Laman

20210328

Surat Cinta (Megumi Fujino, 1999)

Diterjemahkan oleh Lynne E. Riggs

 

Kamu mungkin kaget mendapat surat ini. Tapi sudah lama aku memikirkan kamu.

            Ingat hari pertama SMA? Sakura sedang mekar. Rambutmu masih panjang sampai pinggang. Berombak-ombak ditiup angin, panjang dan hitam … indah sekali. Kelopak bunga merah jambu menari-nari di udara. Kamu tersenyum dan menyapa “Selamat pagi!”

            Aku mengingatnya dengan jelas.

            Cuma pada waktu itu kamu bicara padaku. Malah kita akhirnya sekelas, tapi kamu tidak pernah berkata apa-apa padaku lagi. Sekarang seperti yang lain-lainnya, kamu mengabaikanku.

            Aku tahu sebabnya, tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku tahu kenyataannya hatimu suci. Kamu lihat yang lain-lainnya mengatakan hal buruk, sehingga kamu kasihan padaku. Aku tahu, karena kamu orang yang lembut.

            Yang lain-lainnya itu, mereka benar-benar tidak mengerti. Mereka tidak mengerti apa-apa selain diri mereka sendiri—sehingga mereka bersemangat soal hal-hal remeh yang tolol di kelas atau di ekskul. Semestinya kamu tidak bersama para idiot itu. Kamu malaikat … malaikat yang terpeleset dari surga. Seperti itulah bayanganku ketika aku melihat kamu bersama yang lain-lainnya itu.

            Mungkin aku kelihatan seperti orang culun, tapi sejak ketemu kamu, aku menemukan malaikat yang ingin aku lindungi, seseorang yang bisa membuatku terbuka. Aku akan menyerahkan hidupku untuk mempertahankanmu—dari para utusan yang mungkin mau membawamu kembali ke surga juga para penjahat di dunia kotor ini yang mungkin mau menodaimu.

            Ketika aku merasa sengsara dan terluka, aku selalu ingat senyumanmu. Dengan begitu aku merasa kuat. Aku berharap bisa selalu ada di dekatmu. Malah, aku ingin supaya senyumanmu itu jadi milikku dan hanya untukku. Aku ingin kamu jadi milikku seorang.

            Tapi itu bukan alasan aku menulis surat ini. Karena mau memintamu jadi “pacar”ku atau apa—aku sangat benci hal begituan. Aku benci”cinta-cintaan” cowok-cewek yang dangkal itu—para idiot itu cuma meniru dari cerita-cerita di TV. Orang bersatu semestinya bukan sekadar lagak biar dilihat orang. Semestinya itu karena ada hubungan jiwa—ikatan sejati.

            Hanya saja aku mendengar tentang perceraian orang tuamu. Aku perhatikan kamu jadi kuyu, sehingga aku khawatir. Aku lihat kamu membalas dengan ceria seperti biasanya ketika diajak mengobrol oleh teman-temanmu. Kamu mengoceh dan bersenang-senang dengan mereka seperti biasanya. Tapi ketika kamu diam dan sendirian, kadang-kadang kamu terlihat seperti yang mau menangis …. Pada saat-saat seperti itu, tentu saja aku tidak bisa berkata apa-apa sama kamu, tapi aku tahu. Aku tahu kamu sedang berjuang dengan kesedihan, seorang diri.

            Ketika kamu merasa sedih seperti itu, mungkin akan menghibur dengan mendengarkan “Don’t’ Cry” dari Kirara Kanbayashi, lagu tema dari drama Angel of Love: Magical Angela. Mungkin itu bisa memberimu sedikit kekuatan.

            Malaikat terlihat paling cantik ketika tersenyum, jadi aku berharap kamu segera mengatasi kesedihanmu dan bisa tersenyum lagi seperti sedia kala. Bukan hanya senyum terpaksa yang kamu tunjukkan ketika kamu bersama teman-temanmu, tapi senyuman sejati yang berasal dari hati.

            Lagi pula, satu-satunya pancaran cahaya buatku adalah senyumanmu.

            Sampai ketemu di sekolah.

 

=

 

Ketika aku melihat surat itu, aku nyaris tercekik. Lagian, pengirimnya si “Ubur-ubur”. Tentu saja Ubur-ubur itu nama panggilan. Semua orang menyebut dia begitu karena sewaktu bimbingan karier dia menjawab “ubur-ubur” ketika ditanya mau jadi apa di masa depan. Itu bukan karena yang lain menganggap dia menarik atau lucu. Justru sebaliknya—dia sasaran ideal untuk ditindas.

            Jadi begitu aku menemukan surat dari si Ubur-ubur dalam loker sepatuku di pintu masuk sekolah, aku pikir, masak sih, jangan bercanda ah—jangan mengganggu hidupku juga dong!

            “Apa tuh? Surat cinta?” Yukari, yang selalu pulang bareng aku, menyambar surat itu, mengambilnya dari tanganku. Lantas, setelah melihat nama pengirimnya, ia meringis.

            “Iyuh! Ubur-ubur? Ngeri deh!”

            “Apa-apaan sih dia ini?” Mami mendengus. “Berani-beraninya dia naksir Kanako! Bayangkan saja! Dia enggak sadar, ya! Enggak tahu diri banget dia sama Kanako!”

            Dan ia pun menyambung, “Itulah anehnya otaku; mereka terkurung di dunianya sendiri dan sama sekali enggak memikirkan perasaan orang lain. Dia enggak bisa peka, ya?”

            Mami memeluk dirinya sendiri lalu bergidik jijik.

            “Iya, orang yang enggak memikirkan perasaan orang lain itu orang yang paling buruk,” kata Yukari. “Enggak heran orang begitu enggak ada yang suka!”

            Aku setuju dengan mereka. Si Ubur-ubur asyik sekali bicara soal anime, tapi tidak seorang pun yang tertarik. Tapi ketika yang lain-lainnya mengobrolkan acara TV atau musik yang disukai semua orang, ia bengong saja.

            Kalau aku, aku berusaha mendengarkan para penyanyi populer yang tidak betul-betul kusukai supaya aku siap ketika pergi karaoke bersama teman-temanku. Aku menonton acara-acara drama TV membosankan yang aku sama sekali tidak tertarik supaya aku bisa menyesuaikan dengan obrolan di sekolah. Tapi si Ubur-ubur tidak mau melakukan yang seperti itu. Padahal orang harus mengikuti yang dilakukan semua orang supaya bisa diterima, tapi dia tidak mau berusaha—sehingga mereka menggoda dan menindas dia sehingga hidupnya menderita. Memangnya mau apa lagi dengan orang yang tidak mau berusaha bergaul dengan yang lain?

            “Kanako, suratnya mau kamu apakan? Apa kita buang saja?”

            Yukari melambai-lambaikan surat itu, menjepitnya penuh penghinaan dengan ujung jari.

            “Eh, jangan! Jangan buang di sini! Bisa-bisa nanti ada yang menemukannya! Aku bawa pulang saja nanti kusobek.” Aku mengambil kembali surat itu dari Yukari dan memasukkanya ke tas. “Sudahlah. Mau ke mana kita pulang nanti? Kalau aku, aku mau yoghurt beku!”

            Maka kami pun mampir ke toko yoghurt beku, dan baru larut malam itu aku membaca surat si Ubur-ubur. Setelah aku pulang, mandi, dan selagi menonton TV sambil mengeringkan rambut, aku ingat harus menyiapkan kamus buat di kelas besok—dan aku pun menemukan surat itu lagi di tas.

            Aku kebetulan saja mulai membacanya, tapi setelah membaca terus, aku merasa … aku tidak bisa menjelaskannya, tapi aku merasa hatiku seperti yang dicengkeram. Kok dia bisa tahu? Rasanya seperti … segala hal yang selama ini bergolak-golak di kepalaku—dia bisa menguraikan semuanya, seterang siang, secara beruntun.

            Memang benar. Aku tidak bisa membicarakan tentang perceraian orang tuaku kepada temanku yang mana pun. Apa yang menggangguku bukanlah hal yang bisa benar-benar dibicarakan bersama teman-teman sekelas, dan aku tidak mau merusak kesenangan bersama mereka dengan membeberkan soal yang sangat serius atau berat.

            Sebagian orang ingin punya “sahabat” yang tahu segalanya tentang mereka, tapi buatku itu berlebihan. Kurasa aku memang berharap ada orang yang sungguh-sunggguh memahami yang kurasakan dan bahkan memerhatikannya. Meski begitu, cewek-cewek yang selalu bergaul bersamaku ini cuma untuk bersenang-senang di sekolah. Kalau mengenal satu sama lain terlalu dekat, rasanya jadi lebih sulit untuk bergaul.

            Kenyataan bahwa si Ubur-ubur selama ini mengamatiku membuatku merasa seram—seperti yang dia ini penguntit atau semacam itu—tapi aku juga sedikit gembira. Rasanya cukup menyenangkan karena si Ubur-ubur pikir aku ini istimewa, dan menakjubkan juga karena dia memerhatikan betapa sedihnya perasaanku.

            Masalah di antara orang tuaku—membuatku memikirkan tentang hal-hal yang dapat menyatukan orang … cinta, atau apa pun itu. Tapi aku tidak bisa membayangkan memberi tahu Yukari dan cewek-cewek lainnya—bakal terlalu memalukan. Kami tidak mengobrol soal yang begitu.

            Aku mulai merasa mungkin enak mengobrol panjang lebar dengan si Ubur-ubur. Tapi tentu saja aku tidak akan pernah melakukannya. Lagian, kelihatan bareng dia sebentar saja akan menyisihkan aku ke sana, ke dunianya yang bermasalah dan terasing. Dan aku tidak akan bisa berada di dunia yang sama dengan teman-temanku lagi.

            Bahkan sekalipun aku bicara padanya, aku akan jadi sendirian sama sekali. Aku mungkin pergi ke sekolah, tapi saat melihat teman-temanku berkumpul tertawa meriah karena suatu hal, lalu bergabung bersama mereka, suasananya bakal tiba-tiba berubah. Mereka bakal jadi diam, memberiku tatapan dingin seolah-olah aku ini orang asing, dan lantas mereka meninggalkanku. Aku tidak akan sanggup menanggungnya—mati sajalah kalau aku harus makan siang sendirian di sekolah!

            Maka, sekalipun sudah membaca surat itu, aku tidak mau bersinggungan dengan si Ubur-ubur. Kupikir tidak ada yang bisa aku lakukan untuk lebih mengenal dia. Di sekolah, Yukari menanyaiku—sengaja keras-keras, supaya si Ubur-ubur bisa mendengar yang kami katakan—“Suratnya kamu apakan?” dan aku pun menjawab, “Aku buang di tempat sampah, tentu saja enggak kubuka.”

 

=

 

Kenapa aku bilang begitu?! Sebenarnya, aku menghargai surat itu, dan berhati-hati menyimpannya di laci tempat aku menaruh barang-barang penting. Ketika Yukari menanyaiku tentang surat itu, aku menjawabnya tanpa berpikir. Mau sesering apa pun aku menyesali perkataanku, aku tidak bisa menelannya kembali. Hari itu, kalau saja aku bisa lebih … lebih ….

            Sekarang, kapan pun aku merasa ingin menangis, aku membaca surat itu, dan aku pun selalu merasa membaik. Ketika membaca surat itu, aku merasa bersama si Ubur-ubur.

            Tidak ada orang lain yang pernah menyebutku dengan malaikat atau menganggap aku orang yang baik atau lembut. Karena surat itu, betapapun sedih atau putus asanya perasaanku, aku bisa kembali bersemangat. Aku bisa berusaha untuk tersenyum lagi.

            Bahkan sekarang, setelah si Ubur-ubur pergi dan bunuh diri, aku terus maju. Aku tetap tersenyum.[]

 

Megumi Fujino pengarang yang tinggal Osaka ini menulis bacaan untuk anak-anak dan dewasa muda, misteri, serta fiksi roman. Karya debutnya, Neko mata yokaiden (Kisah Monster Nekomata) diterbitkan pada 2004.

 

Lynne E. Riggs penerjemah profesional yang tinggal di Tokyo. Ia anggota aktif Society of Writers, Editors, and Translators serta mengajar penerjemahan Bahasa Jepang-ke-Bahasa Inggris di International Christian University. Karya terjemahan fiksinya mencakup Kiki’s Delivery Service oleh Eiko Kadono serta School of Freedom oleh Shishi Bunroku. www.cichonyaku.com


Cerpen ini diterjemahkan dari "Love Letter" dalam Tomo: Friendship Through Fiction—An Anthology of Japan Teen Stories, disunting dan diberi kata pengantar oleh Holly Thompson, diterbitkan oleh Stone Bridge Press, California, edisi pertama, 2012. Judul asli "Rabu Retta" dalam Shukan shosetsu (5 Maret 1999), Jitsugyo no Nihon Sha.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar