Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170906

Picasso (César Aira, 2014)

Semua ini dimulai ketika si jin keluar dari botol susu dan bertanya padaku, mana yang lebih kuinginkan: memiliki sebuah lukisan Picasso atau menjadi Picasso. Ia dapat mengabulkan setiap permintaanku, tetapi ia memperingatkan, hanya satu di antara dua. Aku harus memikirkannya sejenak—atau agaknya, dialah yang menyuruhku untuk memikirkannya. Dalam cerita rakyat dan kesusastraan, banyak cerita tentang orang tamak yang menderita karena bertindak sembrono, sehingga timbul anggapan bahwa segala tawaran itu terlalu indah untuk jadi nyata. Tidak ada catatan ataupun bukti yang dapat diandalkan untuk dijadikan dasar dalam mengambil keputusan, sebab hal semacam ini cuma ada dalam karangan atau guyonan, maka tak ada orang yang pernah memikirkan ini secara serius. Lagi pula, di dalam karangan selalu ada jebakan. Kalau tidak begitu, jadinya tidak akan seru dan namanya bukan karangan. Namun terkadang diam-diam aku suka membayangkan peristiwa ini terjadi. Kuingat-ingat sekuatku, namun yang tebersit cuma cerita klasik tentang “tiga permintaan” itu. Tawaran yang diajukan si jin padaku sungguh tak kira-kira. Mana pun yang kupilih sangat menentukan, sehingga aku perlu waktu untuk mempertimbangkannya.

Itu tawaran yang aneh tapi bukannya tidak jitu, malah kena betul. Saat itu aku baru keluar dari Museum Picasso, dengan perasaan takjub dan terpesona yang tak terperikan. Tak ada satu—atau dua—hal pun yang dapat memikatku lebih daripada itu. Sebenarnya aku belum meninggalkan museum itu. Aku sedang di tamannya, duduk-duduk di salah satu bangku yang ada di situ. Sebelumnya aku dari kafe dan membeli sebotol kecil Magic Milk yang kulihat diminum turis di mana-mana. Saat itu sore pada musim gugur yang indah. Matahari bersinar lembut, udaranya sejuk, dan masih ada waktu sebelum senja. Aku mengeluarkan buku tulis dan pena dari kantong untuk membuat catatan, tetapi akhirnya aku tidak menulis apa-apa.

Kucoba merangkai pikiranku. Dalam hati kuulang kata-kata si jin: memiliki sebuah lukisan Picasso atau menjadi Picasso. Siapa sih yang tidak ingin memiliki lukisan Picasso? Siapa yang akan menolak pemberian seperti itu? Tetapi, di sisi lain, siapa juga yang tidak ingin menjadi Picasso? Adakah takdir lain yang lebih membikin iri hati dalam sejarah modern? Bahkan tidak ada satu pun penguasa di dunia yang sebanding dengan dirinya. Mereka bisa saja digulingkan oleh perang atau peristiwa politik, sementara pengaruh Picasso melebihi raja atau presiden mana pun, tak tertandingi. Siapa pun yang berada di posisiku akan mengambil pilihan kedua, yang mencakup pilihan pertama. Tidak saja karena Picasso dapat membuat semua lukisan Picasso yang dia sukai, tetapi juga karena dia terkenal suka menyimpan lukisannya sendiri yang banyak itu, termasuk beberapa yang paling baik (museum yang baru saja kukunjungi didirikan atas koleksi pribadinya). Dia bahkan membeli kembali karya yang dijualnya sewaktu muda pada tahun-tahun terakhir hidupnya.

Tentu saja menjadi Picasso pun tak kalah untungnya. “Menjadi” itu jauh berbeda dari “memiliki”, meliputi segala kenikmatan berkreasi dan merentang hingga cakrawala yang tak terbayangkan. “Menjadi Picasso”, setelah adanya Picasso yang asli—seperti apa pun dia sebenarnya—berarti menjadi seorang Superpicasso, Picasso yang dihidupkan oleh kekuatan gaib atau keajaiban. Tetapi aku sendiri tahu bakatku (je m’y connaissais en fait de génies), dan aku bisa menduga atau menebak bahwa menjadi Picasso tidaklah sebegitu mudahnya. Ada beberapa sebab yang membuatku ragu, bahkan takut. Untuk menjadi diri orang lain, orang harus berhenti menjadi dirinya sendiri, dan mana ada yang mau menyerahkan diri begitu saja. Bukan berarti aku merasa lebih penting daripada Picasso, atau lebih sehat, atau lebih tabah dalam menghadapi hidup. Dia itu agak labil (aku tahu itu dari biografinya), tetapi tidak selabil diriku. Maka dengan menjadi dirinya, sedikit banyak kondisi mentalku akan lebih baik. Sungguhpun begitu, berkat upaya yang sabar seumur hidup, aku telah berdamai dengan penyakit saraf, ketakutan, kecemasan, dan kesulitan lainnya yang kuderita, atau setidaknya mencapai taraf yang dapat kukendalikan, dan tidak ada jaminan pengobatan yang setengah-setengah ini akan berhasil pula pada problem yang dialami Picasso. Begitulah kurang lebih pertimbanganku, meski tidak kutumpahkan lewat kata-kata. Itu cuma serentetan dugaan.

Pada dasarnya ini perkara pelik mengenai problem identifikasi, yang timbulnya bukan saja karena sang pelukis ulung dari Málaga, melainkan oleh seniman mana pun yang dikagumi, dihormati, atau dipelajari orang. Persoalannya lebih-lebih lagi pada Picasso dan tetap tak ada yang melebihi dirinya. Identifikasi itu salah satu dari sekian hal yang tak bisa disamaratakan. Sebagai suatu konsep, identifikasi secara umum itu tidak ada, yang ada cuma identifikasi secara khusus dengan tokoh ini atau tokoh itu. Jika tokoh tersebut adalah Picasso, seperti dalam hal ini, maka tidak mungkin ada yang lain. Konsep itu pun berbalik dengan sendirinya, seakan istilahnya itu (meski janggal) bukan “mengidentifikasi dengan Picasso” melainkan “mem-Picasso-kan identifikasi”.

Cuma sedikit orang yang dapat mengilhami begitu banyak tulisan. Siapa pun yang pernah berhubungan Picasso menulis testimoni, anekdot, atau sketsa watak tentang dirinya. Semuanya mencoba untuk menemukan sifat yang lazim. Misalnya saja, aku pernah membaca bahwa dia itu punya masalah dalam mengambil tindakan. Ketika melihat selembar kertas tergeletak di lantai studionya, dia akan merasa terganggu tetapi tidak akan memungutnya, dan selembar kertas itu pun tetap pada tempatnya hingga berbulan-bulan. Sebenarnya aku juga seperti itu. Itu seperti tabu kecil yang sulit dipahami, kelumpuhan semangat, yang menahanku untuk berbuat yang kumau dalam waktu yang tak terbatas. Picasso mengatasi ini dengan menghasilkan karya seni yang luar biasa banyaknya, seakan dengan menggambar lukisan demi lukisan dia dapat membuat selembar kertas itu pergi dengan sendirinya. Apa pun alasannya, kelancarannya dalam berkarya tidak diragukan lagi dari awal sampai akhir metamorfosisnya. Picasso ya Picasso selama dia seorang pelukis, maka jika aku adalah Picasso aku dapat membuat semua lukisan Picasso yang kusuka, menjualnya, dan jadi kaya, dan mungkin (karena sekarang ini orang kaya dapat berbuat apa saja) berhenti jadi Picasso jika aku merasa terperangkap dalam kehidupan yang tidak lagi kunikmati. Itulah sebabnya kukatakan berkah “menjadi” itu mencakup “memiliki”.

Picasso pernah bilang, “Aku ingin jadi orang kaya supaya aku bisa hidup tenteram seperti orang miskin.” Selain keyakinan bahwa orang miskin tak punya masalah itu mengecoh, ada yang ganjil dari perkataannya itu: dia sudah kaya ketika menyatakannya, sangat kaya. Tetapi tidak sekaya sekarang, tiga puluh tahun setelah kematiannya, karena harga lukisan-lukisannya telah naik. Semua juga tahu bahwa para pelukis itu harus mati dulu, dan karena itu berhenti mencipta, supaya karya mereka menjadi sungguh-sungguh berharga. Maka terdapat jurang ekonomis antara “menjadi Picasso” dan “memiliki lukisan Picasso”, sebagaimana antara kehidupan dan kematian. Perkataannya mengenai hidup tenteram, terlepas dari liciknya pemikiran itu, berlaku juga pada situasi yang dihadapkan jin itu padaku. Ini pesan dari alam kubur, yang disampaikan menurut hasrat terbesarku akan kehidupan yang aman sentosa, tanpa masalah.

Menurut harga sekarang ini, dan cita-citaku yang relatif sederhana, sebuah lukisan saja cukup untuk membuatku kaya dan memberiku kehidupan yang damai, menulis novel, bersantai, dan membaca …. Pikiranku sudah bulat. Aku ingin lukisan Picasso.

Dalam sekejap sebuah lukisan muncul di meja tanpa ada yang memerhatikan. Saat itu orang-orang yang tadinya menempati meja di sebelahku telah beranjak dan pergi, yang lainnya sedari tadi memunggungiku, begitu juga para pramusaji kafe. Aku menahan napas, sambil membatin, Ini milikku.

Lukisan itu bagus sekali: lukisan cat minyak berukuran sedang dari tahun tiga puluhan. Beberapa lama aku mencermati lukisan itu. Sepintas lukisan itu menampakkan anggota badan yang terlepas-lepas berpencaran, garis-garis sengkarut, serta warna-warni liar namun padu. Kemudian aku tersadar akan bentuk-bentuk asimetris yang indah, yang mencelat ke mata, lalu bersembunyi, muncul lagi di suatu tempat, dan bersembunyi lagi. Lapisan warnanya, sapuan kuasnya (lukisan itu dibuat dengan teknik alla prima) merupakan demonstrasi yang menakjubkan akan kualitas yang hanya dapat dihasilkan oleh bakat alam.

Namun kualitas bentuk lukisan itu sekadar ajakan untuk menggali kandungan naratifnya, yang mulai terungkap dengan sendirinya sedikit demi sedikit seakan aku sedang menguraikan hieroglif. Pertama-tama ada bunga, sebuah mawar merah tua, muncul dari kelopaknya yang dilukis dalam gaya Kubist. Di hadapannya, bagaikan pantulan pada cermin, ada sebuah melati yang sesuci perawan dilukis dalam gaya Renaissance, kecuali sulur-sulurnya yang berpilin ke kanan. Dalam benturan antara gambar dan permukaan, yang merupakan ciri khas Picasso, ruang di antaranya diisi oleh lelaki-lelaki kecil yang mirip siput dan kambing, mengenakan topi berbulu, serta pakaian dan celana dari masa Renaissance atau baju baja. Ada satu orang yang mengenakan topi pelawak dengan lonceng. Ada juga sosok-sosok telanjang, cebol, dan berjanggut. Pemandangan ala istana itu dipimpin oleh satu sosok yang mestilah sang ratu, dilihat dari mahkotanya. Ia seorang ratu yang besar sekali dan penyok seperti mainan rusak. Jarang-jarang pemelesetan tubuh wanita, salah satu keunggulan Picasso, dibikin demikian ekstrim. Tungkai kaki dan lengannya menonjol tak keruan, pusar dan hidungnya berkejaran melewati punggungnya, batang tubuhnya bertatahkan gaun satin berwarna-warni, dan satu kakinya, yang terbungkus dalam sepatu raksasa berhak tinggi, menjulang ke langit ….

Mendadak jalan ceritanya terungkap dengan sendirinya. Aku sedang melihat suatu ilustrasi dari sebuah dongeng rakyat Spanyol, atau, agaknya, dagelan, yang asalnya dari genre paling kuno dan kekanak-kanakkan. Picasso pasti sedang teringat akan masa kecilnya. Itu dagelan mengenai seorang ratu yang pincang, yang tidak sadar bahwa ia cacat, dan rakyatnya tidak berani memberitahukan itu padanya. Akhirnya Menteri Dalam Negeri memajukan sebuah strategi untuk memberi tahu sang ratu secara cerdik. Ia mengadakan sayembara bunga. Semua tukang kebun di kerajaan itu bersaing membawakan bunga yang paling indah. Seorang juri yang ahli menentukan dua finalis: mawar dan melati. Keputusan akhirnya, yaitu pemilihan bunga yang menjadi pemenang, diserahkan pada sang ratu. Dalam suatu upacara yang agung, disertai kehadiran seluruh penghuni istana, sang menteri meletakkan kedua bunga itu di muka singgasana, dan ucapnya pada sang penguasa dengan suara yang jelas dan keras, “Su Majestad, escoja,” yang artinya, “Paduka Yang Mulia, putuskanlah,” tetapi jika kata terakhirnya dipenggal, artinya menjadi, “Paduka Yang Mulia pincang.”

Nada jenaka dongeng itu diterjemahkan secara visual lewat para abdi istana yang menganga dalam kesimpangsiuran yang berwarna-warni, lewat sang menteri nan gemuk pendek yang mengacungkan telunjuknya (yang berukuran lebih besar daripada anggota tubuhnya yang lain), dan terlebih lagi, lewat sang ratu, yang tersusun dari begitu banyak bidang yang berpotongan hingga kelihatannya ia habis dicabut dari satu pak kartu yang telah dilipat lebih dari ratusan kali, padahal katanya selembar kertas dapat dilipat dua maksimal cuma sampai sembilan kali.

Dongeng itu mengandung segi-segi yang menarik, yang membuat Picasso memutuskan untuk mengubahnya ke dalam gambar dengan lapis makna yang lebih mendalam. Pertama, fakta bahwa protagonisnya pincang dan tidak menyadari itu. Mungkin saja orang tidak menyadari banyak hal tentang dirinya sendiri (misalnya saja, dalam hal ini, fakta bahwa orang itu genius), tetapi sulit membayangkan betapa itu bisa terjadi pada cacat jasmani yang terlihat jelas seperti kepincangan. Barangkali itu karena keadaan si protagonis yang mulia, statusnya sebagai Yang Satu-satunya, sehingga ia terhindar dari memperbandingkan dirinya menurut standar fisik yang normal.

Yang Satu-satunya, sebagaimana hanya ada satu Picasso. Ada kesan autobiografis mengenai lukisan itu, dan mengenai ide mendasarkannya pada lelucon kanak-kanak yang mestilah dia dengar dari orang tuanya atau kawan sekolahnya, dan bahkan mengenai penggunaan bahasa ibunya secara tersirat yang tanpa itu leluconnya tidaklah lucu dan masuk akal. Lukisan itu diberi tanggal pada masa ketika Picasso sudah tinggal di Perancis selama tiga puluh tahun dan telah menyesuaikan diri seutuhnya dengan bahasa dan kebudayaan negara itu. Maka agak mengherankan ketika dia menjadikan Spanyol sebagai kunci untuk dapat memahami karyanya. Barangkali Perang Saudara Spanyol telah memperbarui unsur patriotik di dalam dirinya, sehingga lukisan ini merupakan penghormatan terhadap tanah airnya yang terkoyak oleh konflik. Barangkali, dan ini tidak terlepas dari hipotesis yang sebelumnya, proses penciptaannya bersumber dari kenangan masa kecil yang bertahan sebagai suatu utang dan mesti dibayarkan saat keseniannya telah memperoleh cukup pengaruh dan kebebasan. Bagaimanapun juga, pada tahun tiga puluhan, Picasso telah dikenal sebagai pelukis yang ulung dalam menggambarkan wanita secara asimetris. Memperumit pembacaan suatu citra dengan memelintir bahasa hanyalah cara lain untuk menjungkirbalikkan, sekalipun wanita itu bermahkota seperti sang ratu dalam lukisan ini.

Ada hipotesis ketiga, yang derajatnya berbeda dari dua yang sebelumnya, mengingat akan asal-usul gaib lukisan itu. Sampai sekarang tidak ada orang yang tahu bahwa lukisan itu ada. Misterinya, rahasianya, tetap utuh hingga lukisan itu mewujud di hadapanku, seorang penutur bahasa Spanyol serta penulis Argentina yang menekuni Duchamp[1] dan Roussel[2].

Bagaimanapun juga, ini suatu karya yang unik dan khas, bahkan di antara karya lainnya dari seorang seniman yang baginya unik itu harus. Harga lukisan ini pasti dapat menembus rekor. Sebelum mengangankan kemakmuran masa depan lebih jauh, aku sempatkan lagi sejenak untuk merenungkan mahakarya tersebut. Aku pun tersenyum. Ratu kecil yang mencong-mencong ini, yang anggota badannya ke mana-mana sehingga mesti disusun ulang, terasa menyentuhku, dengan wajahnya yang (ternyata) mirip biskuit, mahkotanya yang berwarna emas seperti bagian dalam kemasan cokelat, serta tangannya yang menyerupai boneka. Ia merupakan pusat di suatu ruang nirpusat. Kerumunan penghuni istana, penonton sesungguhnya yang dilukis secara menakjubkan, tengah menanti keputusannya. Pudarnya sosok kedua bunga itu mengingatkan akan waktu, yang tidak terasakan lamanya oleh sang ratu melainkan dalam sekejap saja ia terpahamkan, akhirnya tersadarkan, setelah seumur-umur hidup dalam ilusi.

Dapat dibayangkan versi yang lebih jahat dari lelucon tersebut: sang ratu sudah tahu bahwa ia pincang (bagaimana mungkin ia tidak tahu?), namun karena tata krama, rakyatnya tidak membuka pembicaraan tentang hal yang lebih suka dihindarinya itu. Suatu hari para menteri menantang satu sama lain untuk mengemukakan itu pada sang ratu. Ini mungkin terasa lebih realistis, tetapi lukisan itu tidak menggambarkannya demikian. Tak seorang pun hendak menjadikan sang ratu sebagai bahan olokan. Tak seorang pun hendak menghinakan dirinya. Semua penghuni istana mencintainya dan menghendakinya supaya menyadari itu. Di balik pesan tersurat (“putuskan”), terdapat pesan tersirat (“pincang”) yang ditujukan padanya. Sang ratu akan mendengar itu dan seketika menyadari mengapa bumi berguncang saat ia berjalan, mengapa keliman gaunnya dipotong diagonal, dan mengapa pejabat istana buru-buru mengulurkan lengannya setiap kali ia harus menuruni tangga. Mereka menggunakan bahasa bunga, sarana abadi untuk menyampaikan cinta. Ia mesti memilih bunga yang paling indah di kerajaan, sebagaimana diriku harus memilih di antara dua pemberian yang ditawarkan si jin ….

Seketika itu juga kesadaran menimpaku, membekukan senyum di wajahku. Entah mengapa aku tidak terpikir sebelumnya, tetapi yang penting sekarang itu terpikir olehku. Rasanya seperti berada di dalam mimpi buruk, dibayang-bayangi oleh petaka yang tak mungkin dipecahkan, sehingga aku merasa cemas. Aku masih berada di dalam museum. Cepat atau lambat aku harus pergi. Kehidupanku sebagai orang kaya hanya dapat terjadi di luar sana. Dan bagaimana mungkin aku meninggalkan Museum Picasso sambil membawa lukisan Picasso?[]



César Aira menulis dalam bahasa Spanyol. Cerpen ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Chris Andrews yang termuat dalam The New Yorker, 11 Agustus 2014.



[1] Henri-Robert-Marcel Duchamp (28 Juli 1887 - 2 Oktober 1968), seniman Perancis yang kemudian menjadi warga negara Amerika Serikat pada 1955.
[2] Albert Charles Paul Marie Roussel (5 April 1869 - 23 Agustus 1937), komposer Perancis.

Tidak ada komentar: