Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (271) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Masyarakat sejati memerlukan kesalingbergantungan (Mark Boyle, 2012)

Belum lama ini saya menjaga anak teman saya. Teman saya sibuk sementara saya lowong, sehingga saya senang-senang saja mengasuh si kecil Eli...

Tampilkan postingan dengan label Jay Rubin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jay Rubin. Tampilkan semua postingan

20200322

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 8 3/3 (Haruki Murakami, 1994)

“Saya kembali berpikiran untuk bunuh diri. Kali ini saya akan melakukannya dengan cermat. Saya akan melompat dari lantai lima belas gedung administrasi kampus. Dengan cara begitu tidak akan ada kekeliruan. Saya pasti akan mati. Saya sudah beberapa kali melakukan percobaan lari. Saya telah memilih jendela yang paling pas untuk hal ini. Saya sudah nyaris melompat.

“Namun ada sesuatu yang menahan saya. Ada sesuatu yang aneh, yang mengusik saya. Pada detik-detik terakhir, ‘sesuatu’ itu hampir-hampir secara harfiah menarik saya dari ambang jendela. Baru lama kemudian saya menyadari apakah ‘sesuatu’ itu.

“Saya tidak merasakan sakit.

“Saya hampir-hampir tidak merasakan kesakitan lagi sejak kecelakaan itu. Dengan bertubi-tubi kejadian yang menghampiri, saya belum sempat memerhatikan bahwa rasa sakit itu telah menghilang dari tubuh saya. Buang air saya normal. Saya sudah tidak mengalami kram menstruasi. Tidak ada lagi sakit kepala atau sakit perut. Bahkan tulang rusuk saya yang patah hampir-hampir tidak terasa sakit. Saya tidak tahu sebabnya demikian. Namun tahu-tahu saya terbebas dari rasa sakit.

20200315

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 8 2/3 (Haruki Murakami, 1994)

“Tiap kali saya menabrak sesuatu, pasti ada bekasnya di badan saya. Ketika berkaca di cermin kamar mandi saya selalu ingin menangis. Badan saya penuh oleh begitu banyak memar gelap sehingga saya terlihat seperti apel yang busuk. Saya benci mengenakan baju renang di depan orang lain. Sejak yang dapat saya ingat, saya hampir tidak pernah berenang gara-gara itu. Masalah lainnya yaitu ukuran kaki saya berbeda. Tiap kali saya membeli sepatu baru, kaki yang lebih besar terasa sakit sekali sampai sepatunya jebol.

“Karena semua masalah ini, saya hampir tidak pernah ikut olahraga. Sewaktu SMP, teman-teman saya pernah menyeret saya ke lapangan luncur es. Saya jatuh dan pinggang saya begitu sakit sampai-sampai setelah itu tiap musim dingin nyerinya terus terasa. Rasanya seakan-akan saya ditusuk oleh jarum besar dan tebal. Berkali-kali, saya jatuh ketika berusaha untuk bangkit dari kursi.

“Saya juga menderita konstipasi. Buang air besar tiap beberapa hari sekali selalu terasa menyakitkan bagi saya. Selain itu, pundak saya sering sangat kaku. Otot-ototnya menegang sampai benar-benar sekeras batu. Saking sakitnya sampai-sampai saya tidak bisa berdiri tetapi berbaring pun tidak ada gunanya. Saya membayangkan penderitaan saya mestilah seperti hukuman di Cina yang pernah saya baca. Mereka menjejalkan orang di kotak selama beberapa tahun. Ketika pundak saya sedang parah-parahnya, saya hampir-hampir tidak dapat bernapas.

20200308

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 8 1/3 (Haruki Murakami, 1994)

8

Cerita Panjang Kano
*
Menyelidiki Rasa Sakit



“Saya lahir pada dua puluh sembilan Mei,” Kano memulai ceritanya, “dan pada malam ulang tahun saya yang kedua puluh, saya memutuskan untuk mengakhiri hidup saya.”

Aku meletakkan secangkir kopi yang baru di depannya. Ia menambahkan krim lalu mengaduknya dengan lunglai. Tanpa gula. Aku meminum kopiku tanpa tambahan apa-apa, seperti biasa. Jam di rak melanjutkan ketukannya yang datar pada dinding waktu.

Kano menatapku tanpa acuh dan berkata, “Apa saya sebaiknya memulai dari awal—tempat saya lahir, kehidupan keluarga, hal yang semacam itu.”

20190827

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 7 (Haruki Murakami, 1994)

7

Juru Penatu yang Bahagia
*
Dan Masuklah Kano



Aku membawa blus dan rok Kumiko ke penatu di dekat stasiun. Biasanya, aku membawa cucian kami ke penatu di sekitar pojok jalan rumah kami. Bukan karena aku lebih menyukai penatu yang itu, melainkan karena lebih dekat. Kumiko kadang menggunakan penatu dekat stasiun sekalian pergi-pulang kerja. Ia menaruh cucian pagi-pagi sembari berangkat ke kantor lalu mengambilnya ketika pulang. Menurut Kumiko, tempat yang ini agak lebih mahal, tetapi hasilnya lebih baik daripada penatu di dekat rumah. Pakaiannya yang bagus-bagus selalu ia bawa ke sana. Itulah sebabnya pada hari itu aku memutuskan untuk bersepeda ke stasiun. Kubayangkan ia lebih suka pakaiannya dibersihkan di sana.

20160118

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 6 (Haruki Murakami, 1994)

6

Tentang Lahirnya Kumiko Okada dan Noboru Wataya
*



Sebagai anak tunggal, aku sulit membayangkan perasaan kakak-beradik yang sudah dewasa dan mandiri saat mereka bertemu. Kalau Kumiko, kapan pun ada pembicaraan tentang Noboru Wataya, tampangnya jadi aneh, seakan tahu-tahu mulutnya merasakan sesuatu yang ganjil, tapi aku tidak tahu persisnya arti tampangnya itu. Aku sendiri tidak ada sedikit pun perasaan positif pada abangnya. Kumiko tahu dan menurutnya itu wajar saja. Dia sendiri sama sekali tidak suka pada orang itu. Sulit membayangkan keduanya pernah mengobrol seandainya tidak ada hubungan darah di antara mereka. Tapi kenyataannya, mereka memang kakak-beradik, sehingga rasanya agak semakin rumit. Setelah aku bertengkar dengan ayahnya dan memutuskan hubungan dengan keluarganya, Kumiko hampir-hampir tidak pernah lagi berjumpa Noboru Wataya. Pertengkaran dengan ayahnya memang sengit. Seumur-umur aku jarang bertengkar—aku bukan orang yang seperti itu—tapi sekalinya itu terjadi, aku maju habis-habisan. Maka perpecahanku dengan ayahnya pun berakhir. Kemudian, setelah aku menyingkirkan apa pun yang perlu disingkirkan dari dadaku, kemarahan itu pun anehnya menghilang. Yang kurasakan hanya kelegaan. Aku tidak harus bertemu dengan ayahnya lagi. Rasanya seakan beban berat yang kupanggul selama ini telah diangkat dari bahuku. Tidak ada amarah ataupun benci yang tersisa. Aku bahkan merasakan sedikit simpati atas kesukaran hidup yang dialami ayahnya, betapapun tolol dan menjijikkannya wujud kehidupan itu di mataku. Kukatakan pada Kumiko aku tidak akan pernah menemui orang tuanya lagi, tapi dia bebas mengujungi mereka tanpa diriku kapan pun dia ingin. Kumiko tidak berusaha menemui mereka. “Tidak apa-apa,” katanya. “Lagi pula aku tidak sebegitu inginnya bertemu mereka.”

20150627

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 5 (Haruki Murakami, 1994)



5

Kecanduan Permen Lemon
*
Burung yang Tidak Bisa Terbang 
dan Sumur yang Tidak Ada Airnya



Sehabis sarapan, aku bersepeda ke binatu dekat stasiun. Pemiliknya seorang lelaki kurus berusia empat puluhan akhir. Ada kerutan yang dalam di dahinya. Ia sedang mendengarkan kaset orkestra Percy Faith dari boom box yang terletak di sebuah rak. Mereknya JVC dan ukurannya besar, dengan pengeras suara tambahan dan setumpuk kaset di sisinya. Orkestra tersebut sedang memainkan “Tara’s Theme”, bagian alat musik geseknya terdengar amat menggairahkan. Pemiliknya itu sendiri sedang berada di belakang toko, sambil bersiul mengiringi musik sementara menyetrika sehelai pakaian. Gerakannya tangkas dan bersemangat. Aku mendekati meja pajangan dan meminta maaf dengan sepatutnya bahwa akhir tahun lalu aku membawa sebuah dasi dan lupa mengambilnya. Dalam dunia kecilnya yang damai pada pukul setengah sepuluh pagi, pemberitahuan itu pasti menyerupai kedatangan seorang kurir pesan yang membawa kabar buruk dalam lakon tragedi Yunani.

“Tiketnya juga tidak ada, ya,” ucapnya, yang entah kenapa terdengar tidak ramah. Bicaranya tidak tertuju padaku, melainkan pada kalender di dinding dekat meja pajangan. Gambar pada bulan Juni menampilkan pegunungan Alpen—lembah yang hijau, sapi-sapi merumput, awan putih bertepi tajam melayang di atas Mont Blanc, atau Materhorn, atau sesuatunya. Lalu ia menatapku dengan raut yang kurang lebih menyatakan, Kalau kamu mau melupakan barang sialan itu, sebaiknya kamu melupakannya sedari dulu! Tatapannya menyentak dan penuh perasaan.

20150518

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 4 (Haruki Murakami, 1994)



4

Menara yang Tinggi dan Sumur yang Dalam
(Atau, Jauh dari Nomonhan)

*

Begitu kembali ke rumah, aku mendapati Kumiko sedang ceria. Sangat ceria. Waktu menunjukkan hampir pukul enam saat aku sampai di rumah setelah menemui Malta Kano, yang artinya tidak ada cukup waktu untuk menyediakan makan malam yang pantas. Sebagai gantinya, kusiapkan masakan sederhana dari bahan-bahan yang kutemukan di kulkas, dan kami sama-sama minum bir. Ia membicarakan pekerjaannya, sebagaimana biasa diperbuatnya kalau suasana hatinya sedang bagus: siapa saja yang ditemuinya di kantor, apa saja yang dikerjakannya, mana saja koleganya yang berbakat dan yang tidak. Hal semacam itu.

Aku mendengarkan dan menanggapinya dengan sepantasnya. Tidak sampai separuh perkataannya itu yang kudengarkan. Bukannya aku tidak suka mendengarkannya bicara tentang berbagai hal. Terlepas dari isi pembicaraannya, aku suka melihatnya bersemangat menceritakan pekerjaannya pada waktu makan malam. Inilah, kucamkankan pada diriku, yang disebut dengan “rumah”. Kami lakukan dengan sepatutnya tanggung jawab yang telah dilimpahkan untuk ditampilkan di rumah. Ia menceritakan pekerjaannya, sementara aku, setelah menyiapkan makan malam, mendengarkan ceritanya. Sangat berbeda dari gambaran akan rumah yang samar-samar kubayangkan sendiri sebelum menikah. Tapi inilah rumah pilihanku. Tentu saja aku sudah punya rumah sedari aku masih kecil. Tapi bukan aku sendiri yang memilihnya. Aku terlahir ke dalamnya, mengenalinya sebagai kenyataan yang tidak bisa kuingkari. Bagaimanapun juga, sekarang aku hidup di dunia yang telah kupilih berdasarkan keinginanku sendiri. Inilah rumahku. Mungkin tidak sempurna, namun sudah pendirianku untuk menerima rumahku beserta segala masalahnya, sebab aku sendiri yang telah memilihnya. Kalau ada masalah, maka hampir pasti asalnya dari diriku sendiri.

20150327

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 3 2/2 (Haruki Murakami, 1994)



*

Akibatnya, aku tidak usah lagi mencari wanita itu. Ia yang menemukanku. Begitu sampai di restoran itu, aku berkeliling sebentar, mencari-cari topi warna merah. Tidak ada wanita yang memakai topi warna merah. Jam tanganku menunjukkan pukul empat kurang sepuluh menit. Aku pun mengambil tempat duduk, meminum air yang dibawakan untukku, dan memesan secangkir teh. Tidak lama setelah pramusaji meninggalkan mejaku, aku mendengar seorang wanita di belakangku berkata, “Anda pasti Bapak Toru Okada.” Kaget, aku pun berbalik. Belum juga tiga menit sejak aku meninjau ruangan itu. Di balik jaketnya yang putih, ia mengenakan blus sutra berwarna kuning, dan topi vinil merah pada kepalanya. Refleks aku berdiri dan menghadapnya. “Cantik” sepertinya kata yang sangat pas untuk dirinya. Setidaknya ia jauh lebih cantik daripada yang kubayangkan dari suaranya di telepon. Tubuhnya ramping dan indah, sementara dandanannya tipis saja. Ia tahu caranya berpenampilan—kecuali untuk topi merahnya itu. Jahitan pada jaket dan blusnya tampak halus. Pada kerah jaketnya berpendar sebuah bros emas yang berbentuk bulu. Penampilan selebihnya sih tampak mewah, tapi aku tidak mengerti kenapa ia mesti melengkapinya dengan topi vinil merah yang tidak pas itu. Mungkin saja ia selalu mengenakannya untuk memudahkan orang mengenalinya dalam situasi seperti ini. Kalau begitu sih itu bukan gagasan yang buruk. Kalau tujuannya supaya terlihat menonjol dalam ruangan yang penuh orang tak dikenal begini, gagasan itu sudah pasti berhasil.

20150318

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 3 1/2 (Haruki Murakami, 1994)



3

Topi Malta Kano
*
Sherbet Tone, Allen Ginsberg, dan Prajurit Perang Salib



Aku sedang menyiapkan makan siang ketika telepon berdering lagi. Aku telah mengiris dua lembar roti, mengolesnya dengan mentega dan mostar, mengisinya dengan irisan tomat dan keju, menata semuanya di talenan, dan baru saja akan memotongnya jadi dua sewaktu telepon mulai berdering.

Aku membiarkan telepon itu berdering tiga kali dan memotong roti isinya jadi dua. Lalu aku memindahkannya ke piring, menyeka pisau, dan menaruhnya di laci perabotan, sebelum menuang secangkir kopi yang telah kuhangatkan untuk kuminum sendiri.

Telepon masih saja berdering. Mungkin ada lima belas kali. Aku menyerah dan mengangkatnya. Aku lebih suka tidak menjawabnya, tapi mungkin saja itu Kumiko.

“Halo,” suara seorang wanita yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Bukan suara Kumiko ataupun wanita asing yang meneleponku kapan itu sewaktu aku sedang memasak spageti. “Apa saya sedang berbicara dengan Bapak Toru Okada?” ucap suara itu, seakan-akan yang empunya sedang membacakan sebuah teks.

20150218

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 2 (Haruki Murakami, 1994)


2

Bulan Purnama dan Gerhana Matahari
*
Tentang Kuda-kuda yang Sekarat di Kandang



Mungkinkah seorang manusia memahami manusia lain seutuhnya?

Kita bisa saja mengerahkan waktu dan energi yang sangat besar untuk mengenal orang lain, tapi pada akhirnya, bisa sampai seberapa dekatkah kita dengan esensi orang itu? Kita yakin mengenal orang itu dengan baik, tapi apakah kita benar-benar tahu apa pun yang penting mengenai siapa pun?

Aku mulai serius memikirkannya seminggu setelah aku berhenti dari pekerjaanku di biro hukum. Hingga waktu itu, belum pernah aku—seumur-umur belum pernah—bergelut dengan pertanyaan seperti ini. Dan kenapa seperti itu? Mungkin karena selama ini aku sibuk dengan hidupku sendiri. Aku benar-benar sibuk memikirkan diriku sendiri saja.

Pemicunya sepele saja, seperti yang terjadi pada kebanyakan peristiwa penting di dunia ini. Suatu pagi setelah Kumiko terburu-buru sarapan dan pergi bekerja, aku memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, merapikan tempat tidur, mencuci piring, dan menyedot debu. Lalu, ditemani si kucing, aku duduk di beranda sambil melihat-lihat kolom iklan. Siangnya, aku makan siang dan pergi ke supermarket. Di sana aku membeli bahan makanan untuk makan malam dan, dari meja obralan, deterjen, tisu, serta kertas toilet. Kembali di rumah, aku menyiapkan makan malam dan merebahkan diri di sofa bersama buku, sambil menunggu Kumiko pulang.

20150127

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 1 3/3 (Haruki Murakami, 1994)


Lama sekali gadis itu baru kembali, dengan Coca Cola di tangannya. Aku mulai kepanasan. Duduk di bawah matahari membuat otakku serasa berkabut. Hal terakhir yang ingin kuperbuat adalah berpikir.

“Menurutmu,” ucapnya, mengangkat kembali pembicaraan semula. “Kalau kamu jatuh cinta dengan seorang gadis dan ternyata dia punya enam jari, bagaimana reaksimu?”

“Menjualnya ke sirkus,” jawabku.

“Serius?”

“Tidak, tentu saja tidak,” sanggahku. “Aku becanda. Kukira aku tidak bakal terganggu.”

“Sekalipun anak-anakmu mungkin saja mewarisinya?”

Aku memikirkannya sejenak.

“Tidak, sepertinya aku betulan tidak bakal terganggu. Apa salahnya punya jari tambahan?”

“Bagaimana kalau dia punya empat payudara?”

20150118

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 1 2/3 (Haruki Murakami, 1994)

*

Aku sedang menaruh belanjaan di kulkas ketika telepon berdering. Kali ini deringannya terdengar tidak sabaran. Aku baru saja membuka plastik pembungkus tofu, yang kuletakkan dengan hati-hati di meja dapur supaya airnya tidak tumpah. Aku pergi ke ruang tengah dan mengangkat telepon.

“Mestinya sekarang kamu sudah selesai masak spageti,” kata wanita itu.

“Benar. Tapi sekarang aku harus mencari kucing.”

“Itu bisa menunggu sepuluh menit lagi, aku yakin. Tidak seperti memasak spageti.”

Karena alasan tertentu, aku tidak bisa begitu saja menutup telepon itu. Ada sesuatu dalam suaranya yang menarik perhatianku. “Oke, tapi tidak lebih dari sepuluh menit, ya.”

“Nah, sekarang kita akan bisa memahami satu sama lain,” ucapnya dengan yakin dan tenang. Aku merasa ia sedang duduk dengan nyamannya di kursi dan menyilangkan kakinya.

“Aku penasaran,” kataku. “Apa yang bisa dipahami dalam sepuluh menit?”

20150109

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 1 1/3 (Haruki Murakami, 1994)

Buku Satu: The Thieving Magpie
Juni dan Juli 1984





1

Burung Mainan Hari Selasa
*
Enam Jari dan Empat Payudara



Sewaktu telepon berbunyi, aku sedang berada di dapur, mendidihkan sepanci spageti dan bersiul mengiringi pembukaan The Thieving Magpie-nya Rossini yang diputarkan radio dan merupakan musik yang pas untuk memasak pasta.

Aku ingin mengabaikan saja telepon itu. Bukan saja karena spagetinya sudah hampir matang, tapi juga karena Claudio Abbado sedang mengarahkan The London Symphony pada puncak permainan. Meski begitu, akhirnya aku menyerah. Bisa saja itu orang yang mengabarkan lowongan kerja. Aku mengecilkan api, menuju ruang tengah, dan mengangkat gagang telepon.

“Sepuluh menit saja,” kata wanita di ujung sambungan.

Aku pandai mengenali suara orang, tapi tidak yang satu ini.

“Maaf? Mau bicara dengan siapa, ya?”

“Tentu saja sama kamu. Sepuluh menit, saja. Supaya kita bisa memahami satu sama lain.” Suaranya rendah dan lembut namun tidak termasuk jenis suara tertentu.