Kisah ini
terjadi pada masa ketika monster masih tinggal di hutan dan pegunungan. Nenek
Lidah Panjang dan Raksasa Ban Merah tinggal di Gunung Okuyama, Jalur Okutama.
Lidah si nenek lebih panjang daripada ular dan lebih kuat daripada cemeti kuda.
Wajah Ban Merah lebih lebar daripada jendela. Bila raksasa ini memperlihatkan
taringnya dan mendekatkan wajahnya padamu, ia sungguh mengerikan sampai-sampai
beruang gunung pun putih matanya saking ketakutan.
Nenek Lidah
Panjang dan Ban Merah senang menakuti orang yang mengembara dan tersesat di
Jalur Okutama. Tetapi akhir-akhir ini tidak ada lagi orang yang datang ke
gunung.
“Hei, Nenek,
menurutmu mungkinkah kita telah menakuti semua manusia?”
“Jangan
konyol, Ban Merah! Manusia itu sama banyaknya dengan daun di pohon. Aku punya
ide! Mengapa kita tidak keluar dan mencari orang untuk ditakut-takuti?”
Nenek Lidah
Panjang pun melompat ke pundak Ban Merah. Bum, bum. Mereka berjalan menyusuri
jalan setapak dan memasuki hutan. Tetapi kini hutannya sudah tidak ada. Semua
pohon telah ditebang hingga ke kaki gunung.
“Ah,
nikmatnya angin sepoi-sepoi. Pemandangannya juga jadi lebih bagus!” ucap Ban
Merah.
Nenek Lidah
Panjang menjadi marah.
“Jangan
konyol! Tidak ada lagi pohon. Mereka menebang semuanya. Bila musim hujan tiba,
kita akan kebanjiran. Ban Merah, cepatlah ke desa! Perasaanku buruk.”
Bam, bum,
bam, bum. Begitu sampai di kaki gunung, mereka menghampiri sebuah danau besar.
“Lihatlah,
jalan setapaknya mengarah ke danau ini! Hei, Nenek, apakah menurutmu desanya
ada di bawah air ini?”
“Jangan
konyol! Karena mereka menebang semua pohon dan menghancurkan hutan, tanah dan
kayu di gunung hanyut ke sungai dan menutup jalan. Ayo, kita segera ke desa.
Matahari sudah mau terbenam.”
Bum, bum,
bum, bum. Begitu tiba di pinggir desa, mereka melihat sebuah telaga yang
kering.
“Lihat,
Nenek, ada telur raksasa di dasar telaga!”
“Jangan
konyol! Itu mutiara naga. Telaga ini mestilah kepunyaan dewa naga yang
mengawasi desa. Sepertinya si naga pergi ke tempat lain ketika air telaga
mengering. Kuharap semuanya baik-baik saja.”
Tidak
terdengar suara apa pun di desa itu. Tidak juga celotehan anak-anak ataupun
salakan anjing.
“Aku mencium
ada orang!” seru Ban Merah ketika membuka jendela pondok terdekat.
Di dalam
pondok itu, ada ayah, ibu, dan kedua anak mereka duduk berimpitan di lantai.
Mereka mendekap lutut rapat-rapat dan tampak sangat letih.
“Lihat aku!
Aku Nenek Lidah Panjang!”
Ia
menjulurkan lidahnya yang seperti cemeti lalu menjilati kepala mereka semua.
Namun mereka hanya mendongak sedikit, dan sudah.
“Ada apa
dengan kalian ini? Kalian tidak takut pada monster?” kata Nenek Lidah Panjang.
Wajahnya tampak bingung.
Si ayah
menjawab dengan suara kecil. “Kami tidak punya tenaga untuk merasa takut,
meskipun jika kami ingin. Kami belum makan sesuap nasi pun sejak kemarin. Sejak
sungai mengering, kami tidak bisa menanam beras atau kentang lagi.”
“Kalau
begitu, mengapa kalian tidak mengambil air dari danau saja?”
“Kami terlalu
takut untuk mendekati danau. Tiap kali kami ke sana, tanah mulai bergoncang dan
terjadi gempa. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain meminta kalian, para
monster, untuk menolong kami. Maukah kalian membuatkan lubang di pinggir danau
supaya air mengalir kembali ke sungai?”
Monster saja
wajib menolong ketika ada yang kesusahan. Nenek Lidah Panjang pun segera pergi
ke danau bersama Ban Merah.
“Baiklah, Ban
Merah, kita akan membuat lubang di pinggir danau supaya airnya mengalir!”
“Tetapi, Nek,
tugas kita sebagai monster kan untuk menakuti manusia. Mengapa kita harus
menolong mereka?”
“Bila keadaan
manusia sudah membaik, mereka akan takut pada kita lagi, betul?”
Maka Nenek
Lidah Panjang dan Ban Merah mulai memindahkan batang-batang kayu yang
membendung danau.
Baru saja air
mulai mengalir ke sungai ketika mereka mendengar suara yang begitu keras
sampai-sampai airnya bergetar.
“Hei kalian!
Kalian pikir sedang berbuat apa!”
Di belakang,
seekor naga melotot pada mereka. Naga itu begitu besarnya hingga hampir
memenuhi danau.
“Ya ampun,
besar sekali dirimu! Kau mestilah naga yang dulu tinggal di telaga dewa naga!
Bagaimana kau bisa sebesar itu?”
“Kami para
naga memang seperti itu. Kalau kami tinggal di telaga, kami menjadi sebesar
telaga. Kalau kami tinggal di danau, kami menjadi sebesar danau. Dan kalau kami
terbang ke langit, kami dapat menjadi sebesar awan.”
Naga itu
mendekat. Kumisnya yang panjang berputar-putar.
“Aku hendak
memberi pelajaran pada orang-orang yang telah mengeringkan telaga tempatku
tinggal dulu! Tetapi sebelum aku melakukan itu, aku akan mengenyahkan kalian
lebih dulu!”
“Alamak!
Kabur, Ban Merah!”
Si Nenek
melilitkan lidahnya pada pohon sembari lari ke dalam hutan. Tetapi Ban Merah
terlalu lamban. Dalam sekejap saja ia dijerat kumis si naga dan diangkat ke
langit.
“Ban Merah,
aku akan menyelamatkanmu! Bertahanlah di sana!”
Si Nenek
melilitkan lidahnya yang panjang di kumis si naga lalu menariknya sekuat
tenaga.
“Aduh! Aduh!
Lepaskan lidahmu dari aku!” seru si naga, seraya melecutkan kumisnya
berputar-putar.
Ban Merah
terlepas dari kumis naga dan terjun ke danau. Plung! Lantas, tahu-tahu Nenek
Lidah Panjang melompat ke dalam hidung si naga.
Haaa-haaa-haaa-syuuuuu!
Si naga mengeluarkan bersih hebat dan mengguntur. Saking hebatnya bersin si
naga sampai-sampai air di danau terdorong ke darat. Tiba-tiba timbul lubang di
pinggir danau. Air mengalir ke sungai bagaikan banjir bandang. Nenek Lidah
Panjang dan Ban Merah terhanyut ke arah desa.
Banjir itu
membawa mereka ke telaga dewa naga.
“Hei Nenek,
telaga naganya kembali seperti semula!”
“Lihat itu,
Ban Merah! Tuh di dalam air, ada mutiara naga! Indah sekali dia bersinar!”
Mutiara naga
tersebut menyorotkan tujuh warna berbeda. Nenek Lidah Panjang mengangkatnya ke
langit dan memanggil si naga.
“Hai naga!
Mutiaramu kembali indah seperti dulu! Jadilah naga yang baik dan kembalilah kemari!
Inilah rumahmu!”
Mendengar
ini, si naga berubah menjadi kabut dan lenyap ke dalam mutiara. Nenek Lidah
Panjang meletakkan mutiara itu dengan sangat hati-hati ke dasar telaga yang
paling dalam.
Sekarang
segalanya di desa itu kembali seperti semua. Namun Nenek Lidah Panjang
menampakkan wajah menakutkan.
“Seluruh
kegilaan ini terjadi karena kalian menebang semua pohon di hutan,” Si Nenek
memberi tahu penduduk desa. “Sekarang pergilah dan tanam pohon di gunung supaya
hutannya tumbuh lagi seperti sedia kala.”
Maka penduduk
desa pergi dan menanam pohon di gunung seperti yang disuruh oleh Nenek Lidah
Panjang. Setiap tahun pohon-pohonnya bertambah besar, dan hutannya pun kembali
seperti sedia kala. Sekarang segalanya baik-baik saja, bahkan ketika hujan
sangat lebat. Ketika para penduduk desa masuk ke hutan, mereka akan pura-pura
tersesat dan mendatangi pondok Nenek Lidah Panjang. Mereka akan tinggal di
pondok itu hingga matahari terbenam. Mereka membiarkan lidah panjang Si Nenek
menjilati kepala mereka sementara Ban Merah menakut-nakuti mereka. Mereka semua
bergembira bersama. Sebaik-baiknya teman.[]
Lawrence Venuti mengucapkan terima kasih pada Dr. Kayoko Nohara dari Tokyo Institute of Technology.
Cerita ini pertama kali dipublikasikan dalam Shitanaga-basan
(Tokyo: Shogakukan, 2001). Terjemahan ini dari versi bahasa Inggris Michael Emmerich, “Granny Long Tongue” dalam Words without Borders edisi
November/Desember 2004: “International Children’s Literature”.
Chiba Mikio lahir pada 1944 di prefektur
Miyagi, Jepang. Setelah bekerja di penerbit bacaan anak, ia menjadi profesor di
Chiba University of Art. Selama sembilan tahun ia mengajar teori buku bergambar
serta bacaan anak. Kini ia bekerja sebagai pengarang dan kritikus buku anak,
serta aktif mempelajari monster Jepang.
Michael Emmerich adalah lektor kepala di Departemen Bahasa
dan Kebudayaan Asia di University of California, Los Angeles. Ia penulis “The Tale of Genji”: Translation,
Canonization, and World Literature, editor Read Real Japanese Fiction dan New
Penguin Parallel Texts: Short Stories in Japanese, serta penerjemah banyak
buku dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris, yang terbaru adalah Bullfight, The Hunting Gun, dan Life of a Counterfeiter, semuanya oleh
Inoue Yasushi.