudian aku memulung di tempat sampah pompa bensin dan menyambar makan siang untuk dibawa jalan: roti dan keju asap.
Tumpangan berikutnya aku dapatkan dengan bertanya ke sana-sini di pompa bensin. Akhirnya aku berpindah tempat dengan cara yang layak dan berhasil menempuh sejumlah jarak: Riihimäki. Centang! Lahti. Centang! Heinola! Sial! Aku mandek lagi, dan hari mulai gelap. Bagus.
Aku mengenakan rompi pemburu oranye menyala dan menghiasi diriku dengan reflektor seakan-akan aku ini pohon Natal. Aku mengisap rokok pemberian orang dan keputusasaan bertambah-tambah seiring dengan lekas menghilangnya terang.
“Tenanglah,” aku membatin, “ingatlah: kalau kamu mandek artinya akan segera ada kejadian menakjubkan.”
Seorang pemuda dalam mobil yang melintas meneriakkan kata-kata cabul, yang singkatnya memberitahuku akan pendapatnya soal menebeng kendaraan serta anggapannya akan orientasi seksualku. Memang menakjubkan sih.
Hampir saja aku menyerah dan tumbang di salju. Sebuah mobil berhenti. Ada pemuda lainnya yang membawaku dan mengantarku sampai ke tujuan. Tumpangan langsung! Nah inilah kejadian menakjubkan yang kunantikan tadi.

Tips untuk transportasi gratis:

 Perlawatan Ringan: Bersepeda, Menebeng, Bersantai
 Peregangan Berat: Kebebasan Menebeng Gratis
 Perjalanan Menakjubkan: Jalan Kaki Jarak Jauh



Teks asli dalam bahasa Inggris dapat diunduh di sini.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar