Laman

20200628

Welcome to the N. H. K. Bab 02 Jihad Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Di Griya Mita[1] kamar 201, pintu yang memisahkan bagian dalam kamarku dari dunia luar kini tegak membuka. Aku dan wanita dengan misi keagamaan ini—tidak ada lagi yang memisahkan kami.
Lantas, aku melihatnya. Di sebelah kanan belakang wanita dengan senyum-pengabar-Injil yang tiada habis ini, berdiri perempuan lain.
Apakah mereka berencana memanfaatkan dua orang untuk merekrutku? Apakah mereka hendak mencondongkan keseimbangan kekuatan, dua melawan satu? Betapa pengecutnya!
Lantas, terbitlah kesadaran lain. Aku memerhatikan betapa mudanya perekrut religi yang satu lagi.
Entah kenapa, sekalipun pada pagi April yang tenteram ini matahari bersinar lembut, gadis itu menaungi diri dengan payung-pelindung-matahari yang putih bersih. Meskipun aku tidak bisa melihat wajahnya, yang tersembunyikan oleh payung, aku bisa tahu bahwa ia muda, apalagi dibandingkan dengan si wanita paruh baya. Malah, terlihat jelas bahwa ia lebih muda dari padaku.
Sembari memegangi payung, dengan mengenakan gaun berlengan panjang berwarna terang dan polos, ia memancarkan hawa murni nan suci. Seakan-akan mengawal si wanita yang lebih tua, ia berdiri dengan tenang, lugu lagi sunyi.
Tanpa sadar, air mata meruap di mataku, tanpa dikehendaki.
Gadis ini, yang kemungkinan usianya baru tujuh belas atau delapan belas tahun, dimanfaatkan oleh kultus yang tolol. Baru memikirkannya saja aku sudah merasa kasihan. Maksudku, ayolah, apa-apaan sih ini?!
Aku yakin pada usianya itu mestilah ia lebih suka bersenang-senang. Usia ketika alih-alih ia lebih suka mengenakan pakaian bagus, berjalan-jalan di Shibuya, dan mencoba-coba hubungan heteroseksual yang tak senonoh. Tetapi agama-agama itu punya perintah yang keras, misalnya saja: “Janganlah mendekati zina.” Gadis itu pastilah menderita. Pastilah merasa nyeri, nyeri, nyeri.
Aku membayangkan gadis itu tidak tahu cara mengatasi badannya yang panas dingin tiap malam. “Tuhan sedang melihat, jadi kita tidak boleh berbuat ini. Tetapi … tetapi … aku tidak tahan lagi. Oooh, kenapa aku nakal sekali? Meskipun Tuhan sedang melihat … aku mengaku. Bapa di Surga!”
Hal-hal semacam ini, ketika antara firman Tuhan dan hasrat seksual bercampur aduk, terus menerus menyiksa dia. Karena buku erotis tentang biarawati yang belum lama ini kubaca menyebutkan demikian, pemikiranku ini pasti benar.
Seketika sebuah pikiran menyambarku. Kalaupun sangkaanku ini benar, maka dengan begitu boleh jadi keberadaan agama sama sekali tidak buruk. Malah, anehnya, mungkin tidak berlebihan untuk menganggapnya baik.
Oh ya, sebenarnya ini mesum. Setelah mempertimbangkannya baik-baik, aku merasa bahwa justru kemesuman itulah yang menjadikannya sungguh indah.
Sebagai contoh, di benakku timbul bayangan seorang gadis tengah dipukuli pantatnya oleh biarawati tua yang kaku. Bayangan ini dilanjutkan dengan adegan-adegan cabul dari pengadilan penyihir yang terjadi kemudian. Dan akhirnya, sesi penyiksaan yang bengis terjadi di ruang bawah tanah beralaskan batu. Si interogator bergata, “Akan kubuktikan bahwa kau sebenarnya penyihir,” kemudian menyiapkan kuda-kudaan kayu! “Dengan pecut?!” Tas! Tas! Tas! “Belum?! Belum?! Belum?!” Tas! Tas! “Ahhh! Ampuni aku! Jangan sakiti aku! Kumohon maafkan aku!” Akan tetapi, tidak ada yang mendengarkan permohonannya, dan jamuan penistaan yang seolah-olah tiada akhirnya ini terus menanjak tanpa ujung!
Fantastis!
Kepuasan!
Tepuk tangan berdi—“Mmm ….”
Mendadak, aku menyadari bahwa ibu-ibu yang berdiri tepat di hadapanku ini tengah menatapku. Dengan cemas ia bertanya, “Apa masnya baik-baik saja?”
Fantasi liarku tentang si gadis alim telah membajak perhatianku, belum lagi emosiku. Pengamat sepintas lalu pun dapat melihat betapa linglung dan anehnya diriku.
Apa-apaan ini?
Dengan kepayahan kuupayakan sikap tegas. “Ehm, ehm.” Aku berdeham.
Lantas, seperti anak muda yang teramat, sangat normal, dan dengan menjaga mataku supaya tidak salah arah, aku melayangkan tatapan secerdas mungkin pada ibu-ibu itu.
Memang, sudah jelas aku terguncang. Ini, kuakui.
Akan tetapi, setelah dapat mengontrol emosiku kembali, tidak ada lagi celah pada baju bajaku yang dapat ditembus serangan. Lagi pula, buat apa juga gelisah. Aku tinggal perlu menjawab, “Ya, saya baik-baik saja,” sembari menyorongkan balik kedua pamflet ini kepada dia, dan segala perkara ini akan berakhir.
Tetapi gara-gara terlalu lama menjadi hikikomori, kemampuanku untuk berkomunikasi dengan orang lain telah memburuk ke taraf yang lebih rendah, yang merupakan alasan sebenarnya aku begitu terguncang oleh kejadian ini.
Tenanglah. Tenanglah! Katakan. Tinggal ucapkan satu kalimat itu, “Ya, saya baik-baik saja.” Baiklah. Aku akan mengatakannya dalam sekejap. Ya, kali ini aku akan sungguh-sungguh mengatakannya.
Kemungkinan besar, saking lamanya aku tidak berbicara kepada orang lain suaraku bakal terdengar agak sayup. Perkataan yang keluar dari mulutku, setidaknya, mungkin terdengar sayup. Malah aku bisa saja berkomat-kamit tanpa sengaja. Tetapi, kenapa juga itu penting?
Lagi pula, belum tentu aku akan bertemu lagi dengan wanita atau gadis ini lagi. Bagaimanapun anggapan mereka terhadapku tidaklah penting. Peduli amat jika mereka menganggapku aneh atau bermasalah? Itulah makanya aku mesti mengatakannya. Aku mesti menolak ajakan mengikuti agama mereka sekarang juga!
Tinggal bilang, “Ya, saya baik-baik saja!”
Aku akan mengatakan, “Ya, saya baik-baik saja!”
“Ya, saya ….”
Seketika itu juga, garis pandangku tak sengaja melintasi kata “Bangkitlah!” yang menghiasi kover pamflet yang kupegang di tangan kanan.
Pada kover itu, dalam huruf hitam gotik tercetak: “Kehidupan hikikomori tengah melanda pemuda kita. Selamatkah Anda?”
Wanita yang memerhatikan tatapanku itu terus mengembangkan senyum alimnya. “Ini liputan khusus kami untuk bulan ini. Kami tengah menyelidiki persoalan hikikomori dari sudut pandang Injil. Masnya tertarik?”
Sungguh mustahil memerikan seutuhnya ketakutan yang membinasakanku kemudian.
Apakah mereka dapat menerawang aku? Mungkinkah wanita ini telah mengetahui bahwa aku sendiri sebenarnya merupakan hikikomori? Apakah itu sebabnya ia berusaha keras untuk memberiku pamflet ini? Gagasan ini sungguh mengerikan.
Pikiran bahwa aku telah dikenali sebagai hikikomori tak berharga oleh orang yang bahkan tidak mengenalku membangkitkan perasaan terguncang, menggigil, dan ketakutan yang hebat—berpuncak pada kekalutan yang tak tertanggungkan. Biar begitu, aku harus tenang.
Aku harus mengecoh mereka—mengecoh mereka dengan cepat dan halus.
“Hikikomori? Hahaha! Bagaimana mungkin orang sepertiku adalah hikikomori?!”
Apa aku ini benar-benar bodoh? Berkata seperti itu malah membuatku terlihat semakin mencurigakan. Aku harus mengecoh mereka secara lebih meyakinkan—dan lekas. Aku harus mengecoh mereka sekarang juga atau mengajukan suatu alasan … sesuatu. Ayolah, kumohon diriku.
 “Eh, m—mana mungkin aku hikikomori, kan? Betul! Maksudku, mana mungkin orang seperti aku melalui setahun kurang tanpa berbicara kepada siapa pun. Atau mengalami kehidupan hikikomori begitu parahnya sampai aku harus putus kuliah tanpa pekerjaan, serta harapan untuk masa depan, dan tak ada lagi yang lain-lainnya. Atau dalam keadaan putus asa yang hina dina. Atau apa pun yang seperti itu, iya kan?”
Wanita itu menjauh dari diriku. Biasanya pikiranku terus berkeluyur malas, tanpa arah tujuan. Kumohon ada yang menghentikanku.
 “Memang betul! Anda ini ibu-ibu yang tolol, sangat tolol. Dan betapa kasarnya! Apa maksud Anda dengan, ‘Kehidupan hikikomori tengah melanda pemuda kita. Selamatkah Anda’? Lagi pula, kalau doa bisa mengobati hikikomori, tidak ada yang harus menderita seperti itu, iya kan? Dan apa sih yang orang-orang seperti kalian ketahui? Aku saja tidak mengerti, jadi bagaimana mungkin kalian bisa paham?!”
Cukup. Sekarang, aku berhenti. Si misionaris itu benar-benar ketakutan. Ia terlihat siap balik badan dan memanggil polisi. “Ada orang gila di apartemen sebelah sana! Ia berbahaya!”
Ah, memang aku ini berbahaya. Sungguh berbahaya. Aku bahkan mengejutkan diriku sendiri! Malah, aku tertegun oleh kedunguanku sendiri, yang menyebabkanku telah bertingkah berlebihan secara menakutkan kepada ibu-ibu penyodor pamflet yang bersahaja. Aku tidak tahan lagi.
Ini saatnya aku mati. Orang seperti aku, yang telah menghinakan dirinya demikian buruk di hadapan orang alim, mesti mati secepatnya.
 “Sudah, tidak apa-apa, bu, pulang saja cepat. Bawa gadis itu sekalian.”
Ah, tidak ada gunanya. Sudah berakhir, sudah berakhir, sudah berakhir bagiku! Yeah, aku akan membeli katana besok. Lantas, aku akan melakukan harakiri. Daripada terus-terusan mengumbar diriku dalam aib, aku akan mengeluarkan isi perutku saja dan membuktikan diri sebagai prajurit. Benar, aku akan melakukan itu …. Beli katana di mana, ya.
Aku bayangkan menanyakan, “Hei, bu, tahu di mana? Ibu tidak tahu? Ya iyalah, enggak tahu. Enggak apa-apa sih. Buat apa juga Ibu mesti tahu. Enggak apa-apa, pergi saja sana. Yeah, iya, iya, saya minta maaf. Saya hikikomori. Hikikomori tingkat atas, kelas kakap. Hampir tidak ada hikikomori di luar sana yang bisa mengklaim dirinya setidak berharga aku. Aku penganggur. Aku sampah. Aku orang payah! Tetapi aku tidak butuh bantuan. Aku baik-baik saja, jadi pergilah. Mengerti? Nih, aku kembalikan. Aku kembalikan pamflet kalian. Jadi, tolonglah, pergi cepat, sekarang!”
“K-k-kalau begitu, maaf telah mengganggu kesibukan masnya.”
Seraya buru-buru mengalihkan pandangan, ibu-ibu itu serta-merta berbalik dan mendorong gadis di belakangnya. “Kita pergi sekarang, Misaki. Kita kembali ke ruang pertemuan, oke?”
Yeah, pulang, pulang. Pulang sana cepat. Kamu juga, Misaki, enyahlah segera!
Hm, Apa, Misaki? Tampang apa itu? Biarpun ibu-ibu itu sudah minggat, kenapa kamu malah menurunkan payung dan memandangku? Apa, kamu ada masalah apa, heh? Hei, apa-apaan tatapan itu? Apa yang kamu lihat? Apa yang kamu tertawakan? Kamu mengolokku, ya? Kamu menertawakanku …?!
***
Tampaknya memang aku sedang diejek oleh gadis alim yang bahkan tidak kukenal.
Sesaat ia mengangkat payungnya dan menatap lurus ke wajahku. Ia tersenyum cerah. Senyum manis, yang mencela. Dan aku ingin mati.
Sebab aku ditertawai orang segila gadis pemuja kultus, sebab aku benar-benar telah direndahkan, dan lebih daripada segala-galanya, senyumnya kok imut, karena alasan-alasan itulah ….
Aku tidak bisa terus. Aku serius ingin mati.
Selamat tinggal.
Selamat tinggal, ibu-ibu alim.
Selamat tinggal Misaki, yang memegang payung.
Selamat tinggal, selamat tinggal semuanya.
Aku akan memulai perjalananku. Aku akan menutup pintu kamar, memutar kunci, menutup gorden, dan memulai perjalananku.
Sembari duduk di kasur, aku menghentikan napasku. Kedua tanganku menutup mulutku keras-keras supaya aku berhenti bernapas. Rasanya sesak. Sesak. Tetapi sebentar lagi, aku akan mati. Aku telah menahan napasku selama tiga puluh detik. Aku pasti akan mati sebentar lagi.
Akan tetapi, saat kematianku tidak kunjung datang. Sebabnya napasku bocor lewat hidung.
Di dunia ini tidak ada yang berjalan sesuai dengan keinginan kita. Kumohon ada yang melakukan sesuatu.




[1] Nama apartemennya, yang tampaknya berlokasi di daerah Mita

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar