Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20150418

On the Road Bagian I Bab 1 (Jack Kerouac, 1957)


Aku pertama kali bertemu Dean tidak lama setelah aku dan istriku berpisah. Aku baru sembuh dari sakit keras dan tidak mau bersusah-susah menceritakannya, selain bahwa itu ada hubungannya dengan perceraianku yang menjemukan lagi tak keruan, serta perasaanku bahwa segalanya sudah berakhir. Dengan hadirnya Dean Moriarty, dimulailah episode dalam hidupku yang dapat disebut sebagai sebuah perjalanan. Sebelumnya aku sering berangan-angan pergi ke Barat untuk melihat-lihat pedalaman, selalu samar-samar merencanakannya, dan tidak pernah berangkat. Dean orang yang sempurna untuk perjalanan ini sebab ia benar-benar lahir di jalanan, sewaktu orangtuanya melewati Salt Lake City pada 1926, di sebuah mobil tua, dalam perjalanan menuju Los Angeles. Cerita tentangnya mula-mula sampai padaku lewat Chad King. Ia memperlihatkan beberapa surat dari Dean yang ditulis dari sebuah sekolah untuk anak-anak nakal di New Mexico. Aku sangat tertarik pada surat-surat itu. Dengan naif dan manisnya ia meminta Chad mengajarinya tentang Nietzsche serta persoalan intelektual hebat lainnya yang diketahui Chad. Sekali waktu aku dan Carlo membicarakan surat-surat itu dan bertanya-tanya akankah kami bertemu dengan Dean Moriarty yang aneh. Kejadiannya sudah lama sekali, sewaktu Dean belum seperti yang sekarang, melainkan bocah tahanan yang diselubungi misteri. Lalu datanglah kabar bahwa Dean keluar dari sekolah itu dan akan mengunjungi New York untuk pertama kalinya; juga selentingan bahwa ia baru menikahi seorang perempuan bernama Marylou.

Suatu hari aku sedang berkeluyuran di sekitar kampus. Chad dan Tim Gray memberitahuku bahwa Dean sedang menempati apartemen di East Harlem, Spanish Harlem. Dean sampai pada malam sebelumnya, pertama kalinya di New York, bersama gadisnya yang cantik mungil, Marylou. Mereka turun dari bis Greyhound di 50th Street, menuju simpang untuk mencari tempat makan dan langsung menuju kafetaria Hector. Sejak itu tempat tersebut menjadi simbol penting New York bagi Dean. Mereka membeli kue sus dan kue lapis besar yang cantik. 

Selama ini Dean mengatakan pada Marylou hal-hal seperti: "Nah, sayang, sekarang kita di New York. Biarpun aku belum memberitahumu semuanya yang kupikirkan sewaktu kita melintasi Missouri dan terutama selagi kita melewati panti asuhan di Booneville yang mengingatkanku pada masalahku di penjara, penting sekali sekarang ini untuk menangguhkan dulu hal-hal menyangkut persoalan cinta kita dan segera mulai memikirkan rencana kerja yang jelas..." dan seterusnya masalah yang dihadapinya pada hari-hari pertama.

Aku mengunjungi flatnya bersama anak-anak. Dean menyambut dengan bercelana kolor saja. Marylou melompat dari sofa; Dean telah menyuruh si penebeng apartemennya itu ke dapur, mungkin untuk membuatkan kopi, sementara ia mulai membeberkan kisah cintanya. Baginya seks merupakan satu-satunya hal terpenting dan tersakral dalam hidup, kendati ia mesti berpeluh dan menyerapah untuk memperoleh penghasilan dan seterusnya. Dari caranya menggerakkan kepala, selalu merunduk, mengangguk, seperti petinju muda yang tengah memerhatikan instruksi, menyeletuk "Yeses" dan "Ya, benar”, kita merasa ia mendengarkan setiap kata. Kesan pertamaku pada Dean ialah seperti Gene Autry muda—rapi, berpinggang ramping, bermata biru, dengan aksen Oklahoma asli—jagoan bercambang dari Barat bersalju. Sebenarnya belum lama ini ia bekerja di peternakan Ed Wall di Colorado, sebelum menikahi Marylou dan datang ke Timur. Marylou si pirang jelita dengan ikal rambut yang besar-besar seperti lautan gelombang emas. Ia duduk di pinggir sofa, tangannya menjuntai dari pangkuan, tatapannya yang liar dan biru berkabut terbuka lebar-lebar akibat berada dalam hunian yang buruk dan muram di New York yang sudah diketahuinya semenjak di kampung, dan menanti seperti wanita kurus bertubuh memanjang dalam lukisan surealis Modigliani. Tapi, terlepas dari sosoknya yang mungil dan cantik, ia sangat dungu dan mampu berbuat hal-hal yang tidak menyenangkan. Malam itu kami semua minum-minum bir, main panco, dan mengobrol sampai subuh. Paginya, sewaktu kami sedang duduk-duduk diam sambil mengisap puntung dari asbak, dalam temaram cahaya pada hari yang mendung, Dean bangkit dengan gelisah, melangkah mondar-mandir, berpikir, dan memutuskan untuk menyuruh Marylou membuatkan sarapan dan menyapu lantai. "Dengan kata lain, kita harus selalu siaga, sayang, maksudku, kalau tidak jadinya bakal gonjang-ganjing dan bukanlah kesadaran yang sesungguhnya maupun perwujudan rencana kita." Lalu aku pergi.

Minggu berikutnya ia bilang pada Chad King kalau ia sungguh-sungguh ingin belajar menulis padanya. Chad bilang aku penulis jadi sebaiknya ia minta nasihatku. Sementara Dean sudah mendapat pekerjaan di parkiran, bertengkar dengan Marylou di apartemen Hoboken—Tuhan yang tahu sebabnya mereka ke sana—dan perempuan itu begitu marahnya serta sangat ingin balas dendam sampai-sampai ia melapor pada polisi dengan membuat tuduhan palsu sembari histeris dan menggila, Dean pun mesti kabur dari Hoboken. Jadilah ia tidak punya tempat tinggal. Ia mampir ke Paterson, New Jersey, tempatku tinggal bersama bibiku. Suatu malam sewaktu aku sedang belajar ada ketukan di pintu. Itulah Dean, membungkuk-bungkuk, menyeret kakinya sembari memelas dalam kegelapan lorong, dan berkata, “Halo, ingat aku—Dean Moriarty?” Aku mampir untuk memintamu mengajariku menulis.”

“Mana Marylou?” tanyaku. Dean bilang perempuan itu rupanya melacur demi beberapa dolar sekalian dan kembali ke Denver—“lonte!” Lalu kami pergi untuk minum-minum bir sebab kami tidak bisa mengobrol semaunya di depan bibiku, yang sedang duduk di ruang tengah sambil membaca koran. Ia melihat Dean sepintas dan menganggapnya orang sinting.

Di bar aku bilang pada Dean, “Sialan, kamu, aku tahu betul kamu ke tempatku bukan cuman untuk jadi penulis, lagipula apa sih yang kutahu soal itu selain bahwa kita mesti bersitahan melakoninya dengan energi sebesar orang yang kecanduan obat.” Ujarnya, “Ya, tentulah, aku tahu persis yang kamu katakan itu dan sebenarnya semua masalah itu sudah pernah terpikirkan olehku, tapi yang kuinginkan ialah mewujudkan unsur-unsur itu yang semestinya bergantung pada dikotomi Schopenhauer demi kesadaran batin…” dan seterusnya begitu, hal-hal yang tak kumengerti sedikitpun dan begitu pula dirinya. Pada masa itu ia sungguh-sungguh tidak mengerti yang dibicarakannya. Maksudnya, ia bocah tahanan yang betul-betul doyan akan kemungkinan hebat untuk menjadi seorang intelektual sejati. Ia suka bicara dengan nada dan kata-kata yang terkesan intelek, namun kacau-balau, yang didengarnya dari “para intelektual sejati”—meskipun, harap diperhatikan, ia tidak sebegitunya naif dalam segala hal lainnya. Dalam beberapa bulan saja bersama Carlo Marx, ia paham sepenuhnya segala jargon dan istilah. Meskipun begitu, kami mengerti satu sama lain dengan tingkat kesintingan yang berlainan. Aku sepakat ia bisa tinggal di rumahku sampai ia mendapat pekerjaan. Di samping itu kami sepakat untuk pergi ke Barat entah kapan. Waktu itu musim semi tahun 1947.

Suatu malam selagi Dean makan malam di rumahku—ia sudah mendapat pekerjaan di parkiran di New York—badannya condong ke bahuku sementara aku sibuk mengetik dengan cepat dan ia bekata, “Ayolah bung, cewek-cewek tuh pada enggak sabaran, yang cepat dong.”

Aku bilang, “Tunggu sebentar lagi lah, aku langsung nyusul habis bab ini,” yang merupakan bab terbaik dalam buku yang kukerjakan. Lalu aku berganti pakaian dan kami bersigegas menuju New York untuk menjumpai perempuan. Selagi bis melalui Lincoln Tunnel dalam pendar kekosongan yang aneh kami bersandar pada satu sama lain dengan melambai-lambaikan jemari, berteriak-teriak, dan mengobrol dengan bersemangat. Aku mulai merasa antusias seperti dirinya. Ia benar-benar orang yang amat bergairah pada kehidupan, dan meskipun ia seorang penipu, ia menipu hanya karena ia begitu ingin menikmati hidup dan bergaul dengan orang-orang yang tanpa aksinya itu tidak akan mengacuhkannya. Ia sedang menipuku dan aku tahu itu (demi tempat tinggal dan makanan dan “petunjuk menulis”, dll.), dan ia tahu aku tahu (inilah dasar hubungan kami), tapi aku tidak peduli dan kami baik-baik saja—tidak saling mengganggu, tidak saling meladeni; kami berjalan dengan hati-hati di sekitar satu sama lain bagai sepasang kawan baru yang mengharukan. Aku mulai belajar dari dirinya sebanyak yang mungkin dipelajarinya dari diriku. Tentang karyaku sendiri, ia mengatakan, “Teruskan, apapun yang kamu bikin itu hebat.” Ia mengamati dari balik bajuku sewaktu aku menulis cerita, sambil berseru, “Ya! Benar begitu! Waw! Astaga!” dan “Fiuh!” dan mengusap wajahnya dengan sapu tangan. “Hei, wow, banyak banget yang mesti ditulis! Bagaimana juga caranya mulai menumpahkan semuanya itu tanpa ada keinginan buat mengubah-ngubah dan hambatan apalah sewaktu mengarang dan takut tata-bahasanya salah….”

“Betul, bung, mengerti juga kamu.” Aku melihat adanya semacam cahaya kudus memancar dari semangatnya serta pandangan-pandangannya, yang dibeberkannya dengan amat deras sampai-sampai orang di bis celingukan mencari-cari “si sinting yang kelewatan semangat” itu. Di Barat ia menghabiskan sepertiga waktunya di tempat menongkrong, sepertiga lagi di penjara, dan sepertiga sisanya di perpustakaan umum. Orang-orang melihatnya berjalan terburu-buru di jalanan yang dingin, tanpa penutup kepala, sambil membawa buku-buku ke tempat menongkrong, atau memanjat pohon untuk memasuki loteng kediaman kawan-kawannya tempat ia menghabiskan hari dengan membaca atau menghindari hukum.

Kami pergi ke New York—aku lupa situasinya, dua perempuan berkulit berwarna—tidak ada perempuan di sana; mereka semestinya menjumpai Dean di sebuah kedai dan tidak muncul. Kami pergi ke parkiran, ada beberapa urusan yang mesti dikerjakannya—berganti pakaian di pondok belakang dan mematut diri sebentar di hadapan cermin retak dan seterusnya, lalu kami berangkat. Pada malam itulah Dean bertemu Carlo Marx. Pertemuan keduanya begitu mengesankan. Mereka sama-sama berpikiran tajam dan dengan segera menyukai satu sama lain. Dua pasang mata yang menusuk saling bertatapan—penipu kudus berpikiran cemerlang, dan penipu puitis pemurung berpikiran kelam. Sejak itu aku jarang bertemu Dean, dan merasa agak menyesal juga. Dibandingkan dengan gaya mereka saat berhadap-hadapan, keberadaanku terasa ganjil, aku tidak bisa terus bersama mereka.

Seluruh kegilaan itu mengacak-acak segalanya yang baru akan dimulai; membikin kacau semua temanku dan segalanya yang kutinggalkan untuk keluargaku dalam awan debu besar yang menaungi langit Amerika. Carlo menceritakan padanya tentang Lee si sapi bangka, Elmer Hassel, Jane: Lee menanam mariyuana di Texas, Hassel di Pulau Riker, Jane berkeluyuran dimabuk benzedrine di Time Square sambil menggendong bayi perempuannya dan berakhir di Bellevue. Sementara Dean menceritakan pada Carlo orang-orang tak dikenal di Barat macam Tommy Shark, para penipu yang berkeliaran di kamar bola berkaki pekuk, pemain kartu, dan orang suci yang aneh. Ia menceritakan padanya tentang Roy Johnson, Ed Dunkel si bongsor, teman-teman sepermainannya waktu kecil, teman-temannya di jalanan, para pacar, pesta seks, serta gambar porno miliknya yang tak terhitung banyaknya, para idolanya, petualangan-petualangannya. Bersama-sama mereka bersicepat menyusuri jalanan, mula-mulanya menggali segala persoalan yang lantas menjadi begitu semakin menyedihkan, nyelekit, dan hampa. Tapi kemudian mereka berajojing menjejaki jalanan, sementara aku berjalan gontai di belakang mereka sebagaimana kebiasaanku terhadap orang-orang yang menarik bagiku, sebab yang menarik bagiku hanya mereka yang gila, gila akan kehidupan, gila bicara, gila pertolongan, menginginkan segala hal pada waktu bersamaan, mereka tidak pernah menguap ataupun mengatakan hal yang biasa saja, melainkan yang berkobar seperti kembang api kuning besar yang meledak serupa laba-laba melintasi gemintang dan di tengah-tengahnya tampak letupan berwarna biru dan orang-orang pun bersorak. Apa sebutan bagi kaum muda semacam itu dalam bahasanya Goethe? Karena kuatnya keinginan belajar menulis seperti Carlo, sebagaimana kubilang sebelumnya, Dean menyerbunya dengan hasrat menggebu-gebu yang hanya dimiliki seorang penipu. “Nah, Carlo, sekarang aku yang bicara—begini menurutku….” Aku tidak menjumpai mereka selama sekitar dua minggu, sementara mereka merekatkan hubungan mereka hingga proporsi obrolan-siang-malam yang sengit.

Lalu tibalah musim semi, waktu yang pas untuk melancong, dan setiap orang dalam geng yang terpencar-pencar ini bersiap-siap bepergian. Aku tengah sibuk mengerjakan novelku dan begitu sudah separuh jalan, sehabis bepergian ke ujung Selatan dengan bibiku untuk mengunjungi Rocco saudaraku, aku siap pergi ke Barat untuk pertama kalinya.

Dean sudah pergi duluan. Aku dan Carlo melihatnya berangkat di Stasiun Greyhound 34th Street. Di puncak tangga ada tempat untuk foto-foto dengan harga setalen. Carlo mencopot kacamatanya dan wajahnya terlihat menakutkan. Dean memasang tampang malu-malu kucing. Ekspresiku datar saja sehingga kelihatannya seperti orang Italia berumur tiga puluhan yang bakal membunuh siapapun orang yang melawan ibunya. Carlo dan Dean memotong bagian tengah gambar itu rapi-rapi dengan pisau cukur dan masing-masing menyimpan separuhnya di dompet. Dean mengenakan setelan bisnis gaya Barat asli untuk perjalanan panjangnya kembali ke Denver; ia telah mengakhiri awal dari masa kebebasannya di New York. Meskipun aku menyebutnya masa kebebasan, namun sebenarnya ia cuma bekerja di parkiran seperti anjing. Sebagai pengurus parkiran paling ajaib di dunia, ia dapat memundurkan mobil dengan kecepatan 60 km/jam ke celah yang sangat terjepit dan berhenti pas di dinding, melompat keluar, berlari-lari di antara deretan sepatbor, melompat ke dalam mobil lainnya, memutarnya dengan kecepatan 80 km/jam dalam ruang yang mepet, memundurkannya dengan tangkas ke tempat yang sempit, membungkuk, membanting pintu dengan terburu-buru sampai-sampai mobilnya kelihatan melambung begitu ia melesat ke luar; lalu beralih ke pondok tiket, berlari secepat-cepatnya seperti bintang lapangan, menyerahkan tiket, menyambar masuk ke mobil yang baru datang padahal pemiliknya belum keluar sepenuhnya, benar-benar melesat ke bawah pemilik mobilnya itu sampai orang itu keluar, menjalankan mobil dengan pintu mengepak-ngepak dan menderu ke tempat berikutnya yang kosong, memercikkan bunga api, menyeruduk, mengerem, keluar, berlari; bekerja seperti itu tanpa henti selama delapan jam semalam, pada jam-jam sibuk pada malam hari serta sehabis pertunjukan, dengan celana belel yang ujungnya menyempit dan jaket berkerah bulu serta sepatu usang yang berkelepak-kelepak. Kali ini ia telah membeli pakaian baru untuk pulang: warnanya biru bergaris-garis, rompi dan segala macamnya—harganya sebelas dolar di Third Avenue, dengan jam dan rantainya, serta mesin ketik portabel yang akan dipakainya untuk mulai menulis di penginapan di Denver begitu ia mendapatkan pekerjaan di sana. Kami mengadakan makan-makan perpisahan di Seventh Avenue di Riker, dan lalu Dean masuk ke bis menuju Chicago dan menderu dalam malam. Lalu dimulailah perseteruan kami. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk pergi ke sana juga saat musim semi benar-benar mekar dan menyibakkan jalan.

Dan ini benar-benar merupakan awal dari seluruh pengalamanku di jalanan, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian terlalu hebat untuk dilewatkan.

Ya, dan itu bukan cuma karena aku ini penulis dan haus akan pengalaman baru sehingga aku ingin tahu lebih banyak tentang Dean, bukan juga cuma karena kehidupanku di seputaran kampus sudah hampir selesai dan bikin lesu, tapi karena, entah bagaimana, terlepas dari perbedaan sifat kami, ia bagaikan saudara yang telah lama hilang bagiku; wajah tirusnya yang merana dengan godek panjang dan lehernya yang berkeringat lagi liat itu mengingatkanku akan masa kecilku di areal pembuangan sampah, lubuk-lubuk tempat berenang, dan sisi sungai di Paterson dan Passaic. Pakaian kerjanya yang kotor melekat dengan jantan di tubuhnya, dengan otot-ototnya bertonjolan, seakan pakaian yang lebih pantas daripada itu bukanlah yang dipesan dari penjahit melainkan hanya bisa diperoleh dari Penjahit Alami dengan Citarasa Alami, sebagaimana kepunyaan Dean. Dan dengan gaya bicaranya yang bersemangat aku seperti kembali mendengar suara para teman lama dan saudara-saudaraku di bawah jembatan, di antara motor-motor, di sekitar jemuran milik tetangga pada ambang petang yang malas tempat anak-anak bermain gitar sementara abang-abang mereka bekerja di pabrik. Sekarang ini teman-temanku selainnya hanyalah “para intelektual”—Chad si antropolog pengikut Nietzsche, Carlo Marx dengan suaranya yang rendah, nyeni, lagi sinting membawakan obrolan serius namun tidak meyakinkan, Lee si sapi bangka dengan cara bicaranya yang kritis terseret-seret dan anti-segalanya—sedangnya yang lainnya itu penjahat diam-diam macam Elmer Hassel, dengan seringainya yang ngetren; Jane Lee sama saja, menggeletak di sofanya yang berlapis kain Oriental seraya mengendusi New Yorker. Tapi intelegensi Dean betul-betul tulen yang normatif, cemerlang, dan utuh tanpa intelektualisme yang membosankan. Dan “kejahatan”nya pun bukanlah yang mendongkol dan mencemooh; melainkan optimisme liar yang menyuarakan kebebasan Amerika; Barat, berhawa barat, ode dari Daratan, suatu hal yang baru, yang telah sedari lama diramalkan kemunculannya, dan menjanjikan (ia mencuri mobil cuma untuk bersenang-senang). Selain itu, semua teman-temanku di New York memposisikan diri mereka melawan masyarakat dengan mengemukakan alasan-alasan yang terlalu kebuku-kubukuan dan menjemukan, atau yang sifatnya politis atau psikoanalisis, sedangkan Dean justru berbalap dalam masyarakat, mendamba roti dan kasih; ia tidak peduli dengan cara bagaimanapun juga “pokoknya asal gua bisa dapetin tuh cewek sama selangkangannya, coy,” dan “pokoknya asal kita bisa makan, son, denger enggak? gua laper nih, laper banget, kita makan sekarang aja yuk!”—dan buru-burulah kami ke tempat makan, sebagaimana dikatakan dalam Perjanjian Lama, “Inilah bagianmu di bawah matahari.”

Sanak matahari dari barat, Dean. Walaupun bibiku memperingatkan kalau anak itu bakal membawa masalah, aku bisa mendengar adanya panggilan baru dan melihat adanya cakrawala baru, dan meyakininya pada masa mudaku; dan sedikit saja masalah atau penolakan Dean akan diriku sebagai teman sekalipun, mencemoohku, seperti yang akan dilakukannya nanti pada momen-momen kelaparan di pinggir jalan dan di ranjang pesakitan—peduli amat? Aku seorang penulis muda dan aku ingin lepas landas.

Aku tahu di perjalanan nanti akan kutemukan banyak perempuan, beragam pandangan, segalanya; akan kudapatkan semaraknya.





dipajang juga di sini

2 komentar:

Butaparagraf.blogspot.com mengatakan...

Halo mbak :D ahakahakahak

diyday mengatakan...

Halo Mas Ilham :)
Terima kasih, ya, sudah berkunjung dan meninggalkan jejak.
Maaf, lama baru membalas, hehehe.