Laman

20141227

Sputnik Sweetheart, Bab I 10/10 (Haruki Murakami, 1999)

Ketika melihat ayahnya Sumire, Miu terkelu. Sumire dapat mendengar helaan napasnya. Seperti tirai beledu yang ditarik ke sisi pada pagi yang damai sehingga sinar matahari dapat menerobos dan membangunkan orang yang amat kita kasihi. Mungkin seharusnya aku membeli kacamata opera, pikir Sumire. Namun ia sudah terbiasa dengan reaksi dramatis yang ditimbulkan oleh paras ayahnya pada orang-orang—khususnya wanita paruh baya. Apakah gerangan keindahan itu? Kualitas apa yang dikandungnya? Sumire tidak pernah mengerti. Namun tidak pernah ada yang memberinya jawaban. Yang ada hanyalah efek yang begitu-begitu saja.
“Bagaimana rasanya punya ayah yang ganteng?” tanya Miu. “Penasaran saja.”
Sumire mendesah—orang begitu mudah ditebak. “Tidak bisa dibilang menyenangkan sih. Semua orang pikirannya sama: Lelaki itu tampan sekali. Sangat menonjol. Tapi anak perempuannya tidak begitu enak dilihat, ya? Pasti itu yang dimaksud dengan atavisme, pikir mereka.”


20141220

Sputnik Sweetheart, Bab I 09/10 (Haruki Murakami, 1999)

Sewaktu Sumire dan Miu duduk satu meja di resepsi pernikahan, mereka melakukan apa yang setiap orang di dunia lakukan dalam situasi semacam itu, yaitu, memperkenalkan diri masing-masing. Sumire membenci namanya sendiri dan berusaha menyembunyikannya kapanpun bisa. Namun ketika ada yang menanyakan nama kita, satu-satunya perbuatan yang sopan untuk dilakukan adalah memberitahukannya.
Menurut sang ayah, ibunya lah yang memilihkan nama Sumire. Perempuan itu menyukai lagu Mozart yang judulnya demikian dan telah memutuskan sedari lama bahwa jika ia punya anak perempuan maka itulah namanya. Pada rak rekaman di ruang keluarga mereka, ada rekaman lagu-lagu Mozart. Tidak diragukan lagi itulah yang didengarkan oleh ibunya. Sewaktu masih kecil, dengan hati-hati Sumire meletakkan piringan hitam yang berat itu pada alat pemutarnya dan mendengarkan lagu tersebut terus-menerus. Elisabeth Schwarzkopf yang menjadi pemain solo, Waiter Gieseking pada piano. Sumire tidak mengerti liriknya, namun dari melodinya yang anggun, ia merasa yakin lagu itu menyanjung keindahan bunga violet yang sedang bermekaran di padang. Sumire menyukainya.


20141213

Sputnik Sweetheart, Bab I 08/10 (Haruki Murakami, 1999)

"Kepalaku ini seperti gudang yang penuh-sesak dengan hal-hal yang ingin kutuliskan," ucapnya. "Bayangan-bayangan, adegan-adegan, penggalan-penggalan kata... dalam pikiranku semuanya menyala-nyala, hidup. Menulislah! mereka berseru padaku. Aku bisa merasakan adanya sebuah kisah baru yang hebat yang akan lahir. Kisah itu akan membawaku ke sebuah tempat yang sama sekali baru. Masalahnya, begitu aku duduk di balik meja dan menuliskannya di kertas, aku menyadari adanya hal sangat penting yang luput. Kisah itu tidak mengkristal--bukan kristal, cuma kerikil. Jadinya aku tidak terbawa ke mana-mana."
Sambil cemberut, Sumire memungut batu yang ke-250 dan melontarnya ke kolam. 
"Mungkin ada yang kurang dari diriku. Sesuatu yang semestinya dimiliki seorang novelis."
Muncul keheningan yang dalam. Sepertinya ia menunggu pendapatku yang biasa-biasa-saja. 
Sebentar kemudian aku mulai bicara. "Dulu sekali di Cina ada kota-kota yang dikelilingi tembok tinggi, dengan gerbang yang sangat besar dan bagus sekali. Gerbang itu bukan sekadar untuk orang keluar-masuk, tapi juga ada fungsinya yang lebih penting. Orang percaya kalau nyawa kota ada pada gerbang itu. Atau setidaknya itu seharusnya ada di sana. Seperti di Eropa pada Abad Pertengahan, ketika orang menganggap jantung kota ada pada katedralnya atau alun-alun pusat. Karena itulah sampai sekarang di Cina ada banyak gerbang menakjubkan yang masih berdiri. Tahu tidak, bagaimana orang Cina membangun gerbang-gerbang itu?"


20141206

Sputnik Sweetheart, Bab I 07/10 (Haruki Murakami, 1999)

Tiap akhir pekan, Sumire berkunjung ke apartemenku. Draf novel menyembul dari ba­lik kepitan lengannya--naskah bernasib mujur yang selamat dari pembantaian. Bi­ar­pun naskahnya sudah bertumpuk-tumpuk, Sumire memperlihatkannya pada se­o­rang saja di muka bumi ini. Aku.
Di kampus aku dua angkatan di atas Sumire. Mata kuliah kami berbeda. Jadi tak banyak kesempatan berjumpa di antara kami. Kami dapat berkenalan karena mur­ni kebetulan. Saat itu Senin pada bulan Mei, hari setelah serangkaian libur. Aku se­dang berdiri di tempat pemberhentian bis di depan gerbang utama kampus sambil mem­baca novel Paul Nizan yang kubeli di toko buku bekas. Cewek pendek di samping­ku mencondongkan tubuhnya, memandangi buku yang kupegang, dan ber­ta­nya, Ngapain sih baca bukunya Nizan? Kedengarannya seperti mau mengajakku ber­an­tem. Seakan ingin ditendangnya sesuatu sampai terlontar tinggi-tinggi, tapi karena ti­dak ada sasaran yang pantas maka yang diserangnya pun pilihan bacaanku.