Laman

20210801

Rich Without Money - CINTA MENGATASI TAKUT (Tomi Astikainen, 2016)

Setelah 36 jam yang menyiksa dengan menebeng kapal angkut, akhirnya kami mencapai Roatan, pulau surga di Honduras. Kami memenuhi kebutuhan hidup sebagian besar dengan roti putih dan ayam tumbuk, makanan yang sepertinya dimakan warga setempat setiap hari. Entah aku habis mengunyah makanan yang tidak layak atau perutku saja yang tidak cocok dengan diet yang tak sehat ini.[1] Perutku bergeluduk seperti mesin pengering pakaian, seakan-akan menjerit minta sayuran hijau. Tidak sempat. Seperti orang bilang, pengemis tidak bisa jadi pemilih.
Kami menebeng mengitari pulau itu dan berangan-angan menyelam di perairan berwarna pirus. Tapi kali ini itu tetaplah angan-angan. Diare parah menyerang dan menguras energiku. Aku tidak bisa beraktivitas. Cuma istirahat, istirahat, dan istirahat.
Selama beberapa hari, aku mengerang kesakitan, minum banyak air, dan berusaha supaya tidak kena dehidrasi karena panas. Kami menghabiskan satu malam di stasiun pemadam kebakaran setempat. Makan malam, mandi, dan tidur di ruangan ber-AC agak menyegarkan setelah bermalam-malam di luar, tapi kesakitan fisik itu menetap.
Aku sudah terbiasa dengan diare yang sesekali dialami pengembara, dan aku tahu pada suatu waktu ini akan berhenti. Tapi, kali ini, sakitnya benar-benar parah dan aku perlu mendapatkan solusi. Teman seperjalananku yang kusayangi menanyakan kalau-kalau ia boleh menggunakan beberapa dolar miliknya untuk membeli obat. Atau akankah itu melanggar prinsipku? Aku terlalu lemah untuk menolak.
Aku berbaring di pantai, tanpa daya, sementara ia pergi mencari obat. Ia mendapatkannya di pusat informasi turis, di bawah konter. Kami tidak tahu obat apa itu, tapi aku telan saja dengan beberapa sendok bubur gandum lalu tidur.
Paginya, aku merasa agak membaik. Aku buang air besar di kamar mandi sebuah pujasera. Masih cairan berbau busuk. Aku hendak bangkit dari dudukan toilet saat jantungku benar-benar berhenti berdegup dan kakiku tak dapat menopangku. Aku jatuh ke lantai, seraya memegangi dadaku dan megap-megap. Serangan jantung ringan, sepertinya.
Ini buruk. Dengan ketakutan, aku cuma bernapas di lantai selama 20 menit sebelum aku berani bangun. Air mata mengaliri pipiku saat aku menyadari betapa bisa saja aku tadi mati, jauh dari orang-orang paling penting dalam hidupku.
Aku berusaha merasionalisasi peristiwa barusan. Satu-satunya kambing hitam yang dapat kupikirkan adalah tiga dekade kebiasaan hidup tidak sehat, tidak memprioritaskan kesehatanku, serta obat mencurigakan semalam.
Aku bertahan hidup tapi merutuki kelemahanku: kenapa aku mencari jalan keluar yang mudah alih-alih menunggu penderitaan itu berhenti dengan sendirinya?

Tips untuk kesehatan dan keselamatan:

 Sedikit Keselamatan: Meminta Bantuan tanpa Malu
 Dinding Penyelamat: Kepercayaan adalah Asuransi Terbaik Kita
 Keselamatan Sepenuhnya: Menerima Kematian



[1] Baru bertahun-tahun kemudian saya mengetahui bahwa saya ada semacam alergi gandum atau intoleransi gluten. Ini juga semestinya tidak akan terus terjadi.




Teks asli dalam bahasa Inggris dapat diunduh di sini.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar