Bel tidak kembali. Aku tahu ia tidak akan kembali. Meski
begitu, aku tetap menunggu sekitar sejam, di pinggiran ruang pesta, sambil
meminum gimlet dan terkatung-katung di sekitar percakapan orang lain. Tuan-tuan
bersetelan membicarakan investasi lepas pantai, properti, golf. Nyonya-nyonya
membicarakan properti, liburan, operasi plastik, aksi sosial.
Selagi berjalan ke luar rumah, aku mendengar percekcokan
berlangsung di ruang penitipan barang. “Saya tidak yakin kamu mengerti peliknya
masalah ini,” seorang nyonya memberi tahu Frank dengan suara nyaring
dibuat-buat yang dapat memecahkan kandil. “Ini bukan cuma soal harganya. Bulu
rubah itu tidak tergantikan. Itu benda bersejarah, bisa kamu mengerti?”
“Yah, kan enggak ada,” kata Frank dengan nada memungkas.
“Tetapi di mana lagi dong?” suara perempuan itu naik lagi
beberapa oktaf. “Di mana lagi, coba?”
“Kabur kali,” imbuh Frank. “Dia enggak mau diam di rumah
terus kali.”
“Rubahnya sudah mati!” wanita itu meraung, sambil menggebrakkan sebelah tangannya yang penuh permata pada meja, lantas, seakan-akan terkejut oleh perkataannya sendiri, ia terhuyung-huyung mundur sementara tangannya yang itu juga mencengkeram batang lehernya. Sepertinya diskusi ini sudah berlangsung beberapa lama. Aku merasa rada kasihan pada wanita itu, namun kutegakkan kerah bajuku dan terus saja menatap pintu depan.
“Rubahnya sudah mati!” wanita itu meraung, sambil menggebrakkan sebelah tangannya yang penuh permata pada meja, lantas, seakan-akan terkejut oleh perkataannya sendiri, ia terhuyung-huyung mundur sementara tangannya yang itu juga mencengkeram batang lehernya. Sepertinya diskusi ini sudah berlangsung beberapa lama. Aku merasa rada kasihan pada wanita itu, namun kutegakkan kerah bajuku dan terus saja menatap pintu depan.
Di luar malam jernih, dingin, dan menggigit bibir serta
cuping hidungku. Salah seorang anak buah sanggar sedang berdiri di puncak jalan
mobil di halaman dengan mengenakan seragam pesuruh yang ketinggalan zaman (yang
ditemukan di antara timbunan benda-benda antik yang digali Harry di loteng),
mengarahkan mobil-mobil yang keluar dengan jemari membiru dan paras tabah.
Selagi mobil-mobil itu berjalan keluar, cahaya lampunya yang berayun-ayun
menimbulkan bayang-bayang gila, wajah-wajah licik dan berbonggol-bonggol pengundang
setan pada batang dan ranting pepohonan yang sedang terlelap. Di luar pagar
tanaman terlihat pula cahaya lain yang tengah menyala-nyala di dalam sarang
Mbah Thompson. Bunda telah mengirim undangan pertunjukan sandiwara pada
Olivier, meskipun kurasa ia tidak benar-benar mengharapkan kedatangannya.
Olivier tidak terlihat sejak pemakaman si mbah. Ia bahkan tidak menanggapi
ketukan di pintunya. Segala macam kabar burung berseliweran: konon surat wasiat
si mbah, yang menyatakan segalanya diwariskan untuk Olivier, tengah digugat oleh
keponakan gelapnya yang tinggal di Australia; konon keponakan ini tengah
merencanakan untuk merobohkan bangunan tua itu dan mendirikan rumah-rumah baru
untuk dijual; konon Olivier, karena sikapnya yang keras kepala, menolak
berbicara dengan para pengacara Thompson, atau siapa pun juga.
Aku menuruni undak-undakan, lantas mengarah pada barisan
taksi yang menanti di pagar, sambil berharap salah satunya dapat dibujuk untuk
mengantarku pulang ke Bonetown. Namun seketika aku melewati pohon laburnum,
satu sosok melangkah ke depanku. Aku pun tertahan. Sejenak kami sama-sama
bergeming saja, berdiri sembari bertatapan.
“Kukira kamu sudah tidur,” kataku akhirnya.
“Belum,” sahutnya, sembari mengusap-usap pergelangan
tangannya. Seluruh tubuhnya menggigil. Entah sudah berapa lama ia menunggu di
luar sini, di antara pepohonan.
“Yah—“ Usai berbasa-basi, aku pun hendak melanjutkan langkah,
namun ia mendahuluiku dan mengadangku lagi.
“Aku ikut,” ucapnya.
Kutatap dia.
“Aku harus,” ucapnya tersendat-sendat. “Aku perlu keluar dari
sini barang sebentar.”
Aku terdiam lantas berkata, tanpa kehangatan, “Memangnya kamu
mau ke mana?”
“Ke mana saja,” sahut Mirela.
Sekarang ini kupikir semestinya waktu itu aku melewatinya
saja. Setelah malam itu, apa lagi yang bisa kami percakapkan? Namun
kegalauannya itu menampakkan sesuatu—matanya yang panik, gerak tubuhnya yang
gelisah—tampak menghipnosis, sebagaimana tabrakan mobil pun dapat menghipnosis.
Biar begitu, atau karena itu, aku jadi tertarik. Lagi pula hidup kan tidak
seperti di film-film: tidak ada gemuruh ombak sebagai latar suara, tidak ada
kamera yang menyorot dari atas menunjukkan kepasrahan, tidak ada yang
memberitahumu bahwa pada saat inilah hidupmu akan berubah. Alih-alih rasanya
seperti kereta yang dengan senyap berganti rel, setelah separuh perjalanan
berganti haluan menuju sepanjang bagian lain malam itu. Mirela menatapku lagi
dengan ekspresi polos yang janggal itu. “Kumohon, Charles,” ucapnya. Dan aku
pun teringat pada tangannya yang bergerak melingkupi tanganku di susuran tangga
kala itu, matanya memandangku dengan desakan halus bak selembar daun bunga di
permukaan air.
Hampir sejam perjalanan dengan taksi dan kami melaluinya
dalam sunyi. Ia duduk di dekat jendela satunya dengan kepala bersandar pada
kaca dan gelapnya kota melintas di balik bayangannya. Akan tetapi, begitu kami
mendekati Bonetown, ia tampak tergerak. Ia duduk tegak dan memandang
sekitarnya, mencerna sekelilingnya sembari mengangguk kecil, seakan-akan
bangunan-bangunan tinggi yang suram, jalanan yang remuk merupakan jawaban bagi
suatu pertanyaan tak keruan dalam benaknya.
Aku mengarahkan taksi supaya berhenti di luar bangunan Frank.
Tanpa berkata apa-apa padaku, Mirela keluar lalu menunggu sambil menggigil
dalam balutan gaun dansanya di pinggir jalan sementara aku membayar sopir. Dari
ujung jalan terdengar troli belanja bekertak-kertak lalu diam, bak hewan lari
ke semak-semak.
Frank belum pulang dan tidak ada tanda-tanda keberadaan
Droyd. Ruangan penuh asap dan berbau bahan kimia. Kuambil geretan untuk
menyalakan petromaks dan, karena tidak tahu mesti berbuat apa lagi dengan
dirinya, menawari Mirela minuman. Aku keluar dari dapur dengan gelas dan
sebotol Bulgarian Cabernet saat mendapati Mirela sedang melangkah
perlahan-lahan di seputar bagian belakang ruangan, mengamati galeri
barang-barang hasil operasi penyelamatan, yang dalam temaram cahaya tampak
lebih menyedihkan daripada biasanya. “Ini apa?”
“Kepunyaan Frank. Pekerjaan dia. Barang-barang yang
diambilnya dari rumah-rumah. Ia menjualnya pada diler, dekorator, dan sebagainya.”
“Mmm-hmm ….” Mirela memungut kain penutup kepala yang sudah
dimakan ngengat, mestilah dulunya untuk kuda-kudaan, lalu membolak-baliknya.
“Yang itu Frank mengambilnya dari pelelangan. Kepunyaan
seorang pertapa. Kebanyakan sih rongsokan. Untuk boneka hewan dalam skala
besar-besaran. Frank bilang, sekarang itu barang seperti itu tidak menjual.”
Mirela mengangguk seperti tanpa sadar, seraya meletakkan
kembali kuda itu. Gumpalan asap tebal masih luruh dari langit-langit,
menggelingsir bak selendang transparan menyelubungi bahunya yang telanjang. “Kami
dulu sering melihat barang semacam ini di beberapa kota yang kami lewati,”
ucapnya, sembari menyapukan jemarinya pada susunan rombengan itu. “Ketika orang
sudah pada melarikan diri, lalu para tentara pun masuk dan mengambil apa pun
yang ditinggalkan. Mesin cuci, perekam video, bingkai foto, permadani, alat
pemanas, kau bisa melihat semuanya itu tergeletak di jalan, menunggu diangkut
ke dalam lori, dibawa pergi, dan dijual. Ketika rumah sudah pada kosong, mereka
membakarnya.”
Belum pernah kudengar ia bercerita tentang kejadian di sana.
Aku pun menunggu, seraya bergeming, kalau-kalau ia hendak meneruskan. Namun
alih-alih ia berpaling sembari membawa serta minumannya dan menduduki kursi
yang ada di hadapan tempatku duduk di birai jendela. Ia tersenyum dibuat-buat
sembari menghela kedua tangannya ke pangkuan. “Jadi di sinilah sekarang tempat
tinggalmu,” ucapnya.
“Ya,” sahutku.
“Sulit membayangkan dirimu berada di tengah-tengah panci dan
kuali ini.”
“Enggak sebegitu buruk kok,” ujarku defensif.
“Kupikir juga tidak.”
Kuketuk-ketukkan kaki. Apa sih yang diinginkannya dari
diriku? Apa memang ia mengharapkan diriku supaya duduk-duduk di sini,
berbasa-basi, selagi ia meresapi nuansa telantar ini? Kutatap ia sembari
merengut menghendaki dirinya supaya pergi. Lantas ketika kuturuti arah
pandangnya yang menuju kuncian kedua tangannya, aku berucap sekonyong-konyong, “Bukankah
itu punya Bel?”
“Apa?”
“Sarung tangan itu.”
“Ini?” Agak kebingungan, ia mengangkat kedua tangannya,
seakan-akan aku telah mengacungkan pistol ke arahnya. “Ya, ini punya Bel. Ia
memberikannya kepadaku.”
Aku ingat, sarung tangan itu pemberian lainnya dari Ayah.
Ayah selalu membelikan Bel barang mahal yang tidak pernah dikenakannya. Bel
tidak suka pakaian baru. Bel bilang, ia lebih suka pakaiannya memiliki
kehidupan, bukankah untuk itu pakaian diciptakan?
“Sudah agak lama,” sahut Mirela. “Mungkin sewaktu kamu di
rumah sakit. Aku tidak punya baju sendiri.” Ia meregangkan jemarinya lalu
menggeliang-geliutkannya seperti bereksperimen. “Waktu itu hubungan kami masih
baik.” Ia tersenyum penuh sesal, yang
tidak kubalas. Ia pun mendesah, lalu tangan kanannya mulai melekukkan jemari
kirinya ke belakang, satu demi satu. “Aku tidak menginginkan ini, Charles. Aku
tidak pernah bermaksud menyakiti siapa pun. Hal-hal beginilah yang mesti kamu
lakukan sebagai seorang gadis. Inilah yang mesti kamu lakukan. Bagi adikmu pun
sama saja. Ia pasti akan melakukan hal yang sama, sekalipun ia akan
mengingkarinya.”
“Kalau ini berkenaan dengan kejadian bersama Harry—“ aku
memulai.
“Oh, jangan bicara soal Harry!” serunya, rambutnya terkibas
ke muka. “Aku tidak mau membicarakan dia, kamu bisa mengerti kan?”
Kuhela kembali diriku ke bingkai jendela. Lekas-lekas Mirela
meneguk minumannya lalu menatap pangkuannya. “Maksudku ya beginilah adanya,
ketika setiap laki-laki yang kamu cium merasa telah mengangkat dirimu, dan semua
orang memberikan peran kepadamu, pengungsi kecil pemberani, anak perempuan yang
penurut, gadis asing yang moralnya kendur ….” Tangannya bergerak-gerak cepat
bak mesin. “Kamu mainkan peran itu sebisamu. Kamu tidak bisa menghentikan
jalannya hidup, kan? Kamu tidak bisa memilih peranmu sendiri. Jadi kamu ambil
saja kesempatan yang ada. Kamu gunakan cara-cara yang tersedia bagimu. Hidupmu
menjadi sesuatu yang semakin menjauhkanmu dari dirimu sendiri. Aku tahu, ini
kedengarannya sinis. Memang begitu.”
Mirela bangkit dan kembali menuju tumpukan barang-barang
hasil penyelamatan. Di situ ia berdiri sambil menunduk hingga kepalanya
menyentuh benda-benda itu. “Tetapi kamu harus ingat bahwa,” ia melanjutkan,
sambil tetap memunggungiku, suaranya merendah dan terputus-putus seakan-akan
enggan meneruskan, “aku sudah pernah berbuat begini sebelumnya. Aku punya
kehidupanku sendiri yang tidak diketahui oleh seorang pun di sini. Aku dulu
punya teman-teman. Aku dulu punya kekasih. Mengapa tak seorang pun pernah
menanyaiku tentang itu, Charles? Kalau orang memang peduli padaku, mengapa
mereka tidak pernah menanyakan tentang itu? Karena aku mencintai orang itu dan
ia pun mencintaiku, kami pernah berjalan-jalan di tepi sungai, sambil
menyelipkan aster di rambut kami, serta apa pun lah yang dilakukan orang ketika
bercinta-cintaan, hanya saja saat itu sedang terjadi perang, hanya saja
sementara itu orang-orang lainnya pada berusaha saling membunuh akibat berbagai
peristiwa yang terjadinya bahkan sebelum mereka lahir …. Biar begitu, apa
hubungannya semua itu dengan kami? Kami tidak ingin membunuh siapa pun. Kami
kira mereka tidak akan mengusik kami. Kami kira berkasih-kasihan akan
menjadikan kami berbeda. Kami berbagi cara melarikan diri dan mengawali lagi
segalanya.” Lagi-lagi jemari tangan kirinya satu demi satu menerobos lewat
jemari tangan kanannya.
“Bagaimana mungkin seseorang, seseorang yang kamu kenal, menghilang begitu saja,
Charles? Bagaimana mungkin orang mencari makan malam-malam lalu tidak pernah
kembali lagi? Itu konyol. Itu tidak masuk akal. Tetapi semua orang sudah
berhenti memedulikan akal sehat. Lalu tibalah saat untuk melarikan diri lagi,
dan ketika aku berusaha kembali untuk mencari dia aku baru tahu ada
ranjau—mereka menaruh ranjau di jalan kalau-kalau kami berusaha kembali. Di
manakah ia sekarang? Dikuburkah di sekitar Krajina? Sama seperti ayahku? Tidak
ada yang tahu. Mengapa tidak ada seorang pun yang tahu? Aku tidak mengerti.
Namun begitulah yang terjadi pada cinta kami. Begitulah yang dapat dilakukan
cintaku padanya.” Getaran samar mengaliri dagu Mirela. Kepala kuda-kudaan itu
menatapku muram dari suramnya mausoleum di belakang ruangan.
“Maka aku pun datang kemari, tempat tak seorang pun
mengetahui apalagi memedulikan kejadian di sana, bahkan tak seorang pun yang
yakin aku bicara bahasa apa, dan aku pun lupa. Aku lupa pada ayahku, yang
kembali ke desa karena teman-temannya meninggalkan anjing mereka di ruang bawah
tanah. Aku lupa pada ibuku yang datang kemari dengan bersembunyi di dalam truk
yang penuh dengan daging dan suku cadang komputer. Aku lupa pada abang-abang
yang tumbuh bersamaku sehingga kebosanan di wajah mereka sudahlah biasa. Aku
berpura-pura tidak melihat berita saat menayangkan peristiwa serupa
terus-menerus terjadi. Aku lupa, sebagaimana semua orang menghendakiku supaya
lupa. Aku memaksakan diri supaya hanya memikirkan kehidupan baruku—dengan
pertunjukan sandiwara, cowok-cowok, dan berbagai kesempatan. Setiap malam
ketika mengantarku tidur Mama bertanya-tanya kapan kami akan kembali. Ia tidak
mengerti bahwa sekarang semuanya telah tiada. Semua orang yang kami kenal telah
pergi. Sekarang rumah kami ditempati orang lain, orang asing. Setiap malam aku
menjelaskan itu pada Mama lantas esok malamnya ia datang lagi dan menatap arah
yang dikiranya timur dan mengajukan pertanyaan itu lagi. Ia tidak mengerti.
Tetapi aku mengerti. Dan aku tidak akan pernah kembali, apa pun yang mesti
kulakukan.”
Timbul kesunyian panjang nan membungkam. Aku merengut ke arah
gelasku, yang perlu diisi ulang. Mirela melilitkan sebelah lengan ke
pinggangnya dan dengan lembut mengayunkan rambutnya yang serupa tudung gelap. “Aku
tidak berharap kamu memaafkanku,” sahutnya lagi dengan lebih pelan. “Aku hanya
tidak ingin kamu menganggapku sebagai pencuri, yang masuk dan mencuri hidupmu
tanpa berpikir-pikir. Dulu pun aku tidak menghendaki ini. Seandainya bisa, aku
ingin mengubahnya. Aku ingin kita menjadi teman. Kamu dengan wajahmu sedang aku
dengan kakiku. Barangkali jika keduanya disatukan, kita bisa menjadi manusia
yang utuh.”
Mirela tertawa. Dalam suasana yang penuh sesal ini suaranya
terdengar mengejutkan, umpama letusan pistol. Mungkin karena telanjur kaget,
jadilah aku tertawa juga. Ketegangan pun melesap sedikit. Ketika Mirela beralih
dari dinding, aku menghirup parfumnya untuk pertama kali, dan mendadak aku teringat
pada rumah, pada aroma tangan Ayah ketika ia kembali dari lab, wewangian yang
membuntuti para model sementara mereka menuruni tangga yang akan tetap ada lama
setelah mereka pergi, gentayangan di rumah bagaikan hantu peramah nan baik
hati, yang tahu-tahu mengendap-endap di koridor menuju padamu, atau meloncat
keluar Cilukba! dari pojok ruangan
yang jarang digunakan, lantas menghilang diiringi kedipan seakan-akan tidak
pernah ada di sana sama sekali ….
“Maaf,” ucapnya. “Enggak kukira akan berpidato lagi malam
ini.”
“Enggak apa-apa kok.”
Kembali ia menuju ke tengah ruangan, namun di bawah petromaks
ia terhenti. Senyumnya surut menjadi seperti orang bertafakur. Ia mengulurkan
tangan, lalu mendentingkan jarinya pada gelas. “Kita punya gelas seperti ini di
Folly,” ucapnya.
“Aku tahu,” sahutku. “Itu gelas kepunyaan kami.”
“Rasanya sudah lama sekali,” ia berucap. Ujung jemarinya
memiringkan petromaks sehingga menyorotkan pusaran cahaya pada ceruk tulang
selangkanya bak ampas minuman yang keruh. “Kamu tahu, aku tidak pernah
memberitahumu ….”
“Memberitahuku apa?”
“Bukan apa-apa.” Ia menunduk, kembali ke meja dan
menyandarkan pinggulnya. “Cuma kebiasaan bodohku.”
Aku pun beranjak ke meja dan mengisi gelas kami. “Beritahukan
sajalah,” kataku, senang karena alur percakapannya mulai agak wajar.
“Yah … ini sewaktu kami bersembunyi di Folly, aku dan
abang-abangku. Setiap hari mereka biasa ke kota, berusaha mencatatkan diri di
Dinas Kependudukan. Tetapi aku tidak boleh keluar. Mereka bilang itu terlalu
berbahaya, karena kakiku. Memang, dengan kaki ini aku tidak bisa bergerak
cepat. Lagi pula, aku malu karenanya. Sewaktu aku tiba di Irlandia, dan melihat
orang-orang yang tidak harus melarikan diri dari siapa-siapa, yang menjalani
kehidupan normal, aku merasa malu. Aku merasa—apa namanya?—absurd. Maka setiap
hari dan setiap malam aku pun tetap di kamarku yang sempit. Pada akhirnya tentu
saja aku mulai menggila. Aku harus keluar. Aku tidak peduli ada yang melihatku.
Maka malam-malam ketika abang-abang sudah pada tidur, aku pun mulai menyelinap
keluar. Tidak ke mana-mana, cuma di sekitar taman, cuma menikmati udara.” Ia
mengelupaskan sarung tangannya seperti tanpa sadar, lalu meletakkan benda itu
di punggung kursi yang didudukinya. “Kemudian suatu malam aku melihat ada
cahaya jendela ruang duduk, dan malam itu mestilah aku sangat bosan dan
kesepian sehingga aku mengangkat diri dan mengintip lewat celah gorden. Kulihat
dirimu.”
“Masak sih?” ujarku berhati-hati, sebab sudah kebiasaanku
kadang-kadang menonton televisi di ruang duduk tanpa mesti pakai celana.
“Kamu sedang menonton film lama, aku bisa mengetahuinya dari
cahaya di dinding. Aku jadi teringat sewaktu aku masih kecil, biasanya ada film
lama ditayangkan pada larut malam, dan Mama membiarkanku begadang karena aku
bilang padanya menonton itu membantuku belajar bahasa Inggris. Tetapi
sebenarnya aku suka film lama karena segalanya terlihat begitu indah dalam
hitam-putih.” Senyumnya kemalu-maluan. “Malah aku marah ketika Dorothy pergi ke
Oz, karena aku tidak suka dunianya menjadi berwarna-warni, dan aku benar-benar
ingin ia kembali ke Kansas.”
Aku diam saja, padahal di dalam hati aku menautkan kedua
belah tangan, seraya berseru, “Aku juga! Aku juga lo!”
“Di atas rumpun bunga aku memandangimu, dan rasanya—rasanya
aku bisa tahu benar adegan yang kamu tonton hanya dari melihat wajahmu.
Contohnya ketika kamu merengut, aku tahu si pembunuh sedang menenangkan si
janda, dan ketika kamu menutupi wajah dengan kedua tanganku aku tahu pistolnya telah
ditendang ke seberang lantai, dan ketika kamu tersenyum aku tahu si tokoh utama
telah mencium gadisnya—“ Mirela tertawa lagi, lalu menarik napas. “Atau
begitulah yang terlihat olehku. Setelah itu biasanya aku memeriksa panduan
acara TV dan menandai semua film yang mungkin kamu tonton, dan malamnya ketika
menyelinap keluar dari Folly aku selalu ke jendela, sebentar saja, dan
membayangkan aku berada di sana di sampingmu, dan rumah itu milikku, dengan
perapian yang menyala, serta segelas anggur merah.” Ia mengayun-ayunkan dirinya
dengan tenang seraya mendekati meja. “Bagaimana menurutmu, Charles?” ucapnya
lembut. “Apakah menurutmu itu berlebihan?”
“Tidak sama sekali,” kataku. “Sama sekali tidak.”
Ia menegakkan diri lantas menuju sisi meja tempatku berada.
Ia menyeka rambutnya ke belakang dengan sebelah tangan kemudian menatapku
dengan serius. Alam semesta serasa berhenti, seperti kuda yang menghadapi pagar
tinggi. “Apa yang mesti kuperbuat agar kamu menciumku, Charles?” ucapnya.
Sejenak aku berpikir. Aku memikirkan segala kejadian malam
itu. Bahkan tidak sepatutnya aku satu ruangan dengan dia. Namun, walaupun
kurang masuk akal, rasanya seolah-olah gadis di hadapanku sekarang ini tidak ada sangkut-pautnya dengan berbagai kejadian
tadi. Seakan-akan entah bagaimana ia sudah ada sebelum berbagai peristiwa buruk
pada malam ini—seakan-akan ia Mirela yang berbeda, Mirela yang hakiki: gadis
yang kutemukan di Folly pada malam tempo hari, dan sejak itu setiap malam
tergelar di mata batinku.
“Kurasa kamu perlu meletakkan minumanmu dulu,” kataku.
Perlahan-lahan dengan luwes ia meletakkan gelasnya dan
memadamkan petromaks. Kemudian, seraya meraih tanganku, ia menggiringku ke
dalam gelap.
Kalau mau, bayangkanlah gambar pelan-pelan menghilang dari
layar, atau ada jajaran tanda bintang yang bijaksana, untuk menunjukkan
berlalunya waktu—terus terang, tidak begitu banyak waktu yang berlalu, karena
salah seorang dari kami kurang latihan dan barangkali agak terlalu
bersemangat—betapapun juga, kembalilah kita pada adegan ketika kedua partisipan
berbaring beralaskan bantal, seprai terangkat tanpa dosa hingga ke dagu mereka,
tanpa suara memandangi pintu yang berada di dekat berang-berang isian serta
kepala anjing basset dari porselen,
yang separuh tersembunyi di bawah taplak-meja kotak-kotak yang compang-camping.
Segalanya betul-betul hening. Rasanya tidak ada seorang pun di seluruh jagat
raya ini yang terjaga selain kami—seakan-akan kami ini bergerak mendahului
waktu, dan kendati di sisi lain masalah-masalah menanti kami, kami dapat
membiarkan momen ini terapung-apung sesuka hati kami. Betapa nyamannya, setelah
begitu banyaknya gejolak, tidak harus bicara, ataupun berpikir.
Selagi hanyut dalam kekosongan, dengan malas aku memikirkan
sarapan yang dapat kusediakan untuknya pagi nanti—dua hari lalu aku membawa
pulang kue keju dan sepertinya masih ada sisanya di lemari es—saat lengannya
yang telanjang terentang di atasku untuk mengambil kembali kutang yang
menghiasi kap lampu. “Kenapa?” gumamku, sembari mengantuk.
“Aku harus pergi,” bisiknya.
“Kamu harus pergi?”
Aku pun duduk seraya mengejap. Benar-benar ia sedang memasang kaki. “Tetapi
ini kan tengah malam.”
“Memang. Harry akan bertanya-tanya ada apa dengan diriku.”
Bahkan mendengar nama orang itu seperti mencocokkan pisau ke
iga. Aku agak gelagapan dan mencengkeram dadaku. Tetapi ini bukan waktunya
untuk bertingkah dibuat-buat. Serta-merta Mirela menjadi tangkas, menata rambutnya,
meraba-raba seprai untuk menemukan kaus kaki, sehingga terasa tidak mungkin
sekalipun untuk memprotesnya baik-baik.
“Tetapi bagaimana gerangan kamu pulang, kan enggak ada—“
“Maaf, Charles, bisakah kamu mengambilkan itu—“
“Maksudku, enggak mungkin kamu akan mendapat taksi di sekitar
sini, dan lagi pula masak kamu mau keluar dengan pakaian begitu—“
“Aku bisa—tolong dong tarik ritsletingku?”
“Enggak,” sahutku. Setidaknya ini menghentikan dia sesaat. Ia
berpaling dan menatapku.
“Tinggallah,” aku memohon. “Maksudku lagi pula ini
hampir-hampir sudah besok. Kenapa kamu enggak di sini saja?”
“Aku enggak bisa, Charles,” ujarnya, terlihat jengkel. “Kami
ada rapat dengan orang-orang Telsinor pukul sembilan untuk mulai mengembangkan
strategi kami. Ini hari yang penting dan aku mesti bersiap-siap.” Ia
memiringkan kepala, seraya mengamatiku dengan cara yang hampir jenaka. Ia pun
duduk di ujung tempat tidur dan memegang lengan bawahku. Dengan dingin aku mengelakkannya.
Ia tampak benar-benar terkejut. “Kukira kita sudah melalui semua ini,” ucapnya.
“Kukira kita saling memahami.”
Aku mengerutkan bibir. “Yah mungkin saja enggak,” kataku. Aku
merasa seperti gadis sekolahan yang teperdaya. “Maksudku, aku enggak paham.”
Mirela mendesah, mengusap-usap tangannya, dan menunduk pada
tungkai protesenya yang dingin. “Kita sudah bersenang-senang, kan? Tetapi
sekarang kita harus kembali pada kehidupan kita. Kamu tahu kan itu.”
Aku bangkit dan mulai mondar-mandir di seputar ruangan. “Tetapi
kamu kan enggak—“ ujarku meradang. “Maksudku tuh kamu kan enggak cinta dia—“
Sekiranya aku menumpahkan air dingin padanya, ia tidak akan
menjadi lebih dingin lagi. Bisa kurasakan suhu di ruangan itu menurun. “Aku kan
enggak pernah bilang ini soal cinta,” ucapnya kaku, bagaikan guru piano
mengoreksi anak yang terus-terusan memalsukan tangga nada. “Siapa atau apa yang
kucintai itu urusanku. Yang kubilang aku membutuhkan dia. Charles, duduklah
sebentar.”
"Membutuhkan dia, ada istilah untuk hal begituan, kamu tahu ...." sementara dari sebelah luar, seakan-akan untuk melengkapi keributan di antara kami, seakan-akan hendak menjadikan segalanya terasa bagaikan di neraka, terdengar gedoran menggila di pintu depan, pasti Droyd lupa bawa kunci lagi ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar