Laman

20200712

Herman Sang Pemberang: Kisah tentang Tangis Massal (Hector Hugh Munro, 1911)

Herman Sang Pemberang yang juga dijuluki Sang Arif menduduki singgasana Britania Raya pada dekade kedua Abad Kedua Puluh, setelah Wabah Besar menghancurkan Inggris. Penyakit Mematikan telah menyapu bersih seluruh Keluarga Kerajaan sampai generasi ketiga dan keempat. Alhasil Hermann Keempat Belas dari Saxe-Drachsen-Wachtelstein, yang berada pada urutan ketiga puluh dalam suksesi, suatu hari menetapkan diri sebagai penguasa persemakmuran Britania Raya baik di dalam maupun di luar negeri. Kehadirannya mengejutkan dunia politik, dan ia memerintah dengan amat bersungguh-sungguh. Bisa dibilang, ia raja paling progresif yang pernah menduduki takhta penting. Sebelum orang mengetahui masalah yang dihadapinya, mereka sudah dihadapkan pada masalah lain. Bahkan para menteri merasa sulit mengiringi saran-saran legislatif sang raja, padahal biasanya mereka progresif.
“Sebenarnya,” Perdana Menteri mengakui, “kami terhambat oleh para pendukung hak pilih untuk wanita. Mereka mengganggu rapat-rapat kami di seluruh negeri, dan mereka berusaha mengubah kompleks pemerintahan Britania Raya menjadi semacam lahan tamasya politik.”
“Mereka harus ditangani,” sahut Hermann.
“Ditangani,” ucap Perdana Menteri, “tepat sekali. Tetapi bagaimana?”
“Aku akan membuatkan Rancangan Undang-undang,” ujar Raja, seraya duduk di depan mesin ketiknya, “yang mengundangkan supaya wanita seyogianya memberikan suara dalam segala pemilihan yang akan datang. Seyogianya memberikan suara, perhatikan itu, atau, sederhananya, wajib. Bagi pemilih pria, pemberian suara tetap opsional, seperti sebelumnya. Tetapi setiap wanita yang berusia di antara dua puluh satu dan tujuh puluh tahun akan diwajibkan untuk memberikan suara, tidak hanya pada pemilihan Parlemen, dewan kabupaten, dewan pengurus daerah, dewan jemaah gereja, dan kotapraja, tetapi juga untuk petugas pemeriksa mayat, penilik sekolah, pengurus gereja, kurator museum, pejabat kebersihan, juru bahasa pengadilan polisi, pelatih renang, kontraktor, dirigen paduan suara, pengawas pasar, guru sekolah seni, pelayan katedral, dan berbagai fungsionaris setempat lain yang nama-namanya akan kutambahkan kemudian ketika aku ingat. Semua jawatan ini akan mengadakan pemilihan, dan pemilih wanita yang gagal memberikan suara pada pemilihan apa pun yang berada di kawasan tempat tinggalnya akan dikenakan penalti sebesar sepuluh paun. Ketidakhadiran tanpa didukung keterangan medis memadai tidak akan diterima sebagai alasan. Teruskan RUU ini ke Gedung Parlemen lalu lusanya bawakan ini padaku untuk kutandatangani.”
Sejak awal Hak Pilih Wanita yang Diwajibkan ini tidak menimbulkan banyak kegembiraan sekalipun di kalangan yang paling keras menuntut hak pilih. Sebagian besar wanita di negara ini bersikap masa bodoh atau membenci agitasi hak pilih, sementara para Pendukung Hak Pilih Wanita paling fanatik mulai bertanya-tanya apa gerangan yang tadinya dirasa begitu menarik dari memasukan kartu suara ke kotak. Di pedesaan tugas melaksanakan klausul dari Undang-undang yang baru ini cukup menjemukan, di perkotaan jadinya mimpi buruk. Pemilihan tampak tiada habisnya. Para tukang cuci dan tukang jahit mesti bergegas dari tempat kerja mereka demi memberikan suara, sering kali untuk kandidat yang namanya belum pernah didengar, yang mereka pilih secara asal saja. Para karyawati dan pramusaji bangun pagi-pagi sekali supaya dapat memberikan suara sebelum berangkat ke tempat kerja. Para tokoh wanita mendapati jadwal mereka terhambat dan kacau karena harus terus-menerus mendatangi tempat pemungutan suara, sehingga pesta akhir pekan serta liburan musim panas berangsur-angsur menjadi kemewahan khas pria. Adapun di Kairo dan Riviera, denda sepuluh paun yang berakumulasi selama absen berkepanjangan mungkin terjadi hingga orang yang kekayaannya biasa saja tidak dapat menanggung risikonya, dan hanya orang yang benar-benar cacat atau orang yang luar biasa kaya yang dapat menghindari pemungutan suara.
Tidaklah menakjubkan ketika agitasi pencabutan hak pilih wanita menjadi pergerakan masif. Persatuan Tidak-Ada-Hak-Pilih-bagi-Wanita diikuti jutaan pengikut perempuan. Warna mereka, merah hati dan kuning, dipamerkan di mana-mana. Himne perjuangan mereka, “Kami Tak Hendak Memilih”, menjadi nyanyian populer. Karena Pemerintah tidak kunjung menampakkan tanda-tanda terpengaruh oleh aksi damai, cara yang lebih keras pun marak. Rapat-rapat diganggu, para menteri dikepung, para polisi digigit, sementara bantuan makanan ditolak. Pada puncak peringatan Trafalgar para wanita mengelilingi undak-undakan tugu Nelson hingga hiasan bunga ditiadakan. Walau demikian Pemerintah berkeras menaati pendirian bahwa wanita harus memiliki hak pilih.
Maka, sebagai usaha terakhir, tercetuslah gagasan sangkil yang anehnya baru kali itu terpikirkan. Diadakanlah Tangis Massal. Sepuluh ribu orang wanita sekalian berestafet menangis tiada henti di tempat-tempat umum di Metropolis. Mereka menangis di stasiun kereta, di terowongan, dan di bis, di Galeri Nasional, di toko-toko perlengkapan tentara, di Taman St. James, di konser-konser balada, di Istana Pangeran serta di Arkade Burlington. Sejauh itu, keberhasilan beruntun komedi jenaka nan brilian “Henry’s Rabbit” terancam oleh kehadiran para wanita yang menangis muram di kedai-kedai, bundaran, serta galeri, dan kasus-kasus perceraian paling bersinar yang telah bertahun-tahun diadili dirampas kilaunya oleh laku dukacita sebagian hadirin.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Perdana Menteri. Tadi juru masaknya mencucurkan air mata ke hidangan sarapan, sementara inang pengasuh meninggalkan rumah sambil diam-diam menangis sedih, untuk membawa anak-anak berjalan-jalan di Taman.
“Semua ada waktunya,” ujar sang Raja, “ada waktunya untuk menuai. Sampaikan RUU yang mencabut hak pilih wanita ke Gedung Parlemen, dan lusanya bawakan itu padaku untuk disetujui Kerajaan.”
Begitu Perdana Menteri mengundurkan diri, Hermann Sang Pemberang, yang juga dijuluki Sang Arif, terkikih-kikih khidmat.
“Banyak jalan lain menuju Roma,” ia mengutip, “namun aku tidak yakin,” imbuhnya, “bahwa itu bukan jalan yang terbaik.”[]



Hector Hugh Munro (18 Desember 1870 - 14 November 1916) dikenal dengan nama pena Saki. Ia penulis Inggris pada era Edward yang kerap menulis kisah satire serta jenaka, dan dianggap sebagai master cerita pendek. Cerpen ini diterjemahkan dari karyanya yang berjudul "Herman the Irascible".

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar