Laman

20141220

Sputnik Sweetheart, Bab I 09/10 (Haruki Murakami, 1999)

Sewaktu Sumire dan Miu duduk satu meja di resepsi pernikahan, mereka melakukan apa yang setiap orang di dunia lakukan dalam situasi semacam itu, yaitu, memperkenalkan diri masing-masing. Sumire membenci namanya sendiri dan berusaha menyembunyikannya kapanpun bisa. Namun ketika ada yang menanyakan nama kita, satu-satunya perbuatan yang sopan untuk dilakukan adalah memberitahukannya.
Menurut sang ayah, ibunya lah yang memilihkan nama Sumire. Perempuan itu menyukai lagu Mozart yang judulnya demikian dan telah memutuskan sedari lama bahwa jika ia punya anak perempuan maka itulah namanya. Pada rak rekaman di ruang keluarga mereka, ada rekaman lagu-lagu Mozart. Tidak diragukan lagi itulah yang didengarkan oleh ibunya. Sewaktu masih kecil, dengan hati-hati Sumire meletakkan piringan hitam yang berat itu pada alat pemutarnya dan mendengarkan lagu tersebut terus-menerus. Elisabeth Schwarzkopf yang menjadi pemain solo, Waiter Gieseking pada piano. Sumire tidak mengerti liriknya, namun dari melodinya yang anggun, ia merasa yakin lagu itu menyanjung keindahan bunga violet yang sedang bermekaran di padang. Sumire menyukainya.
Meskipun begitu, sewaktu SMP ia menemukan terjemahan lagu itu dalam bahasa Jepang di perpustakaan sekolah dan terkejut. Liriknya mengisahkan tentang gadis gembala yang tidak berperasaan menginjak-injak bunga violet mungil malang di padang. Gadis itu bahkan tidak menyadari kalau dirinya membuat bunga-bunga itu jadi rata. Lirik tersebut berdasarkan puisi Goethe, dan sama sekali tidak ada yang menyenangkan dari padanya, tidak ada pelajaran yang bisa diambil.

“Bisa-bisanya ibuku memberi nama dari lagu yang mengerikan begitu?” ucap Sumire sambil cemberut.
Miu menata sudut-sudut serbet di pangkuannya, tersenyum hambar, dan menatap Sumire. Matanya begitu hitam. Berbagai warna bercampur di sana, namun tampak jernih dan cerah.
“Menurutmu lagunya bagus?”
“Ya, lagunya itu sendiri sangat indah.”
“Kalau musiknya bagus, menurutku itu saja sudah cukup. Lagipula, tidak segala hal di dunia ini dapat menjadi indah, bukan? Ibumu pasti sangat menyukai lagu itu sampai-sampai tidak terganggu oleh liriknya. Selain itu, kalau mukamu begitu terus, nanti bisa keriput permanen lo.”
Sumire pun mengendurkan cemberutnya.
“Mungkin kau benar. Aku merasa kecewa saja. Maksudku, satu-satunya peninggalan yang nyata dari ibuku hanya nama itu. Selain diriku, tentunya.”
“Menurutku Sumire nama yang cantik. Aku suka sekali,” kata Miu. Kepalanya dimiringkan sedikit seakan ia hendak memandang dari sudut yang berlainan. “Omong-omong, ayahmu hadir di resepsi ini juga?”
Sumire celingukan. Ruangan untuk resepsi itu luas, namun ayahnya jangkung, sehingga dengan mudahnya ia melihat lelaki itu. Terpisah oleh dua meja, wajah ayahnya menoleh ke samping, berbincang dengan seorang pria kecil dan lebih tua yang mengenakan jas. Senyumnya begitu meyakinkan dan hangat hingga mampu melelehkan gletser. Disinari cahaya dari kandil, hidungnya yang elok terangkat pelan-pelan, bagaikan batu asahan yang diukir dengan indah. Sumire sekalipun, yang sudah biasa melihat lelaki itu, terkesan dengan ketampanannya. Ayahnya benar-benar pantas berada di pertemuan formal semacam ini. Kehadirannya saja menjadikan suasana ruangan itu terasa semarak. Ibarat bunga-bunga yang dihimpun dalam vas besar, atau limusin jet hitam. 



Penggalan dari novel Sputnik Sweetheart karya Haruki Murakami (1999), edisi bahasa Inggris oleh Philip Gabriel (2001)

Artikel Terkait