Laman

20140606

Semangat Bersaing (Fernando Sorrentino, 1972)

Aku tinggal di sebuah bangunan apartemen di Jalan Paraguay. Di tempat itu semangat bersaing antar penghuninya sangat tinggi.

Sejak lama persaingan di antara mereka hanya sebatas dalam memiliki piaraan. Anjing, kucing, kenari, atau kakatua. Binatang paling eksotis yang pernah ada di antara mereka paling-paling tupai atau kura-kura. Aku sendiri memiliki anjing gembala Jerman yang bagus bernama Joey. Ukurannya hanya sedikit lebih kecil daripada apartemen kami. Selain Joey, ada pula seekor laba-laba cantik dari spesies Lycosa pampeana yang tinggal bersamaku dan istriku. Belum ada orang lainnya yang tahu soal ini.

Suatu pagi, tepat pada pukul satu, aku sedang memberi makan piaraanku ketika tetangga dari 7-C bertamu. Ia hendak meminjam koranku sebentar dengan alasan yang membingungkan. Aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Setelahnya, tanpa tanda-tanda akan pergi, ia berdiri saja dalam waktu yang lama sambil tangannya memegangi koranku. Rupanya ia sedang memandangi Gertrude dengan terpesona. Ada sesuatu dalam tatapannya itu yang membuatku merinding. Semangat bersaing.

Keesokan harinya ia mampir untuk memamerkan seekor kalajengking yang baru dibelinya. Di lorong, pembantu orang yang tinggal di 7-D menyimak percakapan kami soal umur, kebiasaan, serta pakan laba-laba dan kalajengking, juga soal kutu. Sore itu juga majikannya memperoleh kepiting.

Selama seminggu ke depan, tidak ada hal yang menarik untuk dicatat. Sampai suatu malam, kebetulan saja aku berada di lift bersama salah seorang tetangga yang tinggal di lantai tiga. Ia seorang perempuan berambut pirang yang tampak lesu, tatapannya seperti melamun. Ia membawa sebuah dompet kuning yang besar. Beberapa bagian pada ritsletingnya telah rusak. Sebentar-sebentar, ada kepala mungil yang menjulur ke luar melalui salah satu lubang pada ritsletingnya itu. Seekor kadal kuning keemasan.

Siang berikutnya, sewaktu baru kembali dari berbelanja, aku tersandung seekor beruang semut besar (atau bisa juga disebut sebagai pemakan semut) yang baru diturunkan dari truk di depan kantor penjaga pintu apartemen. Bawaanku sampai nyaris terlempar dari tanganku. Salah seorang penonton yang berkerumun mencomel dengan suara yang cukup keras hingga dapat didengar, bahwa beruang semut itu sebetulnya bukanlah beruang sungguhan. Seorang wanita tampak terkejut mendengar hal itu. Lalu dengan tubuh gemetaran ia berlari ke apartemennya untuk mencari tempat bersembunyi. Aku tidak melihat wanita itu menampakkan dirinya lagi sampai beberapa hari kemudian. Ia muncul untuk menandatangani tanda terima dari petugas pengiriman barang. Mereka baru saja membawakannya seekor beruang cokelat Amerika.

Kini situasiku menjadi tidak tertahankan lagi. Para tetangga mengabaikan sapaanku. Tukang daging menolakku berutang. Tiap hari ada orang tak bernama yang mengirimkanku surat berisi kata-kata penghinaan. Ketika istriku mengancamku dengan perpisahan, akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak bisa lebih lama lagi menanggung seekor Lycosa pampeana yang remeh bahkan untuk seharipun. Akupun menjalani serentetan kerepotan yang tak pernah kualami sebelumnya. Aku meminjam uang dari beberapa teman. Aku menjadi hemat tak terperikan. Aku berhenti merokok bahkan…. Dengan begini aku dapat membeli seekor macan tutul paling mengagumkan yang dapat dibayangkan. Segera orang di 7-C yang selalu mengikuti jejak langkahku itu mencoba untuk mengalahkanku dengan seekor jaguar. Walaupun tampaknya itu mustahil, namun ia berhasil.

Yang paling menyakiti hatiku adalah berurusan dengan orang-orang yang kekurangan sensitivitas artistik. Orang-orang yang tidak menghargai kualitas, melainkan semata kuantitas. Tak satupun tetangga yang membungkuk hormat di hadapan macan tutulku yang teramat anggun itu. Akal mereka telah digelapkan oleh besarnya ukuran si jaguar. Seketika itu juga, terpengaruh oleh hawa sombong yang diedarkan oleh si pemilik jaguar, seluruh tetangga mengerahkan diri untuk memperbarui piaraan mereka. Aku mesti terima bahwa macan tutulku yang biasa-biasa saja tidak lagi memberiku kedudukan yang sebelumnya kumiliki.

Akibat percakapan diam-diam di telepon antar istriku dan seorang pria yang tak kuketahui namanya, aku kesulitan mengubah satu-satunya alternatif yang ada. Tanpa penyesalan yang mendalam pada apapun, aku menjual perabotan, kulkas, mesin cuci, dan alat pembersih lantai. Aku bahkan menjual televisiku. Dalam waktu singkat, aku menjual apapun yang bisa dijual. Lalu aku membeli seekor anakonda yang sangat besar dari spesies boa constrictor.

Betapa kerasnya hidup bagi orang yang malang: Aku menjadi juara di bangunan itu hanya selama tiga hari.

Boa anakondaku merusak setiap saluran, menghancurkan setiap kebersahajaan, dan melunturkan sikap saling menghormati. Di seantero apartemen kini berlipat-lipat jumlah singa, macan, gorila, buaya…. Bahkan ada pula beberapa orang yang memelihara harimau kumbang. Padahal kebun binatang saja belum tentu memilikinya. Auman, raungan, dan racauan bergema di seluruh penjuru bangunan. Bermalam-malam kami tidak bisa tidur akibat suara-suara itu. Bercampur-baur aroma berbagai jenis hewan mulai dari kucing-kucingan, primata, reptil, sampai pemamah-biak membuat udara menjadi tidak layak dihirup. Berdatangan truk-truk besar membawakan berton-ton daging, ikan, dan sayuran. Kehidupan dalam bangunan di Jalan Paraguay menjadi agak berbahaya.

Lama berselang, aku memperoleh sebuah pengalaman meresahkan. Sekali lagi aku berbagi lift dengan tetanggaku dari lantai tiga, si perempuan muda lesu. Sekarang ia hendak membawa macan Bengal piaraannya ke luar untuk berjalan-jalan mengitari blok dan buang air. Aku terkenang akan kadalnya, yang menjulurkan kepala mungilnya ke luar melalui celah ritsleting. Aku merasa terharu. Betapa jauhnya di belakang masa ketika segala kericuhan ini baru dimulai, hari-hari damai dengan piaraan kalajengking dan kepiting.

Akhirnya tibalah saat ketika tak seorangpun dapat dipercaya. Dalam pengawasan ketat para pemilik apartemen, si penjaga pintu memandikan sepasang badak bercula piaraannya dengan sabun dan air di pinggir jalan. Lalu dengan santai ia menggiring keduanya ke dalam apartemen. Kejadian ini lebih dari yang biasa ditanggung oleh penghuni di 5-A. Beberapa jam kemudian, dengan jaya ia menaiki tangga sambil menarik tali kekang kuda nilnya.

Saat ini bangunan apartemen sedang kebanjiran dan separuh-hancur. Aku menyusun laporan ini di atap dalam situasi yang tidak nyaman. Sesekali aku dikagetkan oleh gemuruh suara gajah yang tinggal bersama orang-orang di 7-A. Suaranya terdengar pilu bagaikan bunyi trompet. Aku menulis sambil melihat jam tanganku. Sebabnya, tiap delapan menit sekali aku mesti berlindung di bawah reruntuhan tangga. Dengan begitu, pekerjaanku aman dari pancaran air yang diembuskan paus biru penghuni 7-C. Selain itu, aku merasa risi dengan tatapan memelas jerapah penghuni 7-D. Sembari menempelkan kepalanya pada dinding, tak sedetikpun ia berhenti mengemis biskuit kepadaku.[]




Dari Imperios y servidumbres, Barcelona; Editorial Seix Barral, 1972, diterjemahkan dari bahasa Spanyol ke dalam bahasa Inggris oleh Thomas C. Meehan dengan judul “The Spirit of Emulation

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar