Laman

20140527

Aku Dulu Pernah Tinggal di Sini (Jean Rhys, 1976)

Ia berdiri di dekat sungai. Menatap batu-batu pijakan, masing-masing diingat-ingatnya. Di tengah ada satu batu bundar yang goyah, meruncing, dan datar—batu yang aman tempat kau bisa berdiri dan melihat-lihat. Batu yang selanjutnya tidak begitu aman ketika sepanjang sungai sedang dipenuhi aliran air. Bahkan ketika tampaknya kering, batu itu tetap licin. Namun setelahnya tidak sulit. Segera ia sampai di seberang.

Jalan  tersebut lebih lebar ketimbang dahulu, namun dikerjakan secara asal-asalan. Pepohonan yang tumbang tidak dibersihkan. Semak belukar tampak terinjak-injak. Namun ini masih jalan yang sama. Ia menapakinya dengan kegembiraan yang luar biasa.
               
Hari yang indah, hari yang biru. Hanya saja langit terlihat seperti kaca. Hanya itu kata yang terpikirkan olehnya. Seperti kaca. Ia berpaling ke sudut jalan. Ia lihat jalan berbatu yang lama telah dibongkar. Di sana juga ada jalan yang lebih lebar, tapi tampaknya sama-sama belum selesai.

Ia sampai di batu pijakan yang telah aus, yang menuju ke rumah itu. Jantungnya mulai berdebar. Semak pandannya sudah tidak ada, begitupun rumah musim panas buatan yang disebut ajoupa. Tapi pohon cengkihnya masih ada di sana.  Rerumputan tinggi terbentang di puncak anak tangga, sebagaimana diingatnya. Ia berhenti dan memandang ke arah rumah yang telah diperbesar dan dicat putih. Rasanya aneh mendapati mobil di depan rumah itu.
               
Ada dua orang anak di bawah pohon mangga, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan kecil. Ia melambai pada mereka dan memanggil “Halo” tapi mereka tidak menanggapi maupun menoleh. Anak-anak yang tampak begitu terang, sebagaimana lazimnya keturunan Eropa di Hindia Barat: seolah kulit putih telah menegaskan keberadaan mereka di lingkungan yang asing.
               
Rumput menguning dalam sinar mentari yang panas, seiring ia melangkah ke arah mereka. Ketika sudah agak dekat ia memanggil lagi, dengan malu-malu: “Halo.” Lalu, “Aku dulu pernah tinggal di sini,” ia berkata.
               
Masih mereka tidak menanggapi. Ketika ia berkata untuk ketiga kalinya “Halo?” ia sudah sangat dekat dengan mereka. Secara naluriah, tangannya menggapai. Ingin untuk menyentuh mereka.
               
Si anak laki-laki berpaling. Mata yang kelabu itu memandang lurus-lurus ke arahnya. Ekspresinya tidak berubah. Ia berkata: “Mendadak dingin enggak sih, kamu ngerasa enggak? Masuk yuk.” “Ya, ayuk,” kata anak yang perempuan.
               
Tangannya jatuh ke samping, seiring ia memandangi mereka berlari melintasi rumput menuju rumah. Itulah pertama kalinya ia menyadari.[] 



Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar