Dia sadar dirinya sedang
duduk-duduk di bar sekitar sambil minum bir kira-kira pada waktu yang sama
dengan ketika dia terpikir untuk pergi ke situ dan minum segelas. Sebetulnya
dia sudah menghabiskan segelas. Mungkin dia akan minum satu lagi, pikirnya,
sambil minum gelas kedua dan minta gelas ketiga. Ada seorang wanita muda
duduk-duduk tidak jauh dari dia yang tidak begitu cantik tapi cukup cantik, dan
barangkali pandai bercinta, dan memang begitu. Apakah dia menghabiskan birnya?
Tidak ingat. Yang betul-betul penting adalah: Apakah dia menikmati orgasmenya?
Atau apakah dia orgasme? Ini yang dipikirkannya ketika pulang menyusuri jalanan
malam yang berkabut dari apartemen si wanita muda. Yang disesaki oleh banyak
boneka bayi, semacam yang dimenangkan di karnaval-karnaval, dan mereka
berjanji, seingat dia, untuk kencan di sana. Di situ wanita itu menang lagi—wanita
itu memang jago. Lalu mereka ke apartemen wanita itu lagi, bugil, dan wanita
itu memeluk boneka barunya di sebuah ranjang yang penuh oleh banyaak boneka
serupa. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia tidur, dan dia lebih tidak
yakin lagi, sementara terhuyung menapaki jalanan malam, yang masih berkabut,
akan letak apartemennya sendiri, orgasmenya, jika dia mengalaminya tadi, sudah
mengabur dari memorinya. Mungkin dia perlu mengajak wanita itu ke karnaval
lagi, pikirnya, dan wanita itu pun memenangkan boneka bayi lagi (pada kencan
kedua mereka, atau mungkin keempat), dan kali ini mereka minum-minum romantis
di bar tempat mereka pertama kali jumpa. Di situ seorang pria berotot mulai
mengganggu wanita itu. Dia turun tangan dan wanita itu menjenguk dia di ranjang
rumah sakit sambil membawakan salah satu boneka bayi miliknya untuk menemani
dia. Yang merupakan caranya untuk menunjukkan ikatan di antara mereka, atau
begitulah yang dia duga, sewaktu dia meninggalkan rumah sakit dengan penopang
ketiak, bingung di sebelah mana kota dirinya tengah berada. Atau pada tanggal
berapa. Dia memutuskan bahwa inilah saatnya untuk menghentikan hubungan—wanita
itu bikin dia edan—tapi si pria berotot hadir di pernikahan mereka dan minta
maaf karena telah memukul dia waktu itu. Dia tidak sadar, ujarnya, betapa
seriusnya hubungan mereka. Hadiah pernikahan dari pria itu berupa selembar
kupon untuk dua minuman gratis di bar tempat mereka bertemu dan sepasang pita
satin putih untuk tongkat penyangganya. Selama upacara pernikahan, keduanya
membawa boneka bayi yang boleh jadi mengandung suatu makna yang agak
tersembunyi, dan memang begitu. Anak yang dikandung wanita itu, anaknya atau
anak orang lain, mengingatkan dia, seakan dia perlu mengingat itu, bahwa waktu
melaju begitu cepat. Sekarang dia punya tanggung jawab dan dia memutuskan untuk
mengecek apakah dia masih bisa bekerja di tempat yang dulu sewaktu dia pertama
kali berjumpa istrinya. Dia masih bisa bekerja di situ. Tidak ada yang
mempermasalahkan ketidakhadirannya, jika dia absen, tapi tidak ada juga yang
memberi selamat atas pernikahannya. Itu tidak mengherankan sebab—sekarang dia
ingat—sebelum dia bertemu istrinya, dia sudah bertunangan dengan salah seorang
koleganya dan rekan-rekan mereka telah merayakan pesta pertunangan itu, jadi
mestilah mereka marah karena uang yang dihabiskan untuk memberi hadiah. Itu
memalukan dan suasananya kurang nyaman, tapi dia punya satu anak yang sudah TK
dan satu lagi akan lahir, jadi mau bagaimana lagi? Nah, dia masih belum menukar
kupon hadiah pernikahannya, jadi, pertama-tama, masa bodohlah, dia bisa minum
segelas-dua bir, malah tiga pun dia sanggup. Ada seorang wanita muda
duduk-duduk di dekat dia yang kelihatannya pandai bercinta, tapi wanita itu
bukan istrinya dan dia tidak ingin menyeleweng, atau begitulah yang dia katakan
pada dirinya, selagi duduk di tepi ranjang dengan celananya melorot di
pergelangan kaki. Apakah dia tengah melucuti celana itu atau justru
mengenakannya? Dia ragu, tapi kini dia memakai celananya dan terpincang-pincang
pulang, penyangga ketiaknya yang berpita tertinggal entah di mana. Setibanya di
apartemen, dia mendapati semua boneka bayi, yang asalnya ditaruh di rak begitu
bayi-bayi mulai berdatangan, berserakan dengan kepala dan anggota tubuh terpotong-potong.
Salah satu dari bayi-bayi itu menangis, maka, sambil menghangatkan sebotol susu
di kompor, dia masuk ke kamar dan memberi bayi itu dot dan menemukan selembar
catatan dari istrinya tersemat di piyama bayi itu, yang menerangkan bahwa
wanita itu telah berangkat ke rumah sakit untuk melahirkan lagi dan dia
sebaiknya sudah minggat ketika wanita itu kembali, sebab jika tidak wanita itu akan
membunuhnya. Dia meyakini wanita itu, jadi dia segera ke jalanan lagi, sambil
berpikir kalau-kalau dia sudah memberikan botol pada si bayi, atau itu masih
mendidih di kompor. Dia melewati bar yang dulu dan tergoda namun memutuskan
bahwa dia tidak perlu menambah masalah lagi dalam hidupnya dan hendak berjalan
terus saat si raksasa yang dulu pernah menghajar dia menghentikannya dan
memberinya sebatang rokok sebab pria itu baru saja jadi ayah dan menyeretnya ke
bar untuk merayakan itu dengan segelas minuman, atau lebih, tak terhitung
olehnya. Perayaan itu sudah berakhir, tapi, si ayah baru, yang telah menikahi
wanita yang sama dengan yang mendepak dia, kini mencucurkan air mata ke dalam
gelas bir atas kesengsaraan hidup berkawin dan menyelamati dia karena beruntung
terbebas dari itu. Tapi dia tidak merasa beruntung, terlebih saat dia melihat
seorang wanita muda duduk-duduk di dekat mereka yang kelihatannya pandai
bercinta dan memutuskan untuk menyarankan mereka supaya pergi ke tempat wanita
itu, namun terlambat—wanita itu sudah keluar bersama pria yang pernah
menghajarnya dan mencuri istrinya. Maka dia pun minum lagi, sambil memikirkan
di mana dia bisa tinggal sekarang, dan menyadari—si bartender lah yang
berkata-kata sambil menawari dia bir lagi secara cuma-cuma—bahwa hidup itu
singkat dan brutal dan sebelum dia menyadari itu dia keburu mati. Bartender itu
benar. Setelah beberapa kali lagi bir dan orgasme, sebagian samar-samar saja
teringat, sering kali tidak, salah satu putranya, yang kini pembalap mobil sekaligus
pimpinan perusahaan tempatnya bekerja, mengunjungi dia pada akhir hidupnya dan,
sambil minta maaf karena baru bisa datang (aku minum-minum dulu, Ayah, ada
masalah), berkata bahwa ia akan merindukan dia tapi mungkin inilah yang
terbaik. Apanya yang terbaik? tanyanya, namun putranya sudah pergi, kalau
memang ada tadi. Yah … begitulah … hidup, ucapnya pada perawat yang datang
untuk menghamparkan kain pada wajahnya dan membawanya pergi.[]
Diterjemahkan dari cerpen Robert Coover, “Going for a Beer”, dalam The New
Yorker edisi 14 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar