Laman

20140413

Fabel-fabel James Thurber (II)

Ngengat dan Bintang

Satu ketika seekor ngengat muda yang masih rentan membulatkan tekadnya untuk menggapai bintang. Ia memberitahu ibunya yang lantas menasihatinya untuk mengalihkan tujuannya pada lampu saja. “Bintang itu bukan tempat untuk keluyuran,” kata ibunya; “lampu itulah tempatnya keluyuran.”

“Dengan begitu kau bisa sampai ke tujuanmu,” kata ayah ngengat. “Kalau mengejar bintang kau tidak akan sampai ke mana-mana.”

Tapi ngengat itu tidak mengindahkan perkataan kedua orangtuanya. Setiap malam menjelang, ketika bintang itu muncul, ia memulai penerbangannya menuju ke sana. Dan saat fajar menyingsing, ia merayap pulang dalam keadaan letih akibat upaya kerasnya yang sia-sia.

Satu hari ayahnya berkata, “Sudah berbulan-bulan ini tak selembar pun sayapmu yang terbakar, nak, dan sepertinya tidak bakalan sama sekali. Semua saudaramu yang laki-laki sudah terbakar habis selagi mengitari lampu jalanan, sedang saudara-saudaramu yang perempuan pada gosong selagi mengitari lampu-lampu rumah. Ayolah, sekarang, hanguskan dirimu! Kau ini ngengat yang besar dan kuat tapi tidak ada apa-apanya!”

Si ngengat meninggalkan rumah ayahnya, tapi ia tidak hendak mengitari lampu jalanan ataupun lampu-lampu rumah. Ia terus berusaha untuk mencapai bintang, yang jauhnya empat sepertiga tahun cahaya, atau dua puluh lima juta mil. Ngengat itu pikir bintang letaknya hanya di puncak ranting pohon. Ia tidak pernah berhasil mencapai bintang, namun ia terus berusaha, malam demi malam. Ketika usianya telah lanjut, ia mulai menganggap bahwa dirinya terlah berhasil mencapai bintang. Ia pun berkeliling menceritakannya. Ia mendapatkan kepuasan yang mendalam dan tak terhingga, dan ia hidup sampai usia yang teramat tua, sementara orangtua dan saudara-saudaranya telah mati terbakar ketika mereka masih sangat muda.

Moral: Dia yang menjauhi penderitaan akan hidup untuk seterusnya.



Musang Cinta Damai

Suatu hari di negeri kobra lahir seekor musang yang tidak mau memusuhi kobra atau apapun lainnya. Kabar menyebar dari musang ke musang bahwa ada seekor musang yang tidak mau memusuhi kobra. Kalau ia tidak ingin memusuhi apapun juga, itu urusannya, tapi adalah tugas setiap musang untuk menumpas kobra atau merekalah yang akan ditumpas kobra.

“Kenapa?” tanya si musang cinta damai, dan kabar beredar bahwa si musang baru yang aneh ini tidak hanya pro-kobra dan anti-musang tapi juga secara intelektual mempertanyakan dan menyerang cita-cita dan tradisi daripada musangisme.

“Dia sinting,” raung ayah si musang muda.

“Dia sakit,” kata ibunya.

“Dia pecundang,” seru saudara-saudara lelakinya.

“Dia musangseksual,” desis saudara-saudara perempuannya.

Musang-musang tak dikenal yang tak pernah pasang mata pada si musang cinta damai ingat bahwa mereka menyaksikannya merayap dengan perutnya, atau mencoba-coba mengenakan tudung kepala kobra, atau diam-diam merencanakan kudeta terhadap pemerintahan Musangnesia. 

“Aku hanya mencoba untuk menggunakan akal sehat dan inteligensiku,” kata si musang baru yang aneh itu.

“Akal itu sebagian daripada pengkhianatan,” ujar salah satu tetangganya.

“Yang suka menggunakan intelijen adalah musuh,” kata yang lain.

Akhirnya, gunjingan tersebar bahwa si musang memiliki sengat yang berbisa, seperti kobra. Ia pun diadili dan sebagai hukumannya ia dikucilkan.

Moral: Abu menjadi abu, tanah menjadi tanah. Kalau bukan musuh yang melawanmu, boleh jadi bangsamu sendiri yang akan melakukannya.



Kelinci-kelinci Biang Masalah

Dalam kenangan seorang anak bungsu, tinggallah sekeluarga kelinci tak jauh dari sekumpulan serigala. Para serigala mengumumkan bahwa mereka tidak menyukai cara hidup kelinci-kelinci itu. (Para serigala tergila-gila dengan cara hidup kaum mereka sendiri, karena begitulah satu-satunya cara mereka untuk hidup.) Suatu malam beberapa serigala tewas akibat gempa bumi dan para kelinci yang disalahkan, lantaran telah diketahui bahwa kelinci-kelinci suka menggaruki tanah dengan kaki belakang mereka sehingga menyebabkan gempa bumi. Pada malam yang lain salah satu serigala tewas akibat sambaran petir dan lagi-lagi para kelinci yang disalahkan, lantaran telah diketahui bahwa memakan selada dapat menyebabkan petir. Para serigala mengancam akan memperadabkan para kelinci apabila mereka tidak menjaga kelakuan. Para kelinci memutuskan untuk melarikan diri ke sebuah gurun. Tapi hewan-hewan lainnya, yang tinggal di kejauhan, membuat mereka malu dengan mengatakan, “Tetaplah tinggal di tempat kalian dan jadilah berani. Dunia bukan tempat bagi mereka yang suka melarikan diri. Kalau para serigala menyerang kalian, kami akan datang membantu kalian, kemungkinannya.” Jadilah para kelinci kembali tinggal di dekat serigala-serigala. Suatu hari terjadi banjir besar yang menenggelamkan banyak sekali serigala. Para kelinci yang disalahkan, lantaran telah diketahui bahwa para pengerat wortel bertelinga panjang itulah yang menyebabkan banjir. Para serigala menghampiri kelinci-kelinci, demi kebaikan mereka sendiri, dan memenjarakan mereka di dalam gua yang gelap, demi keamanan mereka sendiri.

Ketika sampai berminggu-minggu tidak ada kabar sama sekali dari para kelinci, hewan-hewan lainnya menuntut penjelasan atas apa yang telah terjadi pada mereka. Para serigala menjawab bahwa kelinci-kelinci itu telah dimakan dan karena mereka telah dimakan maka persoalan yang tersisa murni urusan internal. Namun hewan-hewan lainnya memperingatkan bahwa mereka boleh jadi akan bersatu melawan para serigala kecuali ada alasan di balik pembinasaan para kelinci. Serigala-serigala itupun menyampaikan, “Mereka berusaha untuk melarikan diri,” kata mereka, “dan, sebagaimana kalian telah ketahui, dunia bukan tempat bagi mereka yang suka melarikan diri.”

Moral: Larilah, jangan berjalan, ke gurun terdekat.



Alih bahasa dari fabel-fabel James Thurber: "The Moth and the Star"; "The Peacelike Mongoose", dan; "The Rabbits who Caused All the Trouble"

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar