Laman

20141213

Sputnik Sweetheart, Bab I 08/10 (Haruki Murakami, 1999)

"Kepalaku ini seperti gudang yang penuh-sesak dengan hal-hal yang ingin kutuliskan," ucapnya. "Bayangan-bayangan, adegan-adegan, penggalan-penggalan kata... dalam pikiranku semuanya menyala-nyala, hidup. Menulislah! mereka berseru padaku. Aku bisa merasakan adanya sebuah kisah baru yang hebat yang akan lahir. Kisah itu akan membawaku ke sebuah tempat yang sama sekali baru. Masalahnya, begitu aku duduk di balik meja dan menuliskannya di kertas, aku menyadari adanya hal sangat penting yang luput. Kisah itu tidak mengkristal--bukan kristal, cuma kerikil. Jadinya aku tidak terbawa ke mana-mana."
Sambil cemberut, Sumire memungut batu yang ke-250 dan melontarnya ke kolam. 
"Mungkin ada yang kurang dari diriku. Sesuatu yang semestinya dimiliki seorang novelis."
Muncul keheningan yang dalam. Sepertinya ia menunggu pendapatku yang biasa-biasa-saja. 
Sebentar kemudian aku mulai bicara. "Dulu sekali di Cina ada kota-kota yang dikelilingi tembok tinggi, dengan gerbang yang sangat besar dan bagus sekali. Gerbang itu bukan sekadar untuk orang keluar-masuk, tapi juga ada fungsinya yang lebih penting. Orang percaya kalau nyawa kota ada pada gerbang itu. Atau setidaknya itu seharusnya ada di sana. Seperti di Eropa pada Abad Pertengahan, ketika orang menganggap jantung kota ada pada katedralnya atau alun-alun pusat. Karena itulah sampai sekarang di Cina ada banyak gerbang menakjubkan yang masih berdiri. Tahu tidak, bagaimana orang Cina membangun gerbang-gerbang itu?"
"Tidak tahu," jawab Sumire.
"Orang membawa gerobak ke bekas medan perang dan mengumpulkan tulang-belulang yang sudah memutih yang terkubur di sana atau terserak begitu saja di mana-mana. Cina kan negeri yang cukup kuno--ada banyak bekas medan perang--jadi mereka tidak harus mencari sampai jauh. Di jalan masuk menuju kota, mereka membangun gerbang yang sangat besar dan memperkuatnya dengan tulang-belulang. Mereka berharap para prajurit yang telah mati akan terus menjaga kota setelah diperingati dengan cara seperti itu. Setelah gerbangnya selesai dibangun, mereka lalu membawa beberapa anjing ke sana, menggorok leher binatang itu, dan menyiramkan darahnya ke gerbang. Dengan mencampurkan darah segar dengan tulang yang sudah mengering begitu, jiwa para leluhur yang telah mati akan bangkit lagi secara gaib. Setidaknya begitulah pemikirannya."
Dalam diam, Sumire menantiku untuk meneruskan.
“Persis seperti menulis novel. Kumpulkan tulang-belulangnya, lalu bangun gerbang. Tapi bagaimanapun menakjubkannya gerbang itu nantinya, itu saja tidak akan menjadi novel yang hidup, bernyawa. Cerita bukan dunia yang semacam itu. Cerita yang sebenar-sebenarnya membutuhkan semacam pembaptisan gaib untuk menghubungkan antara dunia di sisi sini dan dunia di sisi lainnya.”
“Jadi maksudmu aku mesti pergi mencari anjingku sendiri?”
Aku mengangguk.
“Dan menumpahkan darah segar?”
Sumire menggigit bibirnya dan berpikir-pikir. Ia melempar sebutir lagi batu yang malang ke kolam. “Aku benar-benar tidak ingin membunuh binatang kalau aku bisa menyelamatkannya.”
“Itu kan metafora saja,” ujarku. “Kamu tidak benar-benar harus membunuh apalah.” 


Kami duduk bersisian seperti biasanya di Taman Inogashira, di bangku favoritnya. Di hadapan kami kolam membentang. Cuaca tidak berangin. Dedaunan pada tempatnya berjatuhan, menempel di permukaan air. Aku dapat membaui adanya api unggun di suatu tempat yang jauh. Udara beraroma penghujung musim gugur, dan dari jauh sekali terdengar jelas suara-suara.
“Yang kamu butuhkan itu waktu dan pengalaman,” kataku.
“Waktu dan pengalaman,” ia merenung, dan menerawang ke langit. “Waktu sih tidak bisa diapa-apakan—terus saja berjalan. Tapi pengalaman? Tidak usah memberitahuku. Tidak ada yang bisa kubanggakan. Tapi aku tidak bergairah dengan seks. Dan pengalaman apa yang mungkin dimiliki seorang penulis kalau dia tidak punya gairah? Jadinya seperti koki yang tidak punya selera.”
“Aku tidak tahu ke mana perginya gairah seksmu,” ucapku.
“Mungkin sedang bersembunyi di suatu tempat. Atau jalan-jalan ke mana dan lupa balik. Tapi jatuh cinta itu rasanya selalu bikin gila. Munculnya tidak terduga-duga dan seketika mencengkeram kita. Siapa yang tahu—mungkin saja besok.”
Sumire mengalihkan tatapannya dari langit ke wajahku. “Seperti tornado?”
“Bisa dibilang begitu.”
Ia memenungkannya. “Kamu pernah lihat tornado betulan?”
“Belum,” ujarku. Syukurlah, Tokyo bukan jalurnya tornado.
Sekitar satu setengah tahun kemudian, sebagaimana yang telah kuperkirakan, secara mendadak dan tak masuk akal, cinta sebesar tornado mencengkam Sumire. Dengan wanita yang 17 tahun lebih tua. Sputnik Sayang miliknya seorang. 



Penggalan dari novel Sputnik Sweetheart karya Haruki Murakami (1999), edisi bahasa Inggris oleh Philip Gabriel (2001)

Artikel Terkait