Laman

20141120

Sputnik Sweetheart, Bab I 05/10 (Haruki Murakami, 1999)

Obrolan tentang Sputnik itu berlangsung di resepsi pernikahan sepupu Sumire di se­bu­ah hotel mewah di Akasaka. Sumire tidak begitu dekat dengan sepupunya; malah se­benarnya mereka tidak saling bergaul sama sekali. Dengan segera Sumire merasa ter­siksa di resepsi itu, tapi tidak bisa melarikan diri. Ia dan Miu mendapat tempat du­duk yang bersebelahan di salah satu meja. Miu tidak memberi keterangan yang pan­jang-lebar tentang dirinya saat itu, hanya sepertinya ia pernah mengajari sepupu Su­mi­re bermain piano--atau lainnya yang semacam itu--sewaktu akan menghadapi uji­an masuk ke jurusan musik di universitas. Sebenarnya hubungan itu berlangsung sing­kat saja pun tidak begitu akrab, namun Miu merasa harus tetap hadir.
Sumire jatuh cinta seketika Miu menyentuh rambutnya. Rasanya seperti se­dang berjalan-jalan di tanah lapang ketika tahu-tahu jeder! geledek menyambarnya te­pat di kepala. Semacam kesadaran artistik, kiranya. Karena itulah, bukan masalah ba­gi Sumire bahwa orang yang membuatnya jatuh cinta kebetulan seorang wanita.
Seingatku Sumire tidak pernah punya pacar. Sewaktu SMA ia berteman de­ngan beberapa lelaki. Bersama-sama mereka ia pergi ke bioskop atau berenang. Tak bi­sa kubayangkan ada di antara hubungan tersebut yang serius. Sumire terlalu ber­fo­kus menjadi novelis sampai-sampai tak sempat tertarik pada siapapun. Kalaupun ia per­nah punya pengalaman seksual--atau apapun yang semacam itu--sewaktu SMA, aku yakin itu lebih karena keingintahuannya menyangkut kepentingan ke­pe­nga­rang­an­nya alih-alih hasrat seksual atau cinta.
"Sejujur-jujurnya, aku heran dengan yang namanya hasrat seksual itu," pernah ia mengatakannya padaku, sembari memasang tampang kalem. Waktu itu ia masih ku­liah, aku yakin; ia habis minum bergelas-gelas banana daquiri dan agak mabuk. "Ta­hu kan--kok bisa ya seperti itu. Menurutmu?"
"Kamu tidak paham sih," ujarku, mengajukan pendapat yang simpel saja se­per­ti biasanya. "Ya begitu saja."
Sejenak ia mencermatiku dengan saksama seakan aku ini semacam mesin yang dijalankan dengan sumber daya yang belum dikenal. Ia pun kehilangan minat, me­malingkan tatap ke langit-langit, dan obrolan mereda perlahan. Tak ada gunanya mem­bicarakan soal itu dengan dia, mungkin begitu pikirnya.
Sumire lahir di Chigasaki. Rumahnya berada di dekat pantai, sehingga ia ter­bi­a­sa mendengar desir pasir yang ditiupkan angin ke jendelanya. Ayahnya menjalankan kli­nik gigi di Yokohama. Lelaki itu sangat tampan. Bentuk hidungnya yang bagus meng­ingatkan pada aktor Gregory Peck saat bermain dalam film Spellbound. Sumire ti­dak mewarisi hidung ayahnya yang rupawan itu, begitupun dengan adiknya—me­nu­rutnya. Ia merasa heran dengan hilangnya gen yang menentukan bentuk hidung ter­sebut. Saking mengagumkannya hidung itu, dunia jadi terasa makin menyedihkan se­kiranya gen yang menentukannya benar-benar terkubur selama-lamanya di dasar ko­lam gen.
Ayah Sumire bagaikan sosok dari negeri dongeng bagi para wanita di Yo­ko­ha­ma yang memerlukan perawatan gigi. Di ruang periksa ia selalu mengenakan topi be­dah dan masker, sehingga yang bisa dilihat pasiennya hanyalah sepasang mata dan telinga. Meski begitu, ketampanannya tetap tampak nyata. Hidungnya yang ga­gah dan indah menonjol secara memikat dari balik maskernya, meronakan wajah pa­ra pasien wanitanya. Seketika itu juga--tanpa mengindahkan berapapun biaya yang mes­ti dibayarkan nantinya--mereka dimabuk asmara.

Ibu Sumire meninggal dunia akibat kelainan jantung bawaan saat usianya baru 31 ta­hun. Usia Sumire pun belum genap tiga tahun pada waktu itu. Satu-satunya yang di­i­ngat Sumire dari ibunya hanyalah samar-samar aroma tubuh wanita itu. Tinggal be­be­rapa saja potretnya yang tersisa, yaitu potretnya sewaktu menikah dan potretnya yang diambil secara sekilas saat Sumire telah lahir. Sering Sumire mengeluarkan al­bum foto itu dan memandangi gambar-gambar di dalamnya. Secara halus bisa di­ka­ta­kan ibu Sumire telah menjadi sosok yang sepenuhnya terlupakan. Potongan ram­but­nya pendek dan tidak menarik, selera berpakaiannya mengherankan, dan se­nyum­nya canggung. Kalau wanita itu mundur selangkah saja, sosoknya akan tampak me­lebur dengan dinding. Sumire bertekad untuk meresapkan wajah ibunya dalam ingat­an. Barangkali suatu saat mereka dapat berjumpa di alam mimpi. Lalu mereka akan bersalaman dan mengobrol dengan asyiknya. Namun rupanya itu tidak mudah. De­ngan segera wajah itu memudar begitu Sumire berupaya untuk mengingatnya. Ja­ngan­kan dalam mimpi--andaikan Sumire berpapasan dengan ibunya itu di jalan, pa­da siang bolong, ia mungkin tidak akan mengenalinya.
Ayah Sumire jarang membicarakan almarhumah istrinya. Ia bukan orang yang se­nang memulai pembicaran, begitupun dalam aspek kehidupan lainnya--seakan itu se­macam infeksi mulut yang ingin dihindarinya supaya tidak menular. Ia tidak pernah meng­ungkapkan perasaannya. Sumire pun tidak ingat pernah menanyakan ayahnya ten­tang sang ibu yang telah meninggal. Kecuali sekali saja, sewaktu ia masih sangat ke­cil. Karena suatu sebab, ia bertanya pada ayahnya, "Ibu tuh seperti apa sih, Yah?" Per­cakapan itu diingatnya dengan amat jelas.
Ayahnya menerawang dan termenung sebentar sebelum menjawab. "Ibumu ba­ik ingatannya," ucapnya. "Tulisan tangannya juga bagus."
Cara yang aneh dalam menggambarkan seseorang. Sementara halaman per­ta­ma buku catatannya yang seputih salju itu terbuka, Sumire menanti dalam peng­ha­rap­an kata-kata berarti yang dapat menjadi sumber kehangatan dan penghiburan—se­buah pilar, sebuah poros, yang dapat menyangga hidupnya yang tak menentu di pla­net ketiga dari matahari ini. Ayahnya seharusnya mengatakan sesuatu yang dapat di­jadikan pegangan oleh putri kecilnya. Namun sang ayah yang rupawan tak hendak meng­ucapkan perkataan itu. Perkataan yang justru sangat dibutuhkan oleh anaknya.
Ayah Sumire menikah lagi sewaktu putrinya berusia enam tahun. Dua tahun ke­mudian adik lelaki Sumire lahir. Ibu barunya juga tidak cantik. Ingatannya tidak be­gi­tu tajam, tulisan tangannya pun tidak mengesankan. Meski begitu, ia baik hati dan ber­sahaja. Betapa beruntungnya si kecil Sumire, putri tirinya yang baru. Bu­kan, beruntung bukanlah kata yang tepat. Bagaimanapun juga, ayahnya telah men­ja­tuh­kan pilihan pada seorang wanita. Walaupun bukan ayah yang ideal, ia tahu ca­ra­nya memilih pasangan.
Cinta sang ibu tiri pada Sumire tak goyah sedikitpun selama tahun-tahun re­ma­janya yang panjang dan sulit. Bahkan ketika Sumire menyatakan akan berhenti ku­li­ah dan menulis novel saja, ibu tirinya menghormati keputusan itu biarpun se­be­nar­nya memiliki pemikiran sendiri. Ia senang dengan besarnya minat baca Sumire, dan men­dukung pula ambisi putri tirinya itu dalam dunia sastra.
Ibu tiri Sumire akhirnya berhasil mengambil hati sang ayah. Mereka pun me­mu­tuskan untuk menyokong hidup Sumire sekadarnya sampai usianya 28 tahun. Apa­bila nantinya Sumire tidak mampu menghidupi diri dari menulis, bagaimanapun ju­ga ia harus berdiri sendiri. Kalau saja ibu tirinya tidak angkat suara membelanya, Su­mire mungkin sudah diusir--tanpa sepeserpun uang dan keterampilan sosial yang me­madai--ke dalam buasnya kehidupan nyata yang terkadang tak mengenal rasa hu­mor. Bagaimanapun juga, Bumi tidaklah mengeluh apalagi mengerang selama per­jalanannya mengitari matahari. Demikian manusia dapat menikmati hidupnya dan se­dikit bersenang-senang.



Penggalan dari novel Sputnik Sweetheart oleh Haruki Murakami (1999), edisi bahasa Inggris oleh Philip Gabriel (2001)

Artikel Terkait