Laman

20140406

Fabel-fabel James Thurber

Gadis Kecil dan Serigala

Suatu sore, di dalam hutan yang gelap seekor serigala besar menunggu kedatangan gadis kecil yang membawa sekeranjang makanan untuk neneknya. Akhirnya sang gadis kecil datang juga, dan ia membawa sekeranjang makanan.

“Apakah kamu membawa keranjang itu untuk nenekmu?” tanya serigala.

Sang gadis kecil berkata, ya.

Serigala pun bertanya di mana neneknya tinggal.

Sang gadis kecil memberitahunya. Serigala itu pun menghilang ke dalam hutan.

Ketika sang gadis kecil membuka pintu rumah neneknya, ia melihat ada satu sosok di tempat tidur yang mengenakan topi dan gaun tidur. Ia berjalan mendekat. Namun tidak sampai sembilan meter jaraknya dari tempat tidur, ketika ia menyadari bahwa sosok itu bukanlah neneknya melainkan serigala. Bahkan dengan topi tidur itu si serigala lebih tidak mirip nenek-nenek ketimbang singa di Metro-Goldwyn dengan presiden Amerika Serikat ke-30.

Sang gadis kecil menarik senapan dari keranjangnya dan menembak mati serigala.

Moral: Tidak begitu mudah untuk menipu gadis-gadis sekarang ini sebagaimana dahulu.



Singa yang Ingin Menjulang

Dahulu ada seekor singa yang rela memberikan apapun demi sepasang sayap elang. Ia pun mengirim pesan pada elang, meminta burung nan termasyhur itu untuk datang dan menemui sang raja binatang. Ketika elang mendarat di muka sarang singa, binatang yang disebut belakangan itu berkata, “Mari kita membuat persetujuan. Kutukar suraiku dengan sayapmu.”

“Yang benar saja, bung.”

“Memangnya kenapa?” ujar singa. “Aku juga tidak bisa terbang, tapi itu tidak menghalangiku untuk menjadi rajanya binatang. Aku menjadi rajanya binatang karena suraiku yang mengagumkan ini.”

“Baiklah,” kata elang, “tapi berikan dulu aku suraimu.”

Elang pun mendekat. Dengan cakarnya yang besar, singa merobohkan elang dan menjepitnya di tanah. “Sekarang cepat berikan sayap itu padaku!” geramnya murka.

Singa pun merampas sayap elang dan tidak jadi memberikan surainya. Sesaat elang sangat putus asa dan kecil hati, tapi kemudian ia mendapatkan ide. “Aku bertaruh kau tidak bisa terbang dari puncak batu besar di sebelah sana,” kata elang.

“Huh, aku?” ujar singa.

Ia pun berjalan ke puncak batu dan terjun. Bobotnya terlalu berat bagi sepasang sayap elang itu untuk dapat menahannya. Di samping itu ia tidak tahu caranya terbang, tidak pernah mencobanya sebelumnya. Remuklah ia di kaki batu. Cepat-cepat elang turun dan mengambil kembali sayapnya, mencopot surai milik singa, lalu mengenakannya di leher dan bahunya sendiri.

Terbang pulang ke sarang berbatu tempatnya tinggal bersama pasangannya, ia ingin bermain-main dulu dengan betina itu. Maka, tersamarkan oleh surai singa, ia mengulurkan kepalanya ke dalam sarang dan dengan suara yang tinggi dan mengerikan ia meraung, “Hauuuummmm!”

Pasangannya, yang bagaimanapun juga sangat ketakutan, mencaplok pistol dari laci pakaian dan menembaknya sampai mati, mengira ia seekor singa.

Moral: Jangan pernah biarkan perempuan yang ketakutan memegang pistol, terlepas dari apapun yang sedang Anda kenakan.


  
Burung Cendet dan Sepasang Tupai

Pada suatu masa hiduplah sepasang tupai, jantan dan betina. Tupai jantan pikir menata biji-bijian menjadi susunan yang artistik itu lebih menyenangkan ketimbang sekadar menumpuknya sebanyak-banyaknya. Bagi tupai betina, semuanya itu untuk ditumpuk saja sebanyak-banyaknya. Ia memberitahu suaminya, kalau suaminya itu berhenti membuat konstruksi dari biji-bijian, akan ada cukup ruang dalam liang mereka yang besar itu untuk menimbun lebih banyak lagi biji-bijian dan ia akan menjadi tupai terkaya di hutan. Tapi ia tidak ingin istrinya mencampuri urusannya, sehingga istrinya menjadi sangat marah dan meninggalkannya. “Burung cendet akan menangkapmu,” ucapnya,” karena kamu lemah dan tidak bisa mengurus dirimu sendiri.” Pastinya, tupai betina tidak pergi tiga malam sampai suaminya mesti menghadiri pesta dan tidak bisa menemukan di mana kancingnya, kemejanya, atau ikat pinggangnya. Ia pun tidak jadi pergi ke pesta, namun itu tidak mengapa, sebab semua tupai yang pergi ke sana dijerat dan dibunuh oleh musang.

Hari berikutnya seekor burung cendet mulai bertengger di muka liang tupai, menunggu kesempatan untuk melahapnya. Burung bentet itu tidak bisa masuk karena pintunya tersumbat pakaian dan perabotan kotor. “Dia akan keluar untuk jalan-jalan setelah sarapan lalu aku akan menangkapnya,” pikir burung cendet. Tapi tupai itu tidur sepanjang hari dan tidak bangun serta sarapan sampai hari sudah gelap. Barulah ia keluar untuk menghirup udara segar sebelum mulai mengerjakan konstruksinya yang baru. Burung cendet menukik ke bawah untuk menyabet tupai, tapi tidak bisa melihat dengan jelas karena gelap. Kepalanya menghantam dahan dan ia pun mati.

Beberapa hari kemudian tupai betina kembali dan mendapati betapa kacau isi rumahnya. Ia pergi ke tempat tidur dan mengguncang-guncang suaminya. “Bisa apa kamu tanpa diriku?” tuntutnya.

“Terus melanjutkan hidup, kurasa,” jawab suaminya.

“Kamu tidak akan bertahan sampai lima hari,” tukas si istri. Ia menyapu rumah, memasak makanan, dan pergi ke binatu, lalu menyuruh suaminya bangun, mandi, dan berpakaian. “Kamu tidak akan sehat kalau hanya berbaring di tempat tidur sepanjang hari, dan tidak pernah berolahraga,” ujarnya.

Ia membawa suaminya berjalan-jalan di bawah siraman cahaya yang cerah, lalu keduanya disambar dan dibunuh oleh saudara si burung cendet, yakni seekor burung cendet bernama Si Bungkuk.

Moral: Lekas bangun dan lekas tidur dapat membuat orang sehat, kaya, dan mati. 



Alih bahasa dari fabel-fabel James Thurber: "The Little Girl and the Wolf"; "The Lion who Wanted to Zoom", dan; "The Shrike and the Chipmunks

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar