Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170920

An Evening of Long Goodbyes, Bab 13 (2/2) (Paul Murray, 2003)

Mirela menjangkau ke punggungnya lalu menarik ritsleting gaunnya ke atas. Ia bangkit dan menarikku ke kasur di sampingnya. “Kukira aku sudah menjelaskannya padamu,” ucapnya. “Dulu aku punya kehidupan. Tetapi kehidupan itu sudah berakhir. Kenanganku berasal dari hal-hal yang sudah tidak ada lagi. Dunia diam saja dan membiarkannya terjadi dan sekarang yang kumiliki dari rumah tinggal ini—lihat, Charles,” seraya mengangkat gaunnya memperlihatkan belat kasar yang terbuat dari baja serta kayu gosong koyak-koyak. Terkelu aku menatap benda itu, lantas kembali menjauh dari dirinya. Setidaknya ia terlihat cukup tenang. “Tidakkah kamu mengerti, Charles?” ucapnya lembut. “Apakah aku harus mengejakannya untukmu? Tidak ada satu pun dari semua ini yang berarti bagiku. Tidak kamu, tidak juga adikmu, tidak juga rumah tempat kalian dibesarkan. Aku akan bermain di teater. Aku akan berada di papan iklan jika mereka menginginkannya. Aku akan berusaha keras supaya sukses. Tetapi tidak ada satu pun yang benar-benar berarti bagiku. Ketika melihat orang-orang di sekitarku, yang kudapati hanyalah bidak-bidak kecil di papan permainan.”

Ia menepuk tanganku. Tanpa daya kupandangi tatapan lembut sepasang mata biru nan asing itu. Nun jauh gedoran kembali terdengar. “Kamu tidak akan membukakannya?” ia berucap.

Mati rasa aku beranjak, segera mengenakan kimono, dan keluar menuju ruang tamu, di mana pintu bergetar pada engselnya. “Baiklah, baiklah, ya Gusti ….” Sembari menyumpah, aku membukakan pintu itu. “Oh,” sahutku.

“Bolehkah aku masuk?” kata Bel.

“Hmm,” ujarku seraya menempelkan jari ke bibir, “kamu tahu sekarang mungkin bukan waktu yang tepat ….”

Namun ia telanjur terhuyung-huyung melewatiku, sembari menyeret koper di belakangnya. “Gelap banget di sini,” tegasnya. “Maksudku bagaimana kamu bisa melihat?”

Tentu saja ini tidak boleh terjadi—aku meneguk ludah dan menyekakan kedua tanganku ke kimono. “Ya, itu karena kamu tahu kan jam berapa sekarang?” terburu-buru mengalihkan Bel ketika ia membelok secara berbahaya menuju ujung pelimbahan, lantas dengan jemari gemetar mengambil macis untuk menyalakan petromaks—“kamu mau apa kemari—masyaallah ….”

Ia terlihat kacau. Riasannya kocar-kacir, hingga seputar matanya tercoreng oleh lingkaran hitam dan penampakannya bak lukisan bergaya Kubisme yang mengerikan. Di balik mantel merahnya, gaun berwarna sampanye yang indah itu menjuntai kuyup mengitari tubuhnya, bagaikan sayap ngengat mewah yang kehujanan, padahal tidak sedang hujan. Dipijari lampu ia bergoyang-goyang di bawahku, menguarkan aroma serupa alkohol yang saking menyengat hingga mataku berair ketika berada di sampingnya.

“Kamu merah begitu,” ucapnya, seraya menyipitkan mata ke arahku. “Kamu sedang berbuat apa?”

“Berbuat?” cicitku, sembari refleks mengerling pada sekeping gelap di pintu kamarku. “Enggak berbuat apa-apa kok. Mungkin karena malam ini udaranya hangat, kamu enggak merasa hangat biarpun bukan musimnya?” Namun Bel sudah melupakan pertanyaannya dan lanjut sempoyongan menuju sofa, tempat ia menaruh kopernya. “Nah, Bel,” aku melompat melewati dia, terburu-buru memindahkan gelas anggur berbekas lipstik lalu menyembunyikannya di kantong kimono. “Nah, Bel, aku—“

Aromanya harum, aku enggak ingat di sini aromanya harum ….”

“Oh ya,” sembari membuka jendela dan dengan bersemangat menggiring masuk udara segar, “ya, Laura tadi mampir bakar kemenyan banyak banget. Nah, Bel—“

“Ada yang bisa diminum?”

“Kurasa mungkin kamu sudah cukup banyak minum,” kataku, lantas, dengan enggan, kusambung: “Kubuatkan teh kalau mau.”

“M’ngkin kamu benar,” sahutnya, sembari roboh ke sofa. “Sampai tiga kali tadi aku menyuruh taksinya berhenti karena kukira aku bakal ….” Ia menilik dompetnya seakan-akan mengandung petunjuk akan seluruh perkara ini, lantas membolak-baliknya dan mengguncang-guncangnya, tanpa hasil. “Kurasa ia pasang tarif ketinggian,” simpulnya muram.

Aku masuk ke dapur dan menyiapkan cerek, lalu berdiri menaungi bak cuci sambil memeras otak. Apa-apaan dia kemari? Bagaimana aku mengusirnya? Kan bisa saja ia memilih malam lainnya untuk mengunjungiku ….

Cereknya sudah berbunyi. Syukurlah, setidaknya Mirela tahu supaya tetap di kamar. Lagi pula sangat mungkin Bel terlalu mabuk untuk menyadari ada yang salah.

“Oh ya Tuhan …. Apa ini?”

Dengan jantung berdebar, tergopoh aku menuju ruang tamu dan melihat dia tengah mengamati seberkas halaman yang terlipat-lipat.

“Letakkan itu,” perintahku.

Ada Orang Bosnia di Lotengku! Sebuah Tragedi Tiga Babak oleh Charles Hythloday—“

“Kemarikan dong,” kuulurkan tanganku. Ia menghindar lalu membalik halaman.

“’Plot’.” Dibaliknya halaman itu, lalu kembali, lalu melanjutkan ke halaman-halaman lainnya. “Itu saja yang kamu tulis?”

“Kan perlu waktu,” ujarku jemawa. “Kalau ingin penggarapannya matang.”

Ada Orang Bosnia di Lotengku.” Ia meringkuk. “Jangan bilang kamu lagi menulis autobiografimu.”

“Ya memang sih ada unsur autobiografisnya,” kataku. “Walau bisa kamu lihat Follynya kuganti menjadi loteng. Kupikir orang bisa lebih mengaitkan diri kalau itu berupa loteng.”

Mengaitkan diri ….” Ia bergulir ke belakang, sembari mengerang, dan melipat berkas itu di atas mukanya. “Putra ibu-ibu nan kaya raya bermenung soal rumah, sembari mempermainkan jempolnya, mengadakan percakapan imajiner dengan mendiang ayahnya …. Gusti, Charles, barangkali cuma kamu yang merasa kehidupan bodoh kita ini menarik atau, atau mendidik ….”

“Hanya karena orang tidak menjalani kehidupan rakyat jelata bukan berarti kisahnya tidak menarik untuk diceritakan,” ujarku kukuh. “Itu kan prasangkamu saja. Lagi pula, dengan kamu bilang begitu, kesannya jadi agak seperti Hamlet.”

Bel bergumam tentang kisah yang diceritakan oleh seorang idiot dan tidak memberikan perlawanan apa pun saat aku membungkuk dan memunguti lembaran yang terserak menutupi wajahnya, malah sembari terkantuk-kantuk separuh terbenam ke dalam sofa mengutarakan ocehan suram bahwa suatu hari ia akan memberitahuku satu-dua hal mengenai Ayah dan lihat saja betapa berfaedahnya itu. Pada saat-saat seperti ini ia gemar membuat maklumat tak menyenangkan: aku tidak ikut-ikutan. Aku melintas ke kamarku dan, tanpa melihat ke dalam, melemparkan halaman-halaman itu ke balik pintu. Setelah memasukkannya ke kamar dan, mendengar bunyi klik pada kancing pintu, kurasakan jantungku mulai mereda debarannya. Aku kembali ke dapur lalu menuang teh. “Boleh aku bertanya apa gerangan sebabnya kunjungan yang menyenangkan ini?”

Bel tidak menyahut. Ia berbaring dengan kedua tangan terlipat lunglai di atas perutnya, sambil memandangi langit-langit seakan-akan sedang mengamati rasi bintang. Kuletakkan cangkir di depannya. “Bel, kenapa sih kamu kemari?”

Timbul jeda, kemudian ia berkata lambat-lambat, “Aku minggat dari Amaurot.”

Hatiku kacau lagi. “Kamu minggat?”

“Aku tidak sanggup di sana lebih lama lagi,” ujarnya. Sejenak ia memegangi kepalanya, lalu berucap, “Tidak sedetik pun.”

“Tetapi kamu kan tadi sudah tidur,” aku mendesaknya, seraya mengunci kedua belah tanganku. “Waktu aku pergi kamu kan sudah tidur. Maksudku ada apa sih, apa ada yang melubangi kantong kompresmu?”

“Aku enggak bisa tidur,” sahutnya. “Mereka berisik, nyanyi-nyanyi lagu dan …. Jadi aku pun turun mau ambil minum. Setelah minum aku merasa membaik, jadi aku tetap di situ. Aku lagi minum White Russian tetapi kemudian krimnya kuhabiskan jadi kupikir logisnya kulanjutkan saja dengan Black Russians dan sewaktu sedang mencari koka kola di dapur dia masuk.”

“Kapan yang masuk itu? Harry?”

“Jangan sebut namanya.” Ia membalikkan badan ke samping. “Aku enggak mau dengar namanya. Ia masuk dan bukannya meninggalkanku ia malah berkata-kata padaku. Ia terus saja bicara. Minta maaf karena tidak mengutarakan segalanya dari awal tetapi dengan adanya orang-orang ini di sekitarnya ia tidak mau bertingkah, juga tentang betapa jika kami peduli kami semestinya tidak menghendaki untuk memiliki satu sama lain, juga tentang betapa teater ini lebih penting daripada kami berdua. Aku berdiri saja mendengarkan dia, sementara yang kuinginkan cuma minum koka kola, dan aku pun mulai berpikir, ini enggak nyata, ini pastilah semacam pertanda, ini seperti semesta mengatakan untuk sekali-kalinya bisakah kamu keluar dari situ—“

Bahuku merosot. “Kamu enggak akan mulai lagi perkara rumah itu, kan?” ujarku lemah. “Karena sudah cukup bagiku tanpa perlu diberi tahu bahwa aku tidak lagi hidup di rumah itu.”

“Tidak, tetapi—yah, iya,” sembari menarik tubuhnya supaya tegak lurus dan menatapku sungguh-sungguh melalui topengnya yang tercoreng oleh berbagai warna. “Maksudku aku jadi menyadari bahwa enggak ada yang bakal berubah di rumah itu. Harry itu cuma salah satu persoalan saja. Maksudku, kamu sepenuhnya benar soal dia. Kalau dipikir-pikir, mungkin lebih baik ia bersama Mirela. Mungkin mereka cocok dengan satu sama lain. Namun kenyataannya enggak penting apakah di rumah itu ada teater atau enggak. Saat itulah aku menyadari selagi Harry berpidato. Segala alasan yang membuatku ingin pergi—semuanya tetap ada di rumah itu, senantiasa ada pada rumah itu, merupakan bagian dari rumah itu. Mendadak kabut ini seperti tersingkap dan aku bisa melihat bahwa segala yang telah kuperbuat itu pokoknya salah, bahwa tidak baik cuma menunggu datangnya perubahan. Maka aku pun mendengarkan dengan sopan dan begitu ia selesai aku naik, mengemas koper, dan memanggil taksi. Semestinya aku melakukan ini bertahun-tahun lalu. Entah kenapa aku tidak melakukannya dari dulu. Sepertinya waktu dulu aku takut.”

Bel dan pertanda yang dilihatnya! Segalanya mestilah merupakan pertanda, tidak ada yang sekadar hasil dari firasat buruk ataupun perencanaan yang kurang matang.—“Biar begitu, kamu enggak bisa begitu saja minggat,” ucapku lemah. “Maksudku, ke mana tujuanmu?”

Matanya membesar, seakan-akan terkejut karena aku belum menebak-nebak. “Yah, kupikir aku akan tinggal di sini bersamamu.”

“Di sini?” ulangku. “Bersamaku? Sekarang juga?”

“Bersamamu dan Frank,” sahutnya. “Apa salahnya itu? Kurasa itu bisa jadi menyenangkan.”

Aku melintas ke belakang sofa lalu mondar-mandir, sambil meremas-remas kedua belah tanganku dengan bingung serta mengerling ke belakang pada pintu kamar yang tertutup. “Tidakkah nanti suasananya bakal canggung? Bagaimana dengan, katakanlah, sejarah antara kamu dan Frank?”

“Itu bukan sejarah,” sahut Bel. “Aku yakin ia enggak bakal keberatan.”

“Iya, tetapi—yah, sebagai permulaan saja, kamu mau tidur di mana?”

“Kurasa aku bisa tidur di sofa, tolong jangan sok jadi penjaga moral ….”

“Bukan itu, cuma agak canggung saja, kamu tahu kan biasanya Droyd yang tidur di sofa—“

“Yah, kalau begitu di kursi, atau di lantai, peduli amat—Charles, kenapa sih kamu enggak duduk saja? Kenapa kamu mengendap-endap begitu?”

“Aku enggak mengendap-endap kok.”

“Iya, kamu menggelisahkanku saja,” ujarnya.

Aku pun duduk di kursi di seberangnya dengan seterang-terangan mungkin.

“Karena itukah kamu enggak mau aku di sini? Kalau iya, katakan saja.”

“Bukan, bukan,” seraya mencondongkan badan untuk menenangkan dia, “sama sekali bukan karena itu. Aku cuma khawatir kamu bersikap gegabah.”

“Aku enggak gegabah ya,” sahutnya. “Maksudku kan sudah bertahun-tahun aku mempersoalkan ini.”

“Iya, tetapi—“ tanpa sadar aku melambung dari kursi dan kembali mondar-mandir, “tidakkah kamu menyadari, hanya saja dalam keadaan begini risikonya bakal—maksudku sering kali tindakan terbaik dalam mengatasi persoalan begini yaitu—pulang dan tidur, kemudian paginya saat kamu bangun kamu bisa memikirkannya dengan tenang—“

“Aku memikirkannya sepanjang waktu. Aku sepenuhnya yakin soal ini, Charles. Itulah sebabnya aku mesti segera meninggalkan rumah itu, sebelum ia memerangkapku lagi dan segalanya menjadi kacau. Sebab mungkin saja aku enggak ditakdirkan sebagai aktris. Mungkin saja semestinya aku menjadi selain itu dan aku belum tahu apa itu.” Ia mengusap-usap mata dengan semangat, hingga celaknya mencoreng sampai ke batas rambut kepala. “Jadi pertimbanganku aku bisa tinggal di sini bersamamu sampai aku mengetahui apa yang mau kuperbuat dengan hidupku, dan setelahnya mungkin kita bisa mencari tempat tinggal bersama—“

Aku terdiam. “Bersama?”

“Duitku enggak banyak, jadi untuk sementara kamu mesti menghidupku. Tetapi aku bisa mencari kerja, dan beberapa bulan lagi dana perwalianku akan—“

“Tunggu,” sahutku. “Bersama?”

“Lebih gampang mencari tempat buat berdua,” ujarnya. “Lagian kamu ingin keluar dari sini, bukan?”

Aku terempas ke kursi, seraya mengusap-usap rahangku. “Kamu serius?” ucapku. “Ini bukan efek dari minum White Russian?”

“Aku enggak bisa balik ke sana, Charles,” ucapnya pelan. “Aku enggak bisa balik ke sana, pada Harry, Mirela, dan Bunda, serta perusahaan telepon yang mengerikan itu berikut taktik pemasaran mereka. Rasanya seperti—rasanya seperti Perancis Vichy[1]. Hanya dengan membayangkan bangun di sana dan membacakan dialog itu, dialog karangan Harry, aku jadi mual betul.”

“Tetapi bagaimana dengan—bagaimana dengan Chekhov? Bagaimana dengan sandiwara yang hendak kalian pentaskan itu, bagaimana dengan itu?”

“Mereka memutuskan untuk enggak mementaskan Chekhov,” ucapnya.

“Enggak jadi? Kenapa enggak?”

“Karena enggak ada adegan pakai telepon,” ia menyahut suram, kemudian mengangkat bahunya padaku dalam kemuraman cahaya. “Kamu mengerti kan, kamu satu-satunya orang yang tersisa, Charles. Sedih kedengarannya, agaknya dalam hidupku tinggal kamu yang benar-benar bisa kupercaya.” Ia meletakkan cangkirnya lalu mengetok kedua lututnya bersamaan. “Tetapi bagaimana menurutmu? Tidakkah itu menakjubkan, memulai lagi semuanya dari awal?”

Aku tidak tahu mesti berpendapat apa. Aku tidak sanggup berpikir. Mendadak segalanya tampak begitu kabur. Bisakah kami benar-benar memulai kembali? Melupakan rumah itu, menyerahkannya pada orang-orang yang tak tertanggungkan itu, sementara segenap kehidupan kami, segala yang merupakan diri kami terikat padanya? Sementara di sini sekalipun, kala terkucil dalam jebakan tikus milik Frank, aku selalu mengharap suatu saat akan kembali, bahwa nasib Amaurot begitu pula diriku akan bergandengan selamanya …. Namun barangkali Bel benar adanya: barangkali rumah itu memang memiliki kepentingannya sendiri yang harus dijaga. Barangkali rumah itu memang telah menemukan para pengganti, dan menempa mereka menjadi putra dan putri yang tidak pernah sungguh-sungguh berhasil kami lakoni, dan dua sejoli baru inilah yang akan memetakan strategi rumah itu segera setelah ini, yang akan mengisi ruangan-ruangannya dengan kegembiraan, gelak tawa, dan pakaian berbahan brokat terbaik, serta menjalani kehidupan para turunan pembesar ….

Yah, kalaupun demikian, bukankah kami telah berbuat yang sebaik-baiknya? Bukankah ini jalan yang terbaik untuk saat ini? Akhirnya kami berdua bersatu lagi, mengarungi dunia di atas Penyimpangan Besar-besaran …. Seiring dengan gagasan itu mengepakkan sayapnya dalam benakku, dan kota terbentang di hadapanku berikut segala tempat yang dapat kami tuju, angin berembus melewati jendela: mengombak ke celah-celah berdebu, melintasi taplak-meja kotak-kotak, raket tenis berdebu, serta renda Chantilly yang menguning, melewati segala bukti lusuh akan seratus kehidupan usang. Kurasakan senyum takjub lagi tolol mengembang di wajahku; dan sesaat, bertumpangtindih dengan kaki langit Bonetown yang kelam, kulihat kilauan cahaya matahari di sela-sela cabang pohon, berikut kata-kata Hari ini awal sisa hidup Anda ….

“Charles, jangan bergerak.” Manik mata Bel yang terbeliak terpancang pada titik tepat di atas pundak kananku.

“Eh?”

“Ada laba-laba gede banget di sandaran kursimu.”

“Ugh!”

“Jangan bergerak,” ucapnya lagi, seraya menyipitkan mata menembus gelap. “Gusti, itu laba-laba paling gede yang pernah kulihat ….”

“Tolong, cepat, bunuh dong!” erangku.

“Bisa sial kalau bunuh laba-laba,” Bel memperingati.

“Yah, lakukan sesuatu kek—ugh, sepertinya si laba-laba itu mengawasiku ….”

“Baiklah, tetap tenang ….” Aku mengetatkan gigi, duduk bergeming sama sekali sementara ia mengulurkan tangan pelan-pelan untuk meraih panduan acara TV, menggulungnya dan kemudian—dengan kegesitan tak ternyana, mengingat White Russian yang telah diminumnya—melompat dan melancarkan serangan kilat ke punggung kursi, berkali-kali—hingga diiringi gedebuk pelan si laba-laba malang itu menyambar tanah. Aku pun kembali rebah dalam kubangan keringat sementara Bel terhuyung-huyung ke balik kursi untuk memeriksa jasad hewan itu.

“Sudah mati?” kataku, sambil menepuk-nepuk kening.

Ia tidak menyahut.

“Hei,” tegurku.

Namun keheningan yang janggal itu berlanjut. Lantas kudengar ia berkata, “Tunggu sebentar. Itu bukan laba-laba.”

Begitu ia mengatakannya, aku menyadari yang terjadi, dan seketika bangkit dari dudukku. Namun terlambat. Bel sudah berdiri, sambil memegang selembar sarung tangan hitam panjang.

Tentu saja ia mengenali benda itu: bukannya hendak bertele-tele, tetapi sarung tangan itu cocok benar dengan miliknya. Tidak mungkin aku bisa melarikan diri dari situasi ini. Cepat-cepat aku mundur hingga ambang pintu dapur, seraya mengawasinya menatap sarung tangan itu dengan terheran-heran, berusaha untuk memahami keberadaannya di apartemenku. Seiring dengan memucatnya wajah Bel, aku tahu ia telah mengerti. Seiring dengan rebahnya ia ke sofa disertai tatapan hampa, aku tahu ia tengah mengingat segala yang baru dikatakannya mengenai kepercayaan, dan awal yang baru, tetapi yang terutama adalah kepercayaan. Kilauan cahaya matahari dan pepohonan pun surut ke eter.

“Aku bisa menjelaskan,” kataku, tetapi hanya karena mau tidak mau.

“Dia ada di sini?” ucapnya, sambil meneguk ludah. “Apakah dia di sini sedari tadi?”

“Jangan tanyakan itu,” pintaku. “Maksudku ini enggak seperti kelihatannya.”

“Itulah yang dikatakan Harry,” ucapnya pilu, di balik warna-warna yang bercoreng-moreng. “Itulah persisnya yang dia katakan.”

“Ya, tetapi,” aku memaksakan diri. “Ya, tetapi, maksudnya itu ....”

“Oh, Charles,” ia bergumam, sambil menggeleng-geleng.

Ia tidak mengucapkannya sembari melaknat atau mendendam. Jika demikian, boleh jadi aku tidak akan merasa sebegitu buruk. Alih-alih nadanya lebih seperti yang lelah, sedih tanpa menghakimi selayaknya yang terucap dari orang-orang ketika mendengar berita tentang merosotnya kemanusiaan dengan cara yang berimbas. Nada itulah yang digunakan Bel sedari kecilnya untuk menanggapi kesalahan-kesalahanku yang lebih besar. Seraya berdiri dengan muram, aku mendapati diriku terbawa pada suatu petang yang silam: petang ketika aku berhasil menjual jam saku Ayah lewat suratkabar yang dikhususkan bagi pembeli perantara, dengan melenyapkan benda itu dari laci ruang studinya, supaya terkumpul uang untuk membeli jam beker digital sebagai hadiah ulang tahunnya. Jarang-jarang aku punya rencana—yang lebih merupakan keahlian Bel—dan kali ini aku merahasiakan ini termasuk pada Bel sampai aku pulang dari Dun Laoghaire membawa jam beker yang dengan hati-hati kusembunyikan di kotak bekalku, sehingga dapat mempersembahkannya pada dia sebagai suatu fait accompli[2]. Namun ia tidak menerima rencana ini dengan kekaguman tak terhingga sebagaimana mestinya. Sebaliknya: ia membelalakkan mata seraya menggelengkan kepala lambat-lambat dan mengucap, “Oh, Charles,” dengan nada takjub sebagai ini, seperti tokoh dalam Kisah-kisah dari Mitologi Yunani yang selalu dibacanya seakan-akan aku telah memecahkan sesuatu yang penting, sangat penting, yang melampaui kemampuan siapa pun untuk memperbaikinya, misalnya saja Dunia—

Akan tetapi, pada waktu itu aku yakin diriku benar. “Aku enggak mengerti kamu kok marah begitu,” kataku. “Ayah enggak bakal marah lah. Kenapa juga Ayah marah?”

“Kamu tahu enggak sih?” ujarnya, seraya melepaskan jarinya dari mulut. “Jam itu tuh punya kakek.”

“Lah, terus kenapa? Itu kan jam tua. Malah kupikir jamnya sudah enggak berfungsi lagi. Yang ini kan baru. Ada radionya dan kalau gelap angkanya kelihatan. Ayah tuh perlu jam beker. Ayah susah bangun, makanya Bunda suka teriak-teriak padanya. Ayolah, kamu bisa menganggap ini kado dari dirimu juga. Aku enggak keberatan kok.” Tetapi bukannya beralih menyetujui tawaran manis yang tak mementingkan diri sendiri ini, Bel menutup wajahnya dengan kedua belah tangan, seakan-seakan berharap situasi ini lenyap.

“Biar aman, mungkin kita bisa membeli jam lagi,” aku berpikir-pikir. “Yang sama persis dengan jam yang lama. Atau mungkin saja Ayah enggak bakal memerhatikan jamnya hilang. Atau mungkin saja Ayah bakal tahu, tetapi enggak bakal marah.”

Namun Bel hanya berdiri, sembari menggeleng-gelengkan kepala, mengayunkannya ke sana kemari, terus mengulang “Oh, Charles,” dengan nada yang sebentar kemudian menjadi menjengkelkan dan benar-benar mulai mengusik

“Lah, terus mau bagaimana dong?” akhirnya aku berseru. “Kamu harus kabur,” serta-merta Bel menjawab, dan merupakan kesenangan kecilku. “Baiklah,” sahutku pedas, “kalau begitu, kamu juga.” “Kenapa aku juga?” ucapnya. “Entahlah,” kataku jengkel.” “Karena kamu juga bakal dihukum.” “Kenapa aku dihukum juga? Aku kan enggak berbuat apa-apa.” “Pokoknya mereka bakal menghukummu, kamu tahu kan mereka itu bagaimana—ya sudah, sampai jumpa, sepertinya kita enggak bakal bertemu lagi—“ “Charles, tunggu!” seraya mengejarku keluar dari kamarnya, menuruni tangga, dan keluar dari rumah untuk memulai hidup baru kami di gazebo, yang berlangsung dengan cukup membahagiakan hingga senja kala, saat Bel—yang pada waktu itu sangat takut gelap, sungguh-sungguh tidak menyukai segala citra mengenai kegelapan, tengah mengembangkan keragu-raguan suram akan kemungkinan matahari, begitu boleh lengser, akan kembali terbit, sekalipun ketika ada yang memberi tahu dia bahwa menurut pengalaman orang itu, yang ingatlah bahwa usianya delapan tahun sementara Bel lima tahun, biasanya terbit lagi: “Tetapi bagaimana kalau enggak?” begitu ujar Bel, dengan berbisik kalau-kalau matahari akan mendengar, “terus kita bagaimana?”—saat Bel mulai menangis, dan terus menangis, dan tidak reda juga sekalipun aku sudah menyalakan radio pada jam beker itu, hingga akhirnya, karena khawatir napasnya bakal berhenti, aku menggandeng lagi tangan Bel dan membawanya melintasi rerumputan, rumah menyembul seram dari aram-temaram, dinginnya kengerian menyambar-nyambarku, namun adil ya adil, Bel sudah bersikap sportif di awal dengan seluruh perkara kabur-kaburan ini, ia bagus dalam hal beginian, Bel itu, sekalipun ia perempuan, kalau saja ia tidak menangus terus-terusan, dan kami pun memutar ke pintu belakang dan mengetuk supaya dibukakan pintu oleh babu mana pun yang ada di situ saat itu, lalu bersama-sama berderap menemui Ayah di ruang duduk untuk menerima hukuman kami ….

Hanya saja saat ini, sudah tentu, tidak ada gazebo sebagai tempat melarikan diri, tidak ada wewenang lebih tinggi yang mengadili ataupun menghukum; yang ada hanya kenyataan, yang terbaring tanpa daya bak sarung tangan di meja. Kami sama-sama tidak yakin akan tata caranya; maka kami pun hanya berdiri, dengan agak lunglai, seakan-akan ruangan itu kekurangan oksigen. Kelihatannya mestilah rada menggelikan, dengan kami berdua sama-sama mengantongi tangan, menatap hampa, mencari kata-kata untuk memutuskan, mengungkapkan, atau setidaknya menghidupkan lagi suasana, mengeluarkannya dari momen yang buruk ini. Lalu Bel beranjak dan melangkah ke luar. Aku berusaha menyusul dia, namun kakiku terperangkap di raket tenis Dunlop yang bolong itu, dan begitu aku terbebas dan turun ke jalan ia tidak terlihat di mana pun. Maka, bagaikan orang yang berada dalam ruangan penuh cermin, atau mimpi berlapis-lapis yang tak ada habisnya, aku terseok-seok kembali ke atas, mendorong pintu kamarku hingga membuka—hanya untuk mendapati ruangan itu telah kosong: lebih kosong daripada lemari pesulap, lebih kosong daripada semestinya.




[1] Sebutan bagi Negara Perancis setelah ibukotanya dipindahkan ke Vichy pada masa pendudukan Jerman, 1940-1942
[2] Ketentuan yang harus diterima

Tidak ada komentar: