Laman

20141127

Sputnik Sweetheart, Bab I 06/10 (Haruki Murakami, 1999)

Perjumpaan dengan sang Sputnik Sayang terjadi setelah lebih dari dua tahun Sumire pu­tus kuliah.
Ia menempati apartemen satu-kamar di Kichijoji. Jumlah perabotannya sangat se­dikit sementara jumlah bukunya begitu banyak. Ia baru bangun ketika hari sudah si­ang, lalu sorenya berjalan-jalan di Taman Inogashira dengan gairah seorang pe­zi­a­rah yang hendak mendaki bukit suci. Kalau cuaca sedang cerah, ia duduk-duduk di bang­ku taman dan membaca, sambil mengunyah roti dan mengepulkan asap rokok se­cara bergantian. Kalau cuaca sedang hujan atau dingin, ia mengunjungi kedai kopi an­tik yang memutar musik klasik kencang-kencang, lalu tenggelam dalam sofa usang, dan membaca buku dengan tampang serius selagi mendengarkan simfoni Schu­bert atau kantata Bach. Setelah malam tiba, ia akan menenggak bir dan membeli ma­kan malam siap-santap di supermarket.
Barulah pada pukul sebelas malam ia duduk di balik meja kerjanya. Di de­kat­nya selalu tersedia termos berisi kopi panas, cangkir kopi (bergambar kartun Snafkin yang kuberikan padanya sewaktu ia berulang tahun), satu pak Marlboro, dan asbak. Ten­tunya ia juga memiliki mesin pengolah kata, dengan huruf yang berbeda pada se­tiap tutsnya.


20141120

Sputnik Sweetheart, Bab I 05/10 (Haruki Murakami, 1999)

Obrolan tentang Sputnik itu berlangsung di resepsi pernikahan sepupu Sumire di se­bu­ah hotel mewah di Akasaka. Sumire tidak begitu dekat dengan sepupunya; malah se­benarnya mereka tidak saling bergaul sama sekali. Dengan segera Sumire merasa ter­siksa di resepsi itu, tapi tidak bisa melarikan diri. Ia dan Miu mendapat tempat du­duk yang bersebelahan di salah satu meja. Miu tidak memberi keterangan yang pan­jang-lebar tentang dirinya saat itu, hanya sepertinya ia pernah mengajari sepupu Su­mi­re bermain piano--atau lainnya yang semacam itu--sewaktu akan menghadapi uji­an masuk ke jurusan musik di universitas. Sebenarnya hubungan itu berlangsung sing­kat saja pun tidak begitu akrab, namun Miu merasa harus tetap hadir.
Sumire jatuh cinta seketika Miu menyentuh rambutnya. Rasanya seperti se­dang berjalan-jalan di tanah lapang ketika tahu-tahu jeder! geledek menyambarnya te­pat di kepala. Semacam kesadaran artistik, kiranya. Karena itulah, bukan masalah ba­gi Sumire bahwa orang yang membuatnya jatuh cinta kebetulan seorang wanita.


20141113

Sputnik Sweetheart, Bab I 04/10 (Haruki Murakami, 1999)

Kembali pada pertemuan antara Sumire dan Miu.
Miu pernah mendengar tentang Jack Kerouac, dan samar-samar merasa itu na­ma pengarang suatu novel. Tapi novelis macam apa, ia tidak ingat. "Kerouac... hmmm.... Dia itu Sputnik, bukan, ya?"
Sumire tidak mengerti maksud Miu. Sementara memikirkannya, pisau dan gar­pu yang dipegangnya tertahan di udara. "Sputnik? Maksudnya satelit pertama Soviet yang diberangkatkan tahun limapuluhan itu? Jack Kerouac itu novelis dari Amerika. Me­mang sepertinya mereka muncul pada waktu yang bersamaan...."
"Itu sebutan untuk para penulis zaman dulu, kan, ya?" tanya Miu. Ujung jarinya ber­putar-putar di meja seakan tengah mengaduk-aduk semacam toples yang terisi pe­nuh oleh ingatan.
"Sputnik...?"


20141106

Sputnik Sweetheart, Bab I 03/10 (Haruki Murakami, 1999)

Sumire ingin menjadi seperti tokoh dalam novel Kerouac--serampangan, menawan, dan hidup tak beraturan. Ia berkeluyuran dengan tangan terbenam dalam-dalam di kan­tong mantelnya, rambut kusut tak tersisir, dan tatapan hampa ke arah langit me­la­lui kacamata berbingkai plastik hitam ala Dizzy Gillespie--biarpun sebetulnya peng­lihatannya normal. Penampilannya dilengkapi mantel kebesaran bermotif lurik da­ri toko pakaian bekas serta sepatu bot yang biasa dikenakan pekerja kasar. Aku ya­kin ia akan menumbuhkan janggut seandainya bisa. 
Sebenarnya Sumire tidak cantik. Pipinya cekung. Mulutnya agak kelewat lebar. Hi­dungnya kecil dan mencuat. Wajahnya ekspresif, selera humornya pun besar, tapi ta­wanya jarang sampai terpingkal-pingkal. Tubuhnya pendek, dan bahkan meski su­a­sa­na hatinya sedang baik, cara bicaranya seperti mau mengajak berkelahi. Aku tidak per­nah melihatnya mengenakan lipstik ataupun pensil alis. Aku bahkan ragu kalau ia ta­hu kutang itu ukurannya bermacam-macam. Biarpun begitu, ada suatu hal yang is­ti­mewa pada dirinya, yang membuat orang tertarik padanya. Menjelaskan hal yang is­timewa itu tidaklah mudah. Tapi cobalah tatap matanya, dan temukan ke­is­ti­me­wa­an­nya itu membayang jauh di dalam sana.