Hadjar melahirkan tujuh anak. Aga Akbar yang termuda, ia
lahir tuli dan bisu.
Hadjar pun mengetahuinya sejak bulan pertama. Hadjar melihat Aga Akbar
tidak bereaksi. Namun Hadjar tidak mau memercayainya. Hadjar tidak pernah
meninggalkan Aga Akbar sendirian, dan tidak seorang pun dibolehkannya bersama
Aga Akbar lama-lama. Selama enam bulan, demikianlah Hadjar.
Semua orang tahu anak itu tuli, tetapi tidak seorang pun
boleh membicarakannya. Hingga, akhirnya, Kazem Khan, abang tertua Hadjar,
merasa sudah waktunya untuk terlibat.
Kazem Khan seorang manusia bebas yang kebiasaannya berkelana
melalui gunung-gunung di atas punggung kuda. Ia seorang penyair yang hidup sendirian di sebuah
bukit di luar desa, tetapi selalu ada perempuan menyertainya. Dalam penerangan
jendelanya, penduduk desa melihat perempuan yang berbeda-beda setiap kali.
Tidak seorang pun tahu apa pekerjaannya, atau ke mana perginya dengan kudanya.
Ketika cahaya jendelanya menyala, orang tahu ia di rumah.
Sang penyair ada di rumah, kata mereka kemudian.
Tidak diketahui selebihnya tentang dia, tetapi kala desa
membutuhkannya, dia selalu hadir membantu. Pada saat-saat seperti itulah ia
menjadi juru bicara desa. Ketika dasar sungai mendadak terisi penuh hingga
meluap dan airnya menyerbu rumah-rumah di desa, ia hadir bersama kudanya dan
tahu cara menghentikan banjir. Ketika beberapa anak tahu-tahu mati tak terduga
dan ibu-ibu lainnya mengkhawatirkan anak-anak mereka sendiri, mendadak ia
muncul di atas punggung kudanya disertai seorang dokter di belakangnya. Dan
setiap pengantin di desa itu mendapat kehormatan manakala ia tampil di
pernikahan.
Kazem Khan yang itu pulalah yang datang berkuda memasuki
halaman rumah Hadjar. Tanpa turun dari kudanya, ia duduk dalam naungan sebuah
pohon tua dan berseru: “Hadjar! Adikku!”
Hadjar membuka jendela.
“Selamat datang, Kakak. Mengapa tidak masuk?”
“Maukah kau mengunjungiku malam ini bersama anakmu? Ada yang
hendak kubicarakan kepadamu.”
Hadjar tahu Kazem Khan hendak bicara mengenai putranya, dan
menyadari ia tidak lagi dapat menyembunyikan anak itu.
Ketika malam tiba, ia membedung anak itu di punggungnya dan
mendaki bukit ke rumah yang penduduk menyebutnya permata jatuh di antara
pohon-pohon kenari tua. Kazem Khan mengisap opium, yang secara umum diterima bahkan dianggap sebagai tanda kehebatan puitisnya.
Kazem Kham telah menyiapkan pembakaran, pipanya tergeletak di
abu baru yang hangat, dan irisan halus opium yang cokelat kekuningan di atas
piring. Air dalam samovar menggelegak.
“Duduklah, Hadjar. Kau bisa hangatkan dulu makanan untukmu.
Beri makan anakmu kalau mau. Namanya siapa? Akbar? Aga Akbar?”
Ragu, Hadjar menyerahkan anak itu kepada kakaknya.
“Berapa usianya? Tujuh, delapan bulan? Ayo makanlah, biar aku
berdua saja dengan anak ini.”
Hadjar merasakan beban berat di pundaknya. Ia tak sanggup
makan, dan mulailah ia mencucurkan air mata.
“Jangan menangis. Jangan memelas seperti itu. Kalau kau
menyembunyikan anak ini, kalau kau menyerah begitu saja, kau akan membuat anak
ini jadi bodoh. Karena selama enam atau tujuh bulan ini ia tidak melihat
apa-apa, tidak melakukan apa-apa, ia tidak berhubungan langsung dengan
sekelilingnya. Ke mana pun aku pergi di pegunungan aku bertemu anak-anak tuli
dan bisu. Kita harus membiarkan orang bicara kepadanya. Kita
membutuhkan bahasa, bahasa isyarat. Dan kita akan menciptakannya sendiri. Aku
akan membantumu. Mulai besok, kau harus membiarkan orang lain ikut mengurus
anakmu. Biarkah orang berhubungan dengan dia, dengan cara mereka sendiri.”
Hadjar membawa anaknya ke dapur. Di sana, sekali lagi, air
matanya meledak. Air mata lega.
Kemudian, setelah Kazem Khan mengisap pipa opium beberapa kali
dan merasa ringan lagi riang, ia menghampiri dan duduk di samping adiknya.
“Dengar, Hadjar. Entah apa sebabnya, tetapi aku merasa aku mesti
berbuat sesuatu dengan kehidupan anak itu. Aku tidak pernah merasa begitu
sebelumnya dengan anak-anakmu yang lain. Terutama karena ayah mereka adalah
bangsawan yang itu. Dan aku tidak ingin ada urusan dengan dia. Namun sebelum
kau pergi, aku perlu memberitahumu beberapa hal, beberapa hal yang penting bagi
masa depan anakmu. Bangsawan itu juga harus tahu bahwa aku pamannya Akbar.”
Keesokan harinya, Hadjar membawa Akbar ke kastel. Sebelumnya
tak pernah ia mempertunjukkan salah satu dari anak-anaknya kepada ayah mereka.
Ia mengetuk pintu ruang belajar bangsawan itu lalu masuk, bersama Akbar dalam
pelukannya. Ia terdiam sejenak, lalu membaringkan anak itu di meja dan berkata:
“Anakku tuli dan bisu.”
“Tuli dan bisu? Apa yang dapat kubantu?”
Sesaat kemudian barulah Hadjar sanggup menatap lelaki itu
lekat-lekat. “Biarkan anakku memiliki namamu.”
“Namaku?” tanya lelaki itu, lalu terdiam.
“Kalau kau memberi dia namamu, aku tidak akan pernah kembali
ke sini untuk meminta apapun lagi,” lanjut Hadjar.
Bangsawan itu masih tak berucap apa-apa.
“Kau pernah mengatakan bahwa kau menyukai aku, dan
berkali-kali kau katakan kau menghargai aku. Kau bilang aku boleh selalu
memintakan kebutuhanku kepadamu. Maka sekarang aku memintamu; biarkan anakku
memiliki namamu. Hanya nama keluarga. Aku tidak meminta warisan. Biarkan
nama Akbar tercatat di kertas.”
“Kasih makan anak itu, jangan ia menangis seperti itu,” kata
si bangsawan sejenak kemudian. Lalu ia berdiri, membuka jendela dan berseru
kepada pelayannya.
“Panggil imam kemari. Cepat. Aku menunggu.”
Tak lama imam pun tiba. Hadjar harus menunggu di ruangan
lain.
Percakapan itu berlangsung di balik pintu yang tertutup. Imam
menulis beberapa baris dalam kitabnya. Lantas ia menarik secarik dokumen untuk
ditandatangani bangsawan itu. Segera saja dokumen itu selesai. Imam pulang
menaiki bagalnya.
“Ini, Hadjar. Inilah yang kau minta. Namun ada satu hal yang
tidak boleh engkau lupakan. Sembunyikan kertas ini, rahasiakan. Setelah aku
mati, barulah kau boleh menunjukkannya kepada orang.”
Hadjar menyembunyikan kertas itu di balik pakaiannya dan
hendak mencium tangan si bangsawan.
“Tak perlu lakukan itu, Hadjar. Pulanglah sekarang. Dan
seringlah temui aku. Aku selalu mengatakannya, dan sekarang kukatakan lagi. Aku
sungguh menyukaimu, dan aku selalu ingin menemuimu.”
Hadjar kembali membedung anaknya ke punggung lalu pergi.
Ketika menuruni gunung, ia sadar sedang menggendong seorang anak dengan nama
keluarga yang sudah tua dan penting: Aga Akbar Mahmoodi
Gazanvia Gorasani.
Dokumen itu terbukti selembar kertas yang tak ternilai,
karena ketika bangsawan itu mati, para ahli warisnya menyuap imam desa agar
menyingkirkan nama Aga Akbar dari surat wasiat. Namun itu bukan soal, sebab
Hadjar tidak mengharapkan warisan bagi anaknya; nama itu saja sudah cukup. Ayahnya
ternama, dan akarnya terletak di kastel tua sana di atas gunung di Lalezar.
Ketika Akbar dewasa, ia menikah dan memiliki anak-anak.
Walaupun ia seorang pembuat karpet rendahan, ia tetap bangga akan garis
keturunannya. Ia membawa kertas berisikan namanya yang panjang itu ke manapun
ia pergi.
Akbar sering bicara tentang ayahnya, dan terutama menghendaki
putranya Ismael agar mengetahui bahwa sang kakek merupakan lelaki penting,
seorang penunggang kuda dengan bedil di punggungnya.
Bangsawan itu terbunuh oleh orang Rusia. Namun siapakah
tepatnya si pembunuh, tak seorang pun tahu. Apakah ia seorang prajurit? Polisi?
Ataukah pencuri Rusia yang menyelinap melintasi perbatasan? Pegunungan tempat
tinggal Aga Akbar dan nenek moyangnya berada di perbatasan dengan Rusia, yang
pada waktu itu merupakan bagian dari Uni Soviet. Sisi sebelah selatan milik
Iran; lereng sebelah utara dengan salju tebal yang kekal milik Rusia. Namun
apakah gerangan yang sedang dilakukan prajurit, atau tentara Rusia itu di
pegunungan tersebut, tak seorang pun tahu.
Satu-satunya tanda mata atas pembunuhan itu hanyalah kisah
yang terus hidup berkat Aga Akbar.
Kapan pun ia dan putranya berdua saja di rumah, Akbar akan
menceritakan kisah itu kepada Ismael, yang lalu harus memainkan si penunggang
kuda. Akbar sendiri memerankan prajurit Rusia, dengan mantel tentara yang
panjang serta topi bergambar arit dan palu merah terang.
Ismael menaiki bantal dan memakai bedil kayu di punggungnya.
Aga Akbar mengenakan mantel serta topi dan bersembunyi di balik lemari besar.
Pura-puranya batu di Gunung Saffron.
Sekarang Ismael harus mengendarai kudanya. Tidak terlalu
cepat, tidak pula terlalu lambat, tetapi dengan terkendali, bagaikan seorang
bangsawan. Ia berkendara melewati lemari, dan seketika itu ada kepala muncul. Si
penunggang kuda harus terus berkendara beberapa meter lagi, hingga si prajurit
melompat keluar dengan pisau di tangannya. Si prajurit mengambil dua atau tiga
langkah besar dan menancapkan senjatanya di antara kedua bahu si penunggang
kuda, yang lalu jatuh dan mati.
Kisah itu boleh jadi berdasarkan pada fantasi, tetapi
kematian ibunya adalah satu hal yang dialami langsung oleh Aga Akbar.
“Berapa tahun usiamu ketika Hadjar meninggal?” Ismael
membuat isyarat. Namun Aga Akbar tidak memiliki pengertian akan waktu.
“Ia meninggal ketika segerombol
burung hitam yang aneh hinggap di pohon almon,” Aga Akbar membalas isyarat itu.
“Burung yang aneh?”
“Aku belum pernah melihat burung-burung
itu.”
“Namun kapankah itu, ketika burung-burung hitam itu hinggap
di pohon itu?” Ismael membuat isyarat.
“Tanganku dingin, pohon itu gundul, dan Hadjar tidak lagi
bicara kepadaku.”
“Bukan, maksudku, berapa usiamu? Berapa, berapa usiamu ketika
ibumu meninggal dunia?”
“Aku, Akbar. Aku meletakkan kepalaku ke dada Hadjar.”
Nantinya Kazem Khan memberi tahu Ismael bahwa ketika itu Aga
Akbar berusia sembilan atau sepuluh tahun. Hadjar berbaring di ranjang dan
sakit parah. Akbar merayap ke bawah selimut dan memeluk ibunya erat-erat.
“Kau memeluk ibumu ketika ia meninggal dunia?” Ismael membuat
isyarat.
“Ya, itu benar … tetapi, bagaimana kau tahu?”
“Paman Kazem Khan yang memberitahuku.”
“Aku merayap di bawah selimut. Kapanpun ia sakit, ia bicara
kepadaku dan menggenggam tanganku. Namun ia tidak bicara lagi, dan ia juga
tidak menggerakkan tangannya. Aku takut, sangat takut. Aku diam saja di bawah
selimut dan tidak berani keluar lagi. Lalu seseorang meraihku, tangan dari
sebelah luar, dan berusaha menarikku. Aku memeluk tubuh Hadjar erat-erat. Namun
Kazem Khan menarikku. Aku menangis.”
Keesokan harinya wanita tertua di keluarga itu membentangkan
kain putih menutupi wajah Hadjar. Para lelaki datang membawa peti mati dan
membawa dia ke kuburan.
Terjemahan ini penggalan dari Cuneiform (Kader
Abdollah © 2000) berdasarkan versi bahasa Inggris Sam Garrett dalam Words
Without Borders edisi Juli 2003, “Literary Border-Crossings in Iran”. Karya
ini pertama kali diterbitkan dengan judul Spijkerschrift oleh
Uitgeverij De Geus, Belanda (informasi lebih lanjut kunjungi www.degeus.nl.)
Kader Abdolah (lahir tahun 1952 di Iran) belajar fisika di Teheran dan
aktif dalam perlawanan mahasiswa. Ia menerbitkan dua novel tentang kehidupan di
bawah rezim Khomeini sebelum meninggalkan tanah airnya pada 1985. Atas undangan
PBB, ia tiba di Belanda sebagai pengungsi politik pada tahun 1988.
Ia segera menguasai bahasa Belanda dan
kini telah menulis dan menerbitkan empat buku: The Eagles (1993),
kumpulan cerita pendek yang memenangkan penghargaan untuk debut sastra
terlaris; The Girls and the Partisans (1995); The Journey of the
Empty Bottles (1997); dan Cuneiform (2000). Pada 1997, Abdolah
menerima Penghargaan Media Belanda untuk kumpulan kolomnya dari De
Volkskrant.
Cuneiform telah diterbitkan di Jerman, Perancis, dan Norwegia dan akan segera diterbitkan di Italia, Denmark, dan Spanyol.
Sam Garrett pernah bekerja sebagai penerjemah sastra serta wartawan lepas. Karya terjemahannya yang terbaru termasuk The Cave oleh Tim Krabbé (Bloomsbury) dan Silent Extras oleh Arnon Grunberg (Secker).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar