Laman

20141127

Sputnik Sweetheart, Bab I 06/10 (Haruki Murakami, 1999)

Perjumpaan dengan sang Sputnik Sayang terjadi setelah lebih dari dua tahun Sumire pu­tus kuliah.
Ia menempati apartemen satu-kamar di Kichijoji. Jumlah perabotannya sangat se­dikit sementara jumlah bukunya begitu banyak. Ia baru bangun ketika hari sudah si­ang, lalu sorenya berjalan-jalan di Taman Inogashira dengan gairah seorang pe­zi­a­rah yang hendak mendaki bukit suci. Kalau cuaca sedang cerah, ia duduk-duduk di bang­ku taman dan membaca, sambil mengunyah roti dan mengepulkan asap rokok se­cara bergantian. Kalau cuaca sedang hujan atau dingin, ia mengunjungi kedai kopi an­tik yang memutar musik klasik kencang-kencang, lalu tenggelam dalam sofa usang, dan membaca buku dengan tampang serius selagi mendengarkan simfoni Schu­bert atau kantata Bach. Setelah malam tiba, ia akan menenggak bir dan membeli ma­kan malam siap-santap di supermarket.
Barulah pada pukul sebelas malam ia duduk di balik meja kerjanya. Di de­kat­nya selalu tersedia termos berisi kopi panas, cangkir kopi (bergambar kartun Snafkin yang kuberikan padanya sewaktu ia berulang tahun), satu pak Marlboro, dan asbak. Ten­tunya ia juga memiliki mesin pengolah kata, dengan huruf yang berbeda pada se­tiap tutsnya.
Lalu terciptalah kesunyian yang intens. Pikirannya sejernih langit malam pada mu­sim dingin kala Ursa Mayor dan Bintang Utara berkelap-kelip dengan terangnya di tempat masing-masing. Begitu banyak hal yang ingin dituliskannya, begitu banyak ce­rita yang hendak disampaikan. Andai saja dapat ditemukannya saluran yang tepat, se­gala ide dan pemikiran yang menggelegak itupun akan menyembur keluar ba­gai­kan lahar, mengental jadi aliran deras berwujud karya kreatif yang seolah tak ada dua­nya di dunia. Orang akan dibikin terbelalak lebar-lebar oleh debut tak terduga da­ri sang Penulis Muda Menjanjikan dengan Bakat yang Langka satu ini. Potretnya yang sedang tersenyum menawan akan muncul dalam rubrik sastra di surat kabar. Pa­ra editor akan merambah jalan menuju kediamannya. 
Tapi itu tak kunjung terjadi. Beberapa karya yang ditulisnya memiliki pembuka. La­innya memiliki penutup. Tapi tak ada satupun yang memiliki baik pembuka mau­pun penutup sekaligus.

Bukan berarti ia mengalami kebuntuan dalam menulis--bukan sama sekali. Malah tak ada habis-habisnya ia menuliskan apapun yang muncul dalam kepalanya. Ma­sa­lah­nya yaitu ia menulis terlalu banyak. Bisa saja ia tinggal memotong bagian yang tak per­lu dari karyanya dan masalah pun beres, namun baginya tidaklah semudah itu. Ia ti­dak pernah bisa menentukan dengan melihat secara garis besar--mana yang pen­ting dan mana yang tidak. Keesokan hari saat membaca lagi naskah yang telah di­ce­tak­nya, setiap kalimat terasa sangat penting baginya. Lain waktu ia mencoret se­mu­a­nya dengan Tippex. Kadangkala dalam keputusasaan ia merobek seluruh naskahnya dan mencampakkannya ke tempat sampah. Apabila saat itu sedang musim dingin dan ada perapian di ruangan itu, ia mungkin akan menghangatkan diri dengan so­bek­an naskahnya--seperti dalam salah satu adegan opera La Bohéme. Tapi apar­te­men Sumire bukan saja tanpa perapian, tapi juga telepon. Belum lagi cermin yang la­yak.



Penggalan dari novel Sputnik Sweetheart oleh Haruki Murakami (1999), edisi bahasa Inggris oleh Philip Gabriel (2001)

Artikel Terkait