Laman

20200301

Penggalan: Rainbow Bird (Shun Medoruma, 2018)

Rainbow Bird menceritakan tentang Katsuya, pemuda Okinawa yang ingin melarikan diri dari kehidupan kriminal di pulau tempatnya tumbuh besar. Berlatarkan 1995 tidak lama setelah tiga anggota militer Amerika Serikat yang ditempatkan di Okinawa menculik dan memerkosa seorang gadis berusia dua belas tahun, cerita berkembang dilatari protes dan demonstrasi massa. Pekerjaan Katsuya memaksa para perempuan melacurkan diri sementara ia memotret transaksinya lalu memeras klien. Ketika gadisnya yang terbaru, Mayu, mulai menyerang dengan keji pria-pria yang dipasangkan dengan dia, Katsuya merasa bahwa dunianya menjadi goyah. Karena bersimpati terhadap Mayu yang berusaha melindungi diri, ia menghadapi pilihan: memberi tahu bosnya yang bengis mengenai penyerangan itu atau menutupinya. Sementara ia berusaha menentukan tindakan, cerita membentang ke masa lalunya, mengungkap geng-geng sekolah yang berbahaya serta legenda keputusasaan tentang burung pelangi di hutan yang menyangga kekuatan hidup dan mati. Penggalan ini diambil dari bagian akhir cerita, ketika Mayu mulai kalut sementara Katsuya semakin sulit menghindari bosnya.

Katsuya mengambil sebotol air dari kulkas lalu kembali ke kamarnya. Ia menyambar wiski dari rak dan menenggaknya beberapa kali, meminum air, lalu lebih banyak wiski. Membuka laci meja lalu mengeluarkan selembar pil, menyobek kertas timah lantas menjatuhkan dua butir ke telapak tangannya. Ia menggilas pil-pil itu dengan giginya, mengguyurnya dengan seteguk minuman, kemudian memasukkan video sewaan ke mesin. Seraya terbenam di kasur, ia mempercepat bagian trailer sampai film dimulai.

Film itu sudah lawas. Sebuah meteor menghantam bumi, jauh di hutan pedalaman Soviet. Sebuah tim dikirim untuk menyelidiki. Kekuatan tubrukan itu telah meratakan pepohonan dalam radius bermil-mil. Begitu kelima anggota tim tersebut memasuki lanskap yang sureal mereka semua mengalami halusinasi yang sama.

Sejarah singkat tentang semua konflik dan pembantaian yang merentang sejak awal kehidupan di bumi. Para anggota tim itu serta dalam pertarungan yang tiada akhir, menjadi prajurit dari berbagai tempat dan masa, menjelma berbagai bentuk kehidupan yang bukan manusia. Perang dengan lembing dan kampak ratusan tahun lalu, pemburu makhluk buas besar ribuan tahun lampau, binatang berusia sejuta tahun yang berjuang mempertahankan hidup. Latarnya berubah tiba-tiba dari masa ke masa serta daratan satu ke daratan lain, ruang melengkung, warna-warni menjadi terlalu terang sedang bentuk-bentuk mulai mengabur, hingga wujud dan warna runtuh, teperbarui, dan dunia terlihat seolah-olah melalui mata suatu makhluk baru.

Katsuya tidak yakin apakah yang dilihatnya ini merupakan gambar film tentang halusinasi tim penyelidik itu atau penglihatannya sendiri yang terimbas oleh obat. Badannya berat lagi lemas. Malah boleh jadi ia tengah bermimpi.

Suara dan warna bergetar dan bergetih seiring dengan penglihatan itu membanjir maju, manusia melawan manusia, manusia melawan organisme lain, mamalia dan burung, ikan, serangga, dan tumbuhan, semua membunuh satu sama lain, lalu berkembang biak, kemudian membunuh lagi. Pepohonan besar yang tumbang bekertak kembali tegak, iklim yang dingin berubah tropis, dan di tengah-tengah panas mencekik serta kelembapan hutan, terdapat ribuan, jutaan pertarungan. Reptil, invertebrata, dan vegetasi terkungkung dalam siklus pertempuran yang tiada akhir. Kemudian pemandangan berganti dan perjuangan bentuk-bentuk kehidupan purba berkembang di laut dan langit. Ichthyosaurus, cumi-cumi, dan ikan berbentuk ganjil merobek daging satu sama lain sementara mereka berenang menembus air yang hitam oleh darah. Burung-burung raksasa menukik turun dari langit berwarna-warni teramat tinggi untuk menggorok dengan paruh dan cakarnya ubur-ubur besar yang berpijar bak mega kunang-kunang.

Pada akhirnya para anggota tim penyelidik yang berhalusinasi itu saling membunuh. Tubuh mereka yang rubuh telantar diganyang binatang, serangga, dan bakteri. Anggota tim yang terakhir bertahan mengakhiri sendiri hidupnya. Segerombol burung mematuk-matuk mayatnya sebelum mengepakkan sayap di antara awan-awan hitam dan pohon-pohon tumbang. Lama kemudian mereka mencapai tepi hutan lalu tampak sebuah kota yang dipadati gedung tinggi. Burung-burung itu terbang melewati atap-atap, namun seekor burung kecil berwarna biru langit lepas dari kawanan itu dan berkibar turun di antara gedung-gedung ke arah sebuah taman, menuju sebuah kereta bayi. Burung itu mendarat pada uluran jari seorang bayi yang sedang mengoceh. Kamera menyorot kepala burung itu, dan dalam matanya yang hitam pekat tampak hutan. Bayi itu berada di sana, berdiri di depan sebuah pohon, namun kini ia telah dewasa, dan tanpa busana. Tangannya menjuntai di sisinya, dengan menggenggam sebilah pisau yang berlumuran darah.

Ibu bayi itu memekik dan layar dipenuhi wajah polos si bayi. Si burung melompat ke tangan ibu tersebut, dan wanita itu berseru kesenangan sementara bayinya bergumam gembira. Burung kecil berwarna biru langit itu kini melompat ke tudung kereta lalu mulai bernyanyi indah. Kepalanya teleng ketika bernyanyi, kemudian sesaat ia seperti menyorotkan senyum tersirat. Si ibu mendorong kereta bayi melewati taman di bawah dedaunan mapel yang merah terang, kembali ke apartemennya. Ia menjauh dari kamera seiring dengan berakhirnya film.

Setelah daftar pemain dan pekerja film berhenti bergulir dan layar biru berisi peringatan pemerintah berubah menjadi badai salju statis, Katsuya masih menatap televisi dengan seringai samar pada wajahnya. Tubuhnya diam, namun matanya hidup, mengirimkan gambar-gambar ke otaknya. Bayi dalam film itu merangkak di lantai menuju padanya. Ia berusaha lari namun tidak dapat bergerak, pun berteriak. Entah bagaimana ia berhasil memejamkan mata. Ia merasakan tekanan kedua tangan dan lutut bayi itu pada pahanya, ia berbuat semampunya untuk mengabaikan itu—lantas ia mendengar klik dan desir kaset video berputar kembali dengan sendirinya. Beban bayi itu terangkat. Gambar-gambar itu berkelap-kelip dari lubuk benaknya namun tidak kunjung berbentuk, alih-alih terisap kembali ke kegelapan seiring dengan menjalarnya kantuk dari balik matanya.



Penggalan dari Rainbow Bird oleh Shun Medoruma. Terjemahan bahasa Inggris oleh Sam Malissa dalam Words Without Borders edisi Desember 2018.



Bottom of Form
Shun Medoruma (lahir 1960) merupakan salah satu penulis Okinawa kontemporer yang terkemuka. Ia dianugerahi Penghargaan Akutagawa pada 1997 atas cerita pendeknya “A Drop of Water” (Suiteki).

Sam Malissa meraih PhD dalam Kesusastraan Jepang dari Yale University. Ia menerjemahkan fiksi, di antaranya karya Toshiki Okada, Shun Medoruma, dan Hideo Furukawa.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar